Dokter Zhivago 19 – Boris Pasternak (alih bahasa Trisno Sumardjo)

disalin dari terbitan Djambatan, Maret 1960, dengan penulisan ejaan baru

Lingkaran ini keresapan setan! Andaikata penyelenongan Komarovsky dalam penghidupan Lara ini hanya memualkan belaka, dapatlah ia memberontak dan mencampakkannya. Tapi soalnya tak semudah itu

Ia merasa terangkat, karena seorang laki-laki yang rambutnya mulai beruban, cukup tua untuk menjadi ayahnya, orang yang dalam rapat-rapat mendapat tepuk tangan dan disebut dalam surat kabar, telah mencurahkan waktu dan uangnya kepadanya, membawanya ke luar menonton konser dan sandirawa, menyebutnya seindah dewi dan pada umumnya konon akan memperkaya jiwanya.

Sebetulnya ia masih anak sekolahan berpakaian coklat seragam yang di sekolah masih suka berbuat kenakalan yang tak berarti. Cumbu-cumbuan Komarovsky dalam kereta di belakang punggung kusir atau dalam opera box dengan terlihat jelas oleh hadirin, menyenangkan dan menantang dia karena ada anasir rahasia campur keberanian.

Tapi kesukaan bertualang yang kekanak-kanakan ini tak lama berlangsung. Dalam batinnya mulai berakar ketakutan terhadap diri sendiri yang menggodanya dan mematahkan semangat. Letih lesu oleh pergulatannya dengan pelajarannya dan dengan bangun waktu malam, dengan air mata dan kepala pusing tak henti-henti, iapun merasa ngantuk sepanjang hari.
***

Ia benci padanya, ia kutukkan jiwanya. Tiap hari itu terlihat dalam otaknya.

Ia telah menjadi tawanannya seumur hidup. Bagaimana ia sampai memperbudaknya? Apa sebabnya ia telah tunduk pada keinginannya serta memenuhi kebutuhannya untuk membuatnya malu? Apa kekuasaan atas dirinya? Umurnya? Atau karena ibunya tergantung pada uangnya? Itukah yang amat mempengaruhi atau menakutkan? Tidak, seribu kali tidak. Itu omong kosong semua.

Dialah sendiri yang berkuasa atasnya. Tak sadarkah ia, betapa Komarovsky memerlukannya? Ia tak perlu kecut, hati nuraninya bersih. Komarovskylah yang patut malu dan takut serta kehilangan hati karena ditinggalkannya. Tapi Lara justru tak mau berbuat begitu. Ia tak dapat berkhianat, tak sanggup seperti dia mengambil keuntungan dari yang lemah dan yang tergantung padanya.

Inilah justru perbedaan antara mereka. Dan itu pula membuatnya seluruh penghidupan ini begitu menakutkan. Orang tak hancur oleh guntur dan petir, melainkan oleh curian mata dan fitnahan yang dibisikkan. Hidup penuh pengkhianatan dan kedua artian. Benang yang tunggal mudah putus bagaikan sarang laba-laba tapi coba lepaskan dirimu dari jaring! Jaring itu malah makin menjerat.
***

Dicobanya buah pikiranyang bukan-bukan. Bagaimana kalau ia kawin, tanyanya pada diri sendiri, dakah bedanya? Tapi sekali-sekali ia tercekam oleh siksaan batin yang mencemaskan.

Komarovsky tak malu-malu bersujud di kakinya serta memohon : “Tak boleh begini terus. Ingatlah apa yang kubuat denganmu! Kau menuju keruntuhanmu. Ibumu harus tahu dan kita akan kawin.” Komarovsky menangis dan mendesak-desak, seolah Lara membantah dan menyangkal. Ia tahu itu cuma omong kosong dan ia nyaris tak mendengarkan.

Dan ia masih saja ikut, kini bercadar, dengan Komarovsky untuk makan siang dalam kamar-kamar yang terpisah di restoran yang mengerikan itu, dimana para pelayan dan tamunya menelanjangi dia dengan pandangan mereka, bila ia masuk dan satu-satunya yang diperbuatnya ialah bertanya diri : “Andaikata ia cinta padaku, maukah ia menghinaku begini?”

Pernah ia mimpi. Ia terkubur di bawah tanah: yang tinggal padanya hanyalah lambung kiri dan kaki kanannya. Sejumput rumput tumbuh dari tampuk susunya yang kiri dan di atas tanah itu orang-orang menyanyi : “Mata hitam dan dada putih,” serta “Masha jangan menyeberangi sungai.”
***

Lara tidak alim. Ia tak percaya pada ibadah. Tapi supaya betah menanggung hidupnya ia kadang-kadang memerlukan musik dari batin, sedangkan ia tak selalu menggubah sendiri komposisinya. Musik itu penuturan Allah tentang hidup maka pergilah ia ke gereja guna mendengarnya.

Sekali pada awal Desember, ketika ia merasa seperti Katerina dalam drama Taufan*, ia pergi bersembahyang dengan hati begitu berat, hingga ia merasa seolah tiap saat bumi bisa terbelah di depan kakinya dan langit-langit gereja yang lengkung itupun berlekuk-lekuk. Itu akan baik baginya dan akan menyudahi segalanya. Ia hanya menyesal telah membawa serta Olya si ceriwis itu.

