Saya, ‘Rajanya’ Arsenal

Akhirnya terpakai juga hadiah dari teman dekat saya untuk tur ke Stadion Emirates. Sudah hampir setahun kupon itu terpajang di meja dekat sound system supaya selalu terlihat tapi selalu tertunda untuk memastikan tempat untuk tur.

Tur itu untuk kelas legenda, jadi harus memesan tempat dan bukan yang beli dan langsung masuk keliling stadiun pakai alat pendengar untuk mendengar sejarah Arsenal. Saya tidak tahu berapa harganya dan tidak mau tahu juga. Pokoknya akan saya nikmati.

Setelah sempat tertunda satu kali karena salah baca jadwal kerja, akhirnya ada tempat juga untuk pekan berikutnya. Tibalah saya di Stadion di sebuah hari di akhir Februari.
***

Sebagai anak yang biasa-biasa di Medan pada masa 1970-an, tidak mungkin untuk menghindar dari sepak bola. Kalau sedang tidak musim layangan -zaman itu memang ada musim layangan, ketika semua orang main layangan, jadi tidak setiap saat- rasanya tinggal sepak bola atau alip sembunyi -petak umpet di kalangan orang Jawa- yang tersedia.

Beranjak ke usia dengan kesadaran gender, alip sembunyi yang biasanya dimainkan bercampur laki-laki dan perempuan pun ditinggal. Saya sudah lupa siapa yang punya bola di kampung kami -jelas bukan keluarga saya- jadi saya cuma bisa menyumbangkan selop untuk dijadikan gawang. Sepak bola bukan cuma permainan di kampung tapi juga di sekolah, entah itu yang cuma rame-rame atau pertandingan antar kelas.

Masih ada lagi Marah Halim Cup -ini turnamen internasional dengan tim antara lain dari Burma, Thailand, Australia, dan Jepang. Sempat juga beberapa kali menontonnya di Stadion Teladan Medan. Beberapa kawan bahkan memiliki buku programnya untuk dipamerkan ke yang tidak punya. Sementara PSMS sedang jayanya dengan nama-nama Nobon, Tumisila, dan Yuswardi akrab di mulut dan telinga.

Jadi, pada masa itu, diperlukan karakter yang amat kuat atau ketrampilan lain yang amat hebat untuk bisa lepas dari sepak bola. Teman saya Sandro Tobing, misalnya. Sejak kecil dia sudah pintar bernyanyi dan selalu juara kelas yang kemudian sukses menjadi penyanyi profesional -juga sempat main film- bahkan sampai pertemuan terakhir sekitar dua tiga tahun lalu masih bernyanyi. Dia boleh lah dan sekaligus mampu lah untuk tidak suka, tidak bisa, dan tidak perduli sepak bola.

Tapi saya -yang kurus kering dan tak punya ketrampilan apa pun dengan kecerdasan pasa bandrol- tak mungkin lari dari sepak bola. Tidak boleh! Biarpun seringnya cuma pelengkap supaya timnya lengkap lima lawan lima. Kadang disuruh jadi kiper -supaya bola jauh tertendang maka saya yang berlari mengambil- dan kadang jadi bek yang berdiri bengong nunggu bola datang dan kalau bola datang maka pura-pura menghalangi untuk menunjukkan eksistensi.

Jelas tak pernah jadi penyerang yang ‘jaga taik hanyut’ di dekat gawang lawang: santai-santai menunggu bola datang dan mencetak gol. Cemana pun di SMA saya sepat juga dipuji oleh kapten tim sebagai bek yang baik yang rajin mengejar bola dan dibon tim kampung untuk jadi bek kalau ada pertandingan walau tak ikut latihannya- ini pastilah berbenih dari perjuangan memastikan eksistensi dari zaman anak bawang di SD dulu.

Belakangan, walau sudah lebih kegandrungan basket, sepak bola sudah sulit dipinggirkan. Masa pertengahan 1980-an hingga 1990-an, jika PSMS tak masuk ke final perserikatan masih ada PSDS atau ‘traktor kuning’ yang bisa ditonton di Stadion Senayan.
***

Pertandingan pertama yang saya tonton di Inggris adalah Tottenham Hotspur melawan Coventry City, kalau tidak salah tahun 1996 ketika Gordon Strachan merangkap pemain dan manajer Covnetry.. Seorang kawan yang mengikuti secara seksama Liga Primer yang mengatur nonton bareng beberapa kawan sekantor. Pertandingan di ujung musim itu itu sudah tidak penting bagi kedua klub, kalah atau menang tak mempengaruhi posisi keduanya.

Itu yang mungkin membuat tiketnya masih ada dan terjangkau. Kami dapat kursi di belakang gawang, agak di tengah -bukan di atas dan juga bukan di bawah. Di babak kedua Tottenham Hotspur mencetak gol di gawang di ujung seberang tapi saya serta kawan-kawan tak tahu siapa pencetaknya. Barulah saya mengerti kenapa ada orang yang menonton bola sambil tetap mendengarkan radio: untuk memastikan yang terjadi di lapangan jauh karena waktu itu belum ada layar TV besar di stadion.

