Api Membakar Gereja

Arie MP Tamba

Ia kembali memandangi api itu di dalam mimpinya dan menjadi panik. Bagaimanapun ia harus menemukan cara untuk menyampaikan mimpi itu kepada orang-orang. Tapi anak-anaknya benar-benar tak berperasaan. Mereka memandanginya seperti seorang cacat yang tak berguna. Mereka menanggapinya secara tak serius, seolah ia hanya akan menceritakan sesuatu yang tak penting. Mereka tak menaruh hormat lagi pada usia lanjut; hingga ia pun tak percaya apakah mereka juga akan menghormati misteri mimpi. Dan karena keraguan sesaat menggelapkan benaknya, ia menjadi lupa hendak mengatakan atau menceritakan apa setiap kali berhadapan dengan mereka.

Maka, selalu begitu: anak-anaknya, menantu-menantunya, cucu-cucunya itu, akan menggeleng-gelengkan kepala dengan kecewa, dan mengin gatkan, bahwa mereka tak perlu diganggu untuk hal-hal yang tak begitu penting.

Tapi ia tidak sekali atau dua kali memandangi gereja itu dibakar api. Ia telah menyaksikannya berulang-ulang di dalam mimpinya. Di depan gereja ia berdiri di antara orang-orang yang sedang membeli buku-buku maupun kaset lagu-lagu rohani. Beberapa anak merasa terganggu oleh sosoknya yang besar dan menghalangi langkah mereka. Ia menjadi merasa bodoh ketika seorang tua mengajarinya minggir dan menunggu di tepi halaman. Sepertinya ia dianggap
sudah pikun, karenanya ia mencoba menjelaskan.

Tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya yang menjebi kaku. Wajahnya berkeringat tersengat panas matahari siang. Kebaktian pagi baru saja selesai,
persis tengah hari; tapi ia merasa masih mengikuti acara kebaktian di halaman gereja itu.

Memang masih banyak orang-orang yang sengaja menunggu seperti dia di depan gereja itu, mengobrol dan tertawa-tawa atau saling menyalami karena pertemuan sekali semi nggu, tapi sebagian besar sudah memutuskan berkemas-kemas meninggalkan halaman gereja dan beberapa orang dengan tak sabar sudah melontarkan kata-kata “makan siang di restoran saja”.

Sementara ia masih harus menunggu salah seorang cucunya, datang menjemputnya. Hal mana membuatnya merasa tak enak, karena ia selalu membuat salah seorang dari mereka terpaksa meninggalkan kesibukan, acara-acara liburan pribadi, ataupun secara sengaja menunda dan bahkan membatalkan satu janji demi tugas mengantar jemput “ayah yang tak pernah membuka mata untuk kota besar”, “mertua yang masih kolot”, atau “kakek yang sudah pikun”.

Sungguh menyakitkan menyadari kenyataan seperti itu — dengan kebiasaannya mengikuti kebaktian setiap hari minggu — ia hampir merasakan dirinya sebagai penjahat di tengah keturunannya yang lebih bahagia dengan acara masing-masing pada setiap hari minggu di kota besar itu. Acara-acara ‘duniawi’ yang tak berhubungan sama sekali dengan “perintah Tuhan untuk beristirahat pada hari ketujuh”.

Ia teringat masa kanaknya di kampung halaman, di mana orang-orang menjadikan acara kebaktian hari minggu sebagai jadwal tetap dalam kehidupan mereka — maka orang-orang akan meninggalkan rumah pada jam yang sama pada pagi hari minggu, mengunjungi dan menikmati hari yang sama di sebuah gereja ber dinding papan dan berlantai tanah-mereka saling mengetahui siapa yang tak hadir pada minggu tertentu dan apa alasannya.

Tentu saja, ia dan ayah-ibunya selalu hadir di gereja sederhana itu dan menikmati kegembiraan pertemuan di halaman terbuka, ketika acara kebaktian selesai dan orang-orang belum lagi ingin pulang ke rumah, tapi masih saling bertukar kabar seolah sudah lama tidak berjumpa; padahal setiap hari mereka berkesempatan bersua di pasar, di sekolah, ataupun di jalan-jalan menuju ladang masing-masing.

Ia selalu diingatkan oleh ayah-ibunya, untuk menyalami semua pengurus gereja; dan ia senang merasakan kesejukan dari tangan-tangan mereka yang kasar karena banyak bekerja di ladang. Atau, apabila ia lupa dan kedua orang tuanya tak mengingatkan, besoknya ia akan sengaja pergi menyalami para pengurus itu di ladang mereka, meminta maaf karena kemarinnya terlupa dan langsung pulang ke rumah.

Di kampung halamannya, bahkan menyalami seorang pengurus gereja telah menjadi bagian tak terlupakan dari jadwal mengikuti kebaktian setiap hari minggu. Sementara, kini, menunggu di depan gereja besar dan berdinding beton tinggi itu, di tepi halaman, di antara orang-orang yang berkemas mau pulang ke rumah dan saling berombongan sesama mereka, ia tak bisa mengurangi perasaan bahwa sesaat ia seperti sedang berada di halaman gereja desanya, serayasepasang matanya mencari-cari para pengurus gereja yang tak muncul-muncul juga untuk disalami.

