Dokter Zhivago 18 – Boris Pasternak (alih bahasa Trisno Sumardjo)

disalin dari terbitan Djambatan, Maret 1960, dengan penulisan ejaan bar

Hawa menjelajahi peredaran musim. Air menetes : tik-tik-tik di atas talang dan pinggiran atap, hingga semua atap berkirim-kiriman berita, seolah di musim semi. Salju lagi meleleh.

Lara berjalan sepanjang jalannya seolah terbius dan baru sadar akan apa yang terjadi, setelah ia sampai ke rumah.

Semua orang tidur. Ia terjerumus lagi dalam pesona, maka dalam termangu-mangu itu duduklah ia di depan meja hias ibunya, masih memakai gaun ungu kekuning-kuningan yang hampir putih dan bertepi renda serta cadar panjang yang untuk malam itu dipinjamnya dari toko, nampaknya seperti pakaian istimewa.

Dengan kedua belah tangannya di meja ia duduk menetap bayangannya dalam cermin, namun tak melihat apa-apa. Sejurus kemudian ia tekurkan kepala ke tangannya.

Kalau ibu dengar tentang ini, ia akan membunuhnya. Ia bunuh dia, lalu bunuh diri.

Bagaimana itu terjadi? Bagaimana mungkin terjadi? Sekarang sudah terlambat, seharusnya ia berpikir lebih dulu.

Sekarang ia apa –apa namanya?– perempuan ternoda. Ia tokoh perempuan dari roman Perancis, sungguhpun besok ia pergi ke sekolah, duduk berdampingan dengan gadis-gadis lain itu yang seperti anak-anak kecil bila dibanding dengan dia. O Tuhan, mengapa ini terjadi?

Bertahun-tahun kemudian, bilsa sudah mungkin, pada suatu hari ia akan menceritakan halnya kepada Olya Demina dan Olya akan merangkulnya dan tersedu-sedu.

Di luar jendela tetesan air berbisik-bisik dan salju yang mencair bergumam penuh pesona. Di jalanan ada orang menggedor pintu tetangga. Lara duduk menekur, pundaknya bergeletar oleh isaknya.
***

“Itu semua sampah, Emma Ernestovna sayang. Aku jemu dan mual.” Ia terus membuka dan menutup laci-laci, membongkar semuanya, melempar segala manset dan krah ke permadani dan dipan, tak sadar apa yang diperlukannya.

Ia rindukan Lara sampai hilang akalnya, tapi tak ada kemungkinan bertemu dengannya hari Minggu itu. Ia mundar-mandir seperti gila dalam kiamat, bagai binatang yang dikurung.

Gadis itu baginya mempunyai daya penarik aneh yang tidak badani. Tangannya menakjubkan dia bagai daya khayal yang agung. Bayangannya di dinding kamar hotel mengesan padanya sebagai ujud kesucian. Kutangnya terentang di dadanya dengan kokoh dan wajar seperti kain lenan di rangka rajutan.

Jari-jarinya mengetuk-ngetuk kaca jendela menurut irama derap kaki kuda yang pelan di aspal di jalan kereta di bawah. “Lara,” bisiknya seraya memejamkan mata. Ia bayangkan kepala si gadis dalam pelukan lengannya, matanya terkatup, dia tidur dengan tak sadar bahwa ia menatapnya beberapa jam berturut-turut tanpa tidur. Rambut hitamnya terurai dan keindahannya menyengat matanya seperti asap, menyusup kehatinya.

Hari Minggu itu ia jalan-jalan tanpa hasil. Ia melangkah beberapa jejak bersama Jack, lalu berhenti, berpikir tentang Kuznetsky Most, tentang lelucon Satanidi dan barisan kenalannya yang berpusing-pusing –ah ia tak betah. Ia balik. Anjingnya terkejut, menengadah dari bawah dengan pandangan yang membantah, lalu berjalan goyang di belakangnya dengan enggan.

“Jahanam, apa artinya semua ini?” pikir Komarovsky. “Setan apa merasuki diriku?” Hati nuranikah ini atau rasa kasihan atau sesalan? Kuatirkah ia tentangnya? Tidak, ia tahu gadis itu sudah aman di rumah. Tapi mengapa ia tak sanggup melupakannya?

Ia kembali ke rumahnya, naik tangga dan melalui bordes pertama, dimana hiasan-hiasan heraldik di pojok-pojok jendela melempar pecahan-pecahan cahaya berwarna ke depan kakinya; separoh-jalan pada kelompok jenjang pertama ia berhenti.

Ia tak boleh menyerah pada perasaan gelisah yang meletihkan dan mengusik ini. Akhirnya ia bukan anak sekolah. Ia harus tahu apa akibatnya, jika gadis ini –yang masih kanak-kanak, anak mendiang temannya– bukan lagi alat permainan belaka, melainkan menjadi obsesi. Ia mesti berteguh hati. Ia harus jujur terhadap diri sendiri serta kebiasannya, kalau tidak, ia akan kehilangan semuanya.

Komarovsky mengenggam kisi-kisi sampai tangannnya nyeri, lalu ia pejamkan matanya sejurus, berpaling dan turun bertegap hati. Di bordes yang ditaburi pecahan cahaya berwarna itu anjingnya menantinya. Ia mengangkat kepalanya macam kurcaci tua dengan rahang panjang yang berliur dan menengadah padanya dengan mata memuja.

Anjing ini membenci gadis itu, ia mengeram padanya, menunjukkan giginya dan merobek kaus kakinya. Ia dengki padanya, seolah kuatir majikannnya akan ketularan sesuatu yang insaniah olehnya.

“Jadi sekarang kaupikir, semuanya akan pulih kembali seperti dulu –Satanidi, lelucon muslihat busuk dan sebagainya? Baiklah terima ini, dan ini, dan ini.” Ia pukul anjing itu dengan tongkatnya dan menendangnya. Jack menjerit, melolong, menggontai ke atas jenjang dengan menggoyang pantat, lalu mengorek-ngorek pintu untuk mengeluh kepada Emma Ernestovna.

Dan lampaulah hari demi hari, pekan demi pekan.
***