Dokter Zhivago 43 – Boris Pasternak (alih bahasa Trisno Sumardjo)

disalin dari terbitan Djambatan, Maret 1960.

Suami istri Antipov lekas bemukim di Yuryatin. Keluarga Guishar dikenangkan dengan penuh kesayangan dan hal ini telah membantu Lara mengatasi kesukaran untuk menyusun rumah tangga di tempat yang baru. Kini mereka sudah empat tahun di situ.

Lara serba repot dan banyak pula yang perlu dipikirnya. Ia harus menjgara rumah maupun Katya, anak perempuan yang kini berumur tiga tahun. Marfutka, bujang berambut merah bekerja keras namun tak sanggup menyelesaikan semua pekerjaannya. Kecuali itu Lara ikut memperhatikan segala kepentingan Pasha, pun mengajar di sekolah menengah putri. Ia bekerja terus menerus dan merasa bahagia. Inilah justru penghidupan yang dimpi-impikannya.

Ia suka Yuryatin. Ia lahir di situ. Letaknya di salah satu jalan kereta api ke Ural dan di pinggir sungai besar Rynva; orang dapat belajar di sungai ini, kecuali di bagian-bagian udiknya.

Suata pertanda bahwa musim-musim di Yuryatin mendekat ialah bahwa orang mengambil perahunya dari sungai, memuatkannya di atas pedati, membawanya ke kota dan menyimpannya di pekarangan sebelah belakang. Di situ perahu itu menggeletak di bawah langit, menunggu musim semi. Di Yuryatin, adanya perahu-perahu dengan dasar berwarna muda yang terbalik di keteduhan pekarangan itu sama artinya dengan pengungsian burung-burung bangau ataupun salju pertama di tempat-tempat lain. Di pekarangan rumah yang disewa keluarga Antipov ada pula perahu demikian.

Katya main-main di bawah lindungan badan perahu yang putih itu seperti dalam rumah peranginan.

Lara suka pada adat kedaerahan di Yuryatin, pada huruf hidup yang panjang menurut logat Utara serta kaum terpelajarnya yang naif dan mudah perdcaya itu dengan sepatu vilt dan jas flanel abu-abu tak berlengan. Ia tertarik pada tanah serta manusia yang sederhana.

Tak tersangka bahwa Pasha, anak buruh kereta api di Moskow, malahan ternyata seorang metropolit yang tak dapat berubah. Ia menilaikan penduduk Yuryatin jauh lebih rendah dari Lara. Ia tak suka pada mereka yang dianggapnya orang-orang biadab lagi dungu; mereka membikinnya gugup.

Sekarang ternyata ia punya bakat yang aneh, yakni dapat membaca dengan cepat serta mengingat segala keterangan yang dipungutnya. Di waktu lampau ia sangat banyak membaca, antara lain karena Lara. Dalam chalwatnya di propinsi ini ia begitu sering membaca, hingga Lara sekalipun kini baginya bukan lagi orang yang tahu banyak. Mengenai lingkungan guru, teman-teman sekerjanya itu, ia menjulang tingi atas mereka dan iapun mengeluh sebab merasa kurang bebas bernafas. Kini dalam perang ini patriotisme mereka yang baku dan teradat tiada selaras dengan perasaannya yang lebih rumit itu terhadap negerinya.

Pasha telah berpromosi adalam kesusastraan klasik dan kini mengajar bahasa Latin serta sejarah Purba. Tapi sejak di sekolah menengah dulu ia mengandung hasrat yang hampir diluakan terhadap ilmu eksak, ilmu alam dan ilmu hitung, maka sekarang hasrat ini hidup kembali. Dengan belajar sendiri di rumah ia mencapai tingkat universitas dalam mata-mata pelajaran itu dan ia bercita-cita hendak mengejar gelar dengan beralih pada salah satu cabang ilmu serta pindah bersama keluarga ke Petersburg. Studinya sampai jauh malam merongrong kesehatannya hingga ia kena penyakit imsonia.

Hubungannya dengan istrinya adalah baik, namun tak begitu mudah. Sifat Lara yang berbudi serta suka repot tentangnya itu menekan kepadanya, tapi ia tak hendak mengritik, kuatir kalau-kalau ada ucapannya yang tak berarti dianggapnya kecaman –barangkali sindiran bahwa darah Lara lebih berbangsa dari darahnya atau bahwa Lara pernah berpacaran dengan orang lain. Takutlah ia akan dituduh olehnya bahwa ia berpikir yang bukan-bukan dan mengelikan tentangnya, maka hal inilah menghalangi mereka untuk bertindak sewajarnya. Masing-masing selalu berusaha untuk lebih bermurah hati daripada yang lain sehingga segalanya menjadi lebih rumit.