Setelah itu kalau ada yang bertanya klub dukungan -karena sepak bola juga alat hubungan sosial di Inggris- tersebutlah Tottenham Hotspur untuk gampangnya. Apalagi sempat pula ada rekan kerja pendukung Spurs yang mengatakan saya mirip Chris Armstrong, yang pernah jadi penyerang dengan nilai transfer termahal di Spurs. Dalam hati mana mungkin anak Medan -yang dulu rasanya cuma pernah mendengar nama Liverpool- jadi pendukung klub Inggris.

Tahun 1996, Inggris dengan kapten Tony Adams menjadi tuan rumah Piala Eropa. Cukup puas rasanya nonton bola di TV. Saya amat terkesan dengan Tony Adams, bek yang kuat dan terlihat punya nyali dan otoritas. Mungkin juga benih zaman dulu ketika jadi bek kampung, jadi rasanya gampang suka sama bek. Ketika semi final saya dan sahabat mendiang Romo Bowo sampai semangat datang ke Wembley untuk nasib-nasiban mendapat tiket, yang sudah pasti tidak ada.

Kami akhirnya nonton di sebuah pub di salah satu pojok dekat dengan stadion Wembley, menyaksikan Inggris kalah penalti dari Jerman. Gareth Southgate gagal mengeksekusi penalti dan Jerman yang majuke final. Tony Adams kemudian menenangkan Southgate dan mengajak timnya menghadap para pendukung Inggris untuk berterima kasih. Semakin kagum rasanya dengan Tony Adams yang sepertinya beprisnip: kalah boleh, tapi bukan berarti mati dan mari bangkit.

Dia rupanya pemain Arsenal -yang sebenarnya sama saja dengan Tottenham Hotpsur merupakan klub London yang mau dicari-cari sampai botak pun tak akan punya kaitan apa pun ke Medan. Menyeberanglah saya jadi pendukung Arsenal dan bukan sekedar untuk gampang saja tapi ada sedikit keterikatan atau semacam penghormatan kepada Tony Adams.

Belakangan dia ternyata seorang pecandu alkohol dan itu tidak berarti ‘mati’ tapi dihadapi untuk masuk pusat rehabilitasi dan menang. Selama kecanduan, hidupnya di luar lapangan berantakan. Sering berkelahi di bar, tertangkap menyetir sambil mabul dan sempat masuk penjara, bahkan dilaporkan pernah bertanding dalam keadaan mabuk. Tapi kelakuan buruknya tidak mempengaruhi disiplin, kerja keras dan kepemimpinan di lapangan. Pemain sepak bola sejati.

Hebat
***

Mendukung Arsenal pada masa sekitar 1996-an ke atas tidak susah. Menangnya cukup banyak dan permainannya cantik. Ketika Thierry Henry belum masuk pun -dan ketika saya baru mulai mendukung Arsenal- sudah ada Piala Liga Primer dan Piala FA. Trio bek Tony Adams. Lee Dixon, Nigel Winterburn dengan kiper David Seaman rasanya membuat para penyerang lebih bebas untuk ‘berpesta’ di barisan depan.

Masuk Thierry Henry semakin berjayalah dengan juara ganda Piala FA dan Liga Primer tahun 2002. Kemenangan atas juara bertahan Liga Primer, Manchester United, di Old Trafford adalah salah satu kepuasan para pendukung Arsenal. Bahkan tahun 2006 melaju ke final Liga Champions dengan 10 bermain pemain melawan raksasa Barcelona dan kalah 1-2. Seandainya saja kiper Jens Lehman tidak dikeluarkan wasit dan hanya memberikan tendangan penalti, mungkin saja Arsenal yang jadi juara Liga Champions 2006.

Tapi setelah itu masuklah masa-masa yang berat bagi pendukung Arsenal, sampai di awal musim 2014 untuk pertama kalinya para pendukung Arsenal mencela manajer Arsene Wenger secara terbuka setelah kalah dari Aston Villa 1-3 dalam pertandingan pertama musim 2013-2014 di kandang sendiri. Selain memekik ‘you don’t know what you’re doing’ dan membawa spanduk ‘spend, spend, spend’ muncul pula seruan agar dia diganti.

Kering total piala sejak tahun 2005 namun selalu masuk empat besar Liga Primer untuk lolos ke Liga Champions membuat para pendukung Arsenal tak sabaran juga. Prestasi sebagai salah satu klub dengan catatan keuangan yang paling sehat sepertinya menjadi tidak bermakna.

Dalam komentar nyinyir saya, manajer macam apa yang lebih sibuk menyenangkan para petinggi klub dan pemegang saham tapi bukan pendukung. Mentalitas kayak apa pula yang membuat orang cukup puas bertahun-tahun hanya menjadi nomor empat. Tujuan dalam pertandingan olah raga, apa pun, adalah untuk menjadi juara.

Bahkan saya pernah mengaku kepada teman pendukung Manchester United bahwa ada baiknya sekali waktu Arsenal tersingkir dari Liga Champions, semacam terapi kejutan untuk Arsene Wenger dan para petinggi Arsenal. Kalau sekali saja tak lolos, mungkin mereka akan lebih berambisi lagi dan bukan sekedar enak-enak di posisi empat, masuk Liga Champions -ada pemasukan tambahan- dan di ujung tahun anggaran keuangan syukur-syukur ada sisa laba yang bisa dibagi bersama.

Kerja keras Tony Adams jadi hilang sama sekali, teredam dengan semangat pas-pasan.
***
bersambung