Maling dan Ustadz

Imron Supriyadi

Masa liburan semester.

Aku tidak pulang. sedang Heri dan Bang Rahman sudah h lebih dulu mudik tiga hari sebelum masa libur tiba tiba. Empat pintu lain juga sepi. Semuanya pulang kampung. Aku sempat memutuskan mudik, tetapi tugas jurnalistik yang belum selesai, memaksa aku harus menahan diri tidak melepas rindu pada kedua orang tua.

Hasil investigasiku di kompleks prostitusi satu pekan lalu harus menjadi liputan khusus. “Menguntit Ramadhan di Kampung Baru”, begitu aku menulis judul tulisan itu. Kampung Baru atau biasa di sebuat Komplek Teratai Putih  adalah kompleks prostitusi di Palembang yang terletak di Kilometer Delapan, di sebuah lorong dengan pintu gerbang di depannya.

Gubernur Rosihan Arsyad secara resmi menutup Kompleks Teratai Putih ini pada tahun 2001, dengan rencana -begitulah kabarnya- akan disulap menjadi pusat kegiatan agama semacam Islamic Centre. Gagasan ini, konon ingin meniru Gontor Jawa Timur, yang dulu nggon-ko-tor (tempat berkumpulnya kotoraan masyarakat) sebagaimana Kampung Baru. Kini di Gontor berdiri megah Pondok Pesantren Darussalaam, yang telah menelurkan ribuan kiai di Indonesia.

Itu rencananya tapu tetap saja ‘bisnis lendir’ masih berjalan di Kampung Baru.

“Tutup bae pucuknyo, bawahnyo tetap tebuka,” seloroh seorang teman mengumpamakan penutupan Teratai Putih yang hanya sekedar penutupan papan nama. Pucuknya ditutup tapi bawahnya tetap terbuka: bisnis aurat itu jalan terus.

“Lif! Alif! Cepet buka,” di teriak seorang perempuan panik.
“Cepet tutup pintu! Aku lagi dikejer uwong!” Fetty begitu pintu kubuka. Fetty adalah salah satu seorang pekerja seks komersial (PS) yang selama satu minggu membantuku mendapat informasi tentang kehidupan sehari-hari di kompleks Teratai Putih.

Fetty menjadi sumber informasi utama karena sebelumnya aku pernah bertemu dia. Waktu itu dia terjaring oleh pamong praja di Semarang dan masuk panti rehabilitasi Dinas Sosial dan aku sedang mendapat kesempatan ikut latihan advokasi dan proteksi bagi jurnalistik di Hotel Santika Semarang. Dalam pelatihan itu kami semua latihan meliput penggrebekan PSK. Dan ada Fetty, anak Palembang yang sempat kuliah di Jakarta, pacaran sama seorang ‘bos’ -begitulah katanya- hamil dan ditinggal si bos tapi anaknya kemudian diambil, dan diapun melanglang buana di sektor seks komersil. Cerita klasik, tapi begitulah pengakuan Fetty.

“Lif, ini Fetty dari Palembang. Ajak aja sekalian pulang,” seloroh Mas Wondo, wartawan The Jakarta Post, sambil ngobrol santai dengan Fetty.
”Memang Mas itu di Palembang juga?” tanya Fetty serius.
“Tanya saja sendiri, supaya kamu lebih percaya,” kata Mas Wondo dan aku mengangguk ke arah Fetty.
“Aku ikut ke Palembang dong Mas. Aku nak balek, tapi katek duit,” Fetty memohon.

Fetty kemudian kutitipkan di kamar Tia, seorang wartawati asal Palembang yang juga ikut pelatihan. Keputusanku menolong Fetty sempat menjadi bahan canda.

“Eh, kalian tahu enggak, siapa yang paling beruntung dalam pelatihan ini?” Mas Wondo ke teman-teman yang tidak tahu menahu tentang asal kampung Fetty.
“Siapa Mas?”
“Siapa lagi kalau bukan Alif dari Palembang. Sudah dapat liputan, dapat ongkos pulang, plus pendamping ke Palembang.”

Karena harus membawa Fetty ke Palembang, ongkos pesawat dari panitia kubelikan angkutan darat. Bis Putra Remaja jurusan Palembang membawaku dan Fetty sampai ke kota Musi. Sampai di Palembang fajar tiba, dan aku lebih lega membawa Fetty terang benderang. Bagaimanapun kutelepon juga Tia, yang sudah lebih dulu sampai.

“Tia, tolong datang ke rumah kontrakanku sekarang untuk menemani Fetty. Aku tidak enak kalau hanya kami berdua di rumah,” kataku memohon.
“Oi Lif, biaso bae lah. Lagian Fetty kan …,” ucapan Tia terputus. Aku menduga Tia ingin menegaskan kok Fetty aja bikin repot.
“Oi, Tia! Seburuk-buruk manusio model aku, masih ado adab, meskipun dikit. Cepetlah ke sini.”

Aku dan Tia sama-aktif di Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM) IAIN Raden Fatah, dan dia ternyata bisa diandalkan sebagai teman.
***
bersambung