Teheran Dalam Stoples 3


Aminatul Faizah

2. Ali

Pagi-pagi kira-kira pukul enam pagi, aku terbangun mendengar suara di bawah dan bergegas turun. Perempuan itu datang membawa bungkusan terbuat dari kain kumal berbentuk aneh. Di dalamnya ada naan, mentega dan keju putih. Itu adalah bekal makannya. Ia menyapu halaman dan mencuci mobil ayah lalu membersihkan seluruh isi rumah. Ibu hanya diam tak berkomentar dan menyiapkan meja untuk sarapan kami.

Dari pintu dapur aku melihat bocah laki-laki mungil itu duduk tak bergeser sedikitpun dari kursi halaman. Ia memainkan kedua kakinya. Matanya tetap hampa dan juga tetap tak bergairah. Ketakutan akan sesuatu terus membayanginya. Sepertinya banyak pertanyaan yang ingin sekali ia ucapkan namun tak sempat ia lakukan. Aku juga punya banyak pertanyaan yang ingin kuajukan padanya atau ibunya, tapi aku tak bisa menyampaikannya, juga pasti akan mendapat tarikan alis mata ibu.

Aku melihatnya sambil duduk di meja dapur melihat ibuku memotong bawang bombay. Ibu waktu itu menggerai rambutnya dan memakai pakaian santai sambil melihatku tajam. Ia melirik apa yang menjadi pusat perhatianku sejak tadi, lalu tersenyum dan membalikkan badan mengambil sesuatu sebelum kembali bertatap muka denganku. Dua buah wortel ukuran kecil ia potong memanjang. Saat hendak memotongnya, ia berbicara,

“Ajaklah ia bermain sayang !”
“Memang boleh bu?”
“Kenapa tak boleh, ia anak yang baik, bukan orang jahat.”
Aku tersenyum mendengar Ibu dan turun dari kursi dapur, mendekatinya. Aku melihat ke arah matanya. Kuulurkan tanganku.
“Aku Leila, dan kau?”

Dia tetap diam dan tak melakukan apapun. Di matanya, aku tak ada dan aku tak akan pernah ada. Aku tak ada, adalah sesuatu yang sangat ironis bagiku. Sebuah luka yang mendalam terbesit dalam kekecewaan hatiku. Ibunya datang. Ibu meminta akau memanggil perempuan bernama Aisya itu dengan khala atau bibi, mungkin karena usianya hampir sama dengan ibu. Khala sangat bersahaja. Ia seorang pekerja keras yang baik dan juga sopan. Setiap kali melihat ayah, ia menundukan kepala karena ayah bukanlah mukhrimnya.

“Siapa namanya khala Aisya?”
“Sirikit Ali,” kata khala dengan singkat sambil memotong rumput yang sudah panjang.
“Kenapa ia tak mau bicara denganku?”

Khala Aisya berhenti memotong rumput dan melirik kami. Dia seolah mendengar kalimat yang menyakitkan, seperti kalimat yang jauh menyakitkan dari pada kalimat ejekan yang dilontarkan orang lain. Tak ada jawababan darinya, lalu aku hanya duduk di samping anaknya. Wanita itu tersenyum kecil melihatku, sebuah senyuman yang menandakan kemirisan bukan kebahagiaan. Senyuman itu seolah sebuah keterpaksaan. Aku merasa bersalah.

“Apakah kau sedih. Aku minta maaf.’
“Tidak, Leila…ia takut berbicara karena ia tak bisa.”

Aku mengulurkan tangan ke Ali dan ia menatapku. Khala melihat yang aku lakukan. Ia melihat aku menarik tangan anaknya. Kami jadi bersalaman.

“Aku Leila dan aku Ali,” aku berperan sebagai aku dan Ali.

Satu anak harus menerka pikiran lawan mainnya. Dan itu adalah sebuah awal. Hari-hari berikutnya ia bagai bonekaku. Sebuah boneka tanpa mimik dan juga tanpa suara. Melakukan apa yang aku mau dan aku juga bisa dengan mudah membentuk wajahnya. Menarik bibirnya agar tersenyum dan mengandeng tangannya kalau ingin mengajaknya berlari.

Aku mengajarinya cara hidup menjadi anak biasa. Mencari kebahagiaan, juga ketulusan. Ia adalah temanku satu-satunya yang aku miliki selain adik yang masih baru berjalan selangkah dua langkah. Dia sangat penurut dan seolah tak tahu apa-apa. Ia bahkan tetap diam meski harus duduk denganku memainkan pasar-pasaran. Ia juga diam saat aku menyapu wajahnya yang kotor akibat debu jalanan.