“Itu dia Prov Afanasyevich,” bisik Olya.
“Sst. Jangan ganggu. Prov Afanasyevich yang mana?”
“Prov Afanasyevich Sokolov. Orang yang lagi membaca itu. Dia sepupu kami derajat kedua.”
“O, psalmis itu. Kerabat Tiverzin. Diam sana.”

Mereka masuk pada permulaan ibadah. Psalm itu berbunyi : “Jiwaku hendak memuji Tuhan dan seluruh batinku menguduskan namaNya yang keramat.”

Semua penyembah berkelompok menghadap mimbar di ujung gereja yang hampir kosong dan berkumandang itu. Gedung itu baru. Jendela kacanya yang sederhana tak menghiasi jalanan di luar yang abu-abu, penuh salju dan ramai. Di depannya berdiri jurukunci gereja yang tak memperhatikan ibadah; ia keras-keras memarahi seorang pengemis perempuan yang tuli dan setengah sinting dengan suara mendatar dan membosankan, tak ubahnya dengan jendela dan jalanan.

Selama Lara dengan menggenggam uang kecilnya, mencari jalan lewat para penyembah tanpa mengganggu mereka, membeli dua lilin untuknya dan untuk Olya di dekat pintu, lalu berbalik. Prov Afanasyevich telah melancarkan pembacaan sembilan ‘Kebahagiaan’ dengan pesatnya, seakan sudah mudah sekali dimengerti tanpa perantaraannya.

“Bahagialah yang bersahaja dalam jiwa… Bahagialah yang kesedihan… Bahagialah yang lapar dan haus akan keadilan…”

Lara menggigil dan berdiri tenang. Itulah tepat untuknya. Dia berkata** : Bersyukulah yang tertindas. Ada yang mereka nyatakan untuk diri sendiri. Segala hal ada di depan mereka. Begitulah pikiran Dia, Begitulah pendaoat Kristus tentang hal ini.
***

Pemberontakan Presnya sedang berkobar. Tumah keluarga Guishar terletak di wilayah pergolakan. Di Jalan Tver, beberapa meter dari rumah mereka sedang didirikan barikade. Orang membawa air berember-ember dari pekarangannya untuk memadatkan batu-batu dan besi tua dengan es.

Pekarangan yang terdekat dipakai oleh kaum pemberontak untuk tempat pertemuan, campuran antara pos Palang Merah dan dapur sop.

Lara kenal dengan dua anak lelaki yang pergi ke situ. Yang seorang adalah Nicky Dudorov, kawan sekolahnya Nadya. Ia tinggi hati, tulus, dan pendiam ; tabiatnya sangat mirip pada tabiat Lara sendiri, hingga tak menariknya.

Lainnya adalah Pasha Antipov yang mengunjungi sekolah menengah dan tinggal dengan Tiverzina yang tua, nenek Olya Demina. Mau tak mau Lara menyaksikan kesan yang diterima anak itu dari padanya, ketika mereka bertemu di rumah Tiverzin. Hatinya yang kekanak-kanakan itu begitu terbuka, hingga ketika ia melihat Lara, ia tak pikir-pikir hendak menyembunyikan kegemibraannya: si gadis seolah tak beda dengan sebuah tamasya dengan pohon-pohon, rumput, dan awan, yang dapati ia nikmati tanpa bahaya akan diketawai orang.

Begitu Lara merasa bahwa ia berpengaruh atasnya, begitu ia mulai memakai pengaruhnya tanpa sadar, sungguhpun baru bertahun-tahun kemudian dan pada taraf persahabatan yang jauh lebih lanjutlah ia mempergunakan secara sungguh-sungguh watak si anak yang mudah di tempa lagi menurut itu. Waktu itu maklumkah Pasha betapa ia mencintainya sampai seluruh hatinya dipertatuhkan untuknya sepanjang hidup.

Kedua anak itu melakukan permainan orang dewasa yang berbahaya sekali, yakni peperangan, maka dalam perang ini mereka tak hanya menghadapi segala resiko pertempuran biasa, tapi juga bahaya pembuangan atau gantungan. Namun cara mereka memakai pici wol yang diikat ke belakang menunjukkan bahwa mereka kanak-kanak yang masih ada orang-tuanya atau perlu diawasi orang tua. Larapun berpikir tentang mereka sebagai kanak-kanak. Segala kegemaran mereka yang berbahaya itu menganbung kembang kewajaran tak berdosa yang mereka kenakan pada segala hal –pada malam yang jumbai kehinggapan salju beku, hingga nampak lebih putih daripada hitam, pada bayang-bayang biru hitam di pekarangan, pada rumah di seberang jalan tempat mereka sembunyi dan terutama pada tembakan-tembakan pistol yang datang dari situ. “Anak-anak menembak,” pikir Lara. Demikianlah caranya berpikir, tak hanya tentang Nicky dan Pasha, namun juga tentang semua orang yang menembak-nembak di seluruh Moskow. “Anak-anak sopan yang baik hati,” pikirnya, “Mereka menembak karena baik hati.”
***