Malam ini akan ada tamu-tamu –guru kepala sekolah Lara, beberapa rekan Pasha, seorang anggota mahkamah juri, dimana Pasha juga pernah bekerja serta satu dua orang lagi ; semuanya badut-badut besar menurut pendapat Pasha. Ia heran bahwa Lara sanggup beramah-tamah dengan mereka dan tak percaya ada seorangpun diantara mereka yang disukai Lara.

Sesudah mereka pergi, Lara lama membenahi kamar dan memasukkan hawa, mencuci piring di dapur bersama Marfutka. Kemudian ie menengok apakah Katya sudah beres di selimuti dan sudah tidur, lalu cepat ia menanggalkan pakaian, memadamkan lampu dan rebah di sisi suaminya, biasa seperti seorang anak naik ranjang bersama ibunya.

Tapi Pasha tidak tidur, ia hanya pura-pura begitu. Ia tak mampu tidur, itu sering terjadi belakangan ini. Karena tahu bahwa ia akan berbaring dan bangun saja berjam-jam, iapun bangkit diam-diam, mengenakan jas bulunya dan pici di atas pakaian tidurnya, lantas keluar.

Malam jernih, bersalju beku. Es yang berkeping-keping kecil, hancur berkerisik jadi serbuk di bawah kakinya. Langit yang bersuar karena bintang-bintang memancarkan sinar biru pucat seperri nyala spritus di atas bumi hitam, dengan lumpur beku berpungkah-pungkah.

Keluarga Antipov tinggal di ujung lain kota, kalau ditinjau dari pelabuhan sunjgai. Rumahnya adalah yang terakhir di jalanan ; di seberangnya ada padang yang dilintasi rel dengan jalan silangnya dan pondok sinyal.

Pasha duduk di atas perahu yang terbalik itu dan melihat ke bintang-bintang. Segenap pikiran yang bertahun-tahun menjadi biasa baginya, berkerumunan serta menganggunya. Terasa olehnya semua itu harus selesai dipikirkan pada waktunya, jadi mungkin juga sekarang ini.

Tak boleh begini terus, gagasnya. Lama sebelum kawin, ia mestinya sudah menyadarkan akan hal ini. Mengapa Lara membiarkan dia sewaktu kecilnya untuk memandang padanya sepuas-puasnya? Ketika itupun Lara sudah mempu menyuruhnya berbuat apa saja sekehendaknya. Mengapa ia tak pernah punya kesadaran untuk menghentikan hal itu pada waktunya, ketika Lara sendiri mendesak? Belum jelaskah bahwa yang dicintainya bukanlah dia, melainkan tugas yang diwajibkannya sendiri dan dilakukannya dengan kemurahan hatinya ini? Yang dicintainya ialah gandaan heroismenya sendiri. Tapi apa hubungan panggilan suci ini, sungguhpun berjasa atau luhur dengan kehidupan keluarga yang sebenar-benarnya? Yang paling celaka dalam hal itu ialah bahwa ia cinta padanya tetap seperti dulu. Lara luar biasa manisnya. Namun yakinkah ia akan cintanya sendiri? Ataukan itu rasa hutang budi yang hilang akal menghadapi kecantikan serta murah hatinya? Siapa sanggup menemukan yang benar?

Jadi apa akan dibuatnya? Melepaskan istri dan anaknya dari hidup munafik ini? Ini bahkan lebih penting dari membebaskan diri. Ya, tapi bagaimana? Cerai? “Sampah keji!” kecamnya geram. “Yang semacam itu takkan kubuat! Jadi tak guna latihan melodarnma ini, sekalipun hanya dibayangkan.”

Ia tengadah ke bintang-bintang, seakan minta nasehat mereka. Bintang-bintang itu berkedip terus, kecil besar, satu-satu atau sekelompok, ada yang biru, ada yang berwarna pelangi. Sekonyong-konyong mereka terhapus dan rumah, pekarangan, serta Pasha yang duduk di perahu itu disoroti cahaya deras dan denyar, hingga nampak jelas seolah ada orang lari dari padang ke gerbang melambaikan suluh terbuka. Kereta api tentara yang menyembulkan asap berkepul-kepul ke langit kuning diselingi api, melewati silangan jalan untuk pergi ke Barat seperti lain-lainnya tak terbilang banyaknya, yang telah lewat siang malam selama tahun yang lalu.

Pasha tersenyum, naik tangga dan tidur. Ia telah menemukan jawaban.
***