Saat adzan dhuhur berkumandang, ia dan juga ibunya berlalu dari rumah kami.

Suatu hari, ada sebuah percakapan antara ibuku dan khala Aisya. Mereka bercakap-cakap saat ayah tak ada. Ibu sedang menggendong adik dan khala sedang merapikan dapur. Khala akan diam jika tak ditanya. Itu mungkin yang dilakukan seseorang yang didaulat menjadi pembantu.

“Berapa usia Ali?”
“Tujuh tahun, khanum.”
“Bisakah kau panggil aku dengan Hamida saja. Itu namaku. Jika kau panggil aku khanum itu terlalu mengintimidasi diriku dan juga dirimu. Jangan rendahkan dirimu di hadapanku. Kau dan aku sama. Kita sama-sama seorang ibu. Kau tak sekolahkan anakmu? ”
“Tak ada seorang pun yang mau berteman dengannya dan tak ada seorang pun yang mau mengajarnya.”
“Oh… apa yang kau lakukan saat kau di rumah?”
“Tak ada.”
“Tinggallah di rumahku. Anakmu adalah teman satu-satunya anakku. Saat ia sendirian dia sangat kesepian, ia sangat menyukainya. Aku ingin mereka berdua menghabiskan banyak waktu bersama untuk bermain. Aku tak mau masa kecil mereka terhempas begitu saja. Aku ingin anak itu bahagia.”

Aku ingin anak itu bahagia, adalah kalimat terindah yang pernah aku dengar dan juga aku pelajari. Kalimat ibu itu sungguh sangat bermakna bagiku. Aku sungguh mencintai ibu yang penuh kasih dan juga kehangatan. Perempuan yang sempurna.

Suatu sore, aku dan Ali duduk di bawah pohon aprikot. Kami duduk berdua sambil memainkan boneka. Aku menaruh boneka beruang teddy cokelat munggil di rangkulannya. Untuk pertama kali aku melihat responnya. Dia melihatku dan matanya tahu apa yang aku bicarakan untuk pertama kalinya. Saat itu aku sedikit jenuh dengannya. jenuh dengan boneka besarku yang berwujud manusia.

Aku menyentuh tangan kanannya dan menggenggam tangan itu. Tangan yang dua kali besar tanganku.

“Kenapa kau terus diam. Andai aku tahu kenapa kau diam dan kau bicara sedikit saja mungkin itu lebih baik. Aku sungguh ingin mendengar suaramu.”

Ia menoleh padaku. Seolah ia tahu, apa yang aku bicarakan. Aku sangat senang melihat tatapan itu. Ia tahu apa yang aku bicarakan. Untuk pertama kalinya. Ini adalah kemenangan besar yang pernah kuraih. Aku merangkulnya. Merangkul tubuh itu dan aku berlari membawa bonekaku menuju dapur. Kulihat ibuku dan ibunya sedang menyiapkan makanan. Mereka kaget: aku berlarian bak orang gila.
Berlarian mengelilingi rumah dan menaiki sofa ruang tamu, kebahagiaan menyelimuti hatiku. Ini adalah kemenanganku atas kebisuannya selama dua bulan lebih.

Aku tak menyangka kalau ia akan menatapku. Menatap mata yang selalu menelanjanginya. Menelanjangi setiap yang ia lakukan dan juga ia pakai. Aku melompat kegirangan. Ayah datang dengan senyuman sambil mengendong adikku. Saat mendekatiku, ibu mengambil Ghazali dan ayah menatap mataku.

“Kenapa sayang?”
“Dia menatapku, ayah. Ia menatapku…ia mengerti apa yang aku katakan. Aku senang ayah, ia temanku…ia tahu apa yang aku katakan.”
“Benarkah?” ayah tak percaya, namun menutupinya dengan sedikit senyuman di pipinya. Dua lesung pipi dalam terlihat dan ciuman kecil mendarat di kedua pipiku: “Kau memang hebat, putriku.”

Saat ayah mengendongku, aku melihat ke arah lampu gantung. Kulihat wajah Ali yang tersembunyi di balik pintu. Ia melihatku, dan aku mengulurkan tangan kepadanya, memintanya untuk mendekatiku.

Namun perintah isyaratku gagal. Ia hanya berlari ke meja makan dan memeluk paha ibunya. Khala Aisya tersenyum melihatku. Ia mencium ubun-ubun anaknya. Dia bangga padaku. Bangga karena aku adalah seseorang yang meluluhkan hati anaknya. Meluluhkan karang keras yang ada dihatinya. Walau hanya secuil namun sungguh menyenangkan.
***
bersambung