Ketika cucunya akhirnya tiba, ia katakan kepada anak lelaki itu bahwa ia masih menunggu pengurus gereja; ingin menyalami mereka seperti pada hari-hari minggu sebelumnya. Ia belum mau pu lang ke rumah karena masih harus melaksanakan pesan ayah-ibunya. Tapi anak lelaki itu tampaknya tidak mengerti apa yang dikata kannya, dan kemudian malah bertanya apakah ia mau membeli buku-buku atau kaset lagu-lagu rohani. Siapa penyanyi kesukaan Kakek?

Ia meralat anak lelaki itu, menjelaskan bahwa ia sedang menunggu pengurus gereja, para pengetua yang harus disalaminya sebagai pertanda rasa hormat dan berterima kasih atas “firman” yang telah mereka bacakan dan jabarkan dengan ilustrasi kehidupan sehari-hari di lingkungan mereka sebagai peladang tadah hujan di pedala man hutan rambung itu.

Ia merasa marah karena pertama kalinya keinginan baiknya diperlakukan sebagai persoalan tak penting. Anak lelaki itu sudah 2 tahun menjadi mahasiswa dan tampaknya masih seorang bocah ketika berhadapan dengan sang kakek yang tiba-tiba saja berting kah aneh, dan ia mulai menyesalkan: mengapa dengan begitu mudah, ia menerima tugas mengantar jemput sang kakek mengikuti kebaktian di gereja kali ini. Sementara, matahari siang semakin panas. Dan ia terlanjur sudah menerima uang komisi dari ayah ibunya untuk melakukan pekerjaan sosial di tengah keluarga itu!

“Kakek mau membeli sesuatu tidak?”
“Ya. Ya. Sebentar lagi mereka pasti keluar.”
“Kalau buku, lebih baik beli di toko. Kasetnya saja beli di sini, karena pengedarannya memang terbatas.”
“Ke mana para pengetua itu?”
“Yaaa… Kakek ini sebenarnya mau apa, sih?”
“Saya harus menunggu mereka. Besok mungkin tak berjumpa.”
“Saya buru-buru, Kek!”

Anak lelaki itu beranjak, merangkul tangan si kakek, rupanya ingin menarik si kakek dari halaman itu, dan si kakek menoleh.

“Saya akan menunggu dan menyampaikannya kepada mereka… Heh, lepaskan tanganku!”
“Yaaa, Kakek… Hari sudah siang. Dan di sini panas sekali. Kita pulang.”
“Kau mau pulang, pulang saja. Kau bisa pulang sendiri, kan? Saya masih harus menyampaikan mimpi…tunggu dulu!…”

Ia mengeluarkan selampe dari saku dan melap keningnya yang dibasahi keringat. “Saya harus menceritakan tentang api yang membakar
gereja. Kalau tidak, siapa yang akan menyampaikan?”

Ia memasukkan selampe yang basah itu ke saku jasnya yang berwarna hitam. Melihat itu, si anak tak dapat membayangkan betapa gerahnya tubuh dan perasaan si kakek terkurung pakaian tebal hitam-hitam di bawah terik matahari siang itu. Si anak merasa kasihan memandangi si kakek.

Si anak akhirnya melepaskan tangan si kakek dan keluar dari halaman gereja. Ia melihat, karena para pengunjung sudah banyak yang pulang, jalanan di depan gereja sudah mulai sepi dari mobil-mobil yang diparkir. Ia sudah dapat memindahkan mobilnya lebih dekat lagi ke halaman gereja. Pikirnya, biarlah si kakek tenggelam beberapa saat lagi dalam kepikunannya. Terus terang, ia merasa tak sepandai saudara-saudaranya menyiasati dan mengatasi tingkah laku si kakek bila muncul pikunnya.

Sementara, para pedagang kaset lagu-lagu rohani dan pedagang-pedagang buku agama itu, hampir secara bersamaan mulai berbenah mengemasi barang dagangan mereka. Mereka ingin pulang. Hari sudah siang dan tak ada lagi calon pembeli; kecuali beberapa orang jemaat yang masih mengobrol, sambil beranjak perlahan me ninggalkan halaman gereja.

Ketika anak lelaki itu kembali ke pintu halaman gereja, dengan mobilnya, ia melihat si kakek sedang berbincang dengan seorang tua yang agaknya pengurus gereja. Halaman gereja benar-benar lengang. Para pedagang itu telah pulang. Si anak mengerutkan kening. Pikirannya kembali mendesak agar mereka segera pulang; karena ia masih harus bepergian bersama teman-teman kuliahnya.

Sementara, si kakek dan temannya berbicara itu memandang tak acuh ketika si anak menghampiri dengan wajah cemas.

“Kek!… Kita pulang?”

Anak lelaki itu berdiri seperti orang tolol.

“Jadi bapak melihat api menghanguskan atap gereja ini? Cuma atap? Bagaimana dengan dinding dan isinya? Apa?…”

Anak lelaki itu tiba-tiba merasa sedang berhadapan dengan dua orang tua sinting.

“Kalian sedang bergurau, ya?”
“Api menyala-nyala.”
“Tak ada pemadam kebakaran? Atau orang-orang yang datang menolong?…”

Kemudian, anak lelaki itu masih mendengarkan pembicaraan yang tak ia mengerti ujung pangkalnya. Dan si kakek masih saja melepaskan tangan anak lelaki itu, yang setiap kali berusaha menariknya dari halaman gereja.

Si kakek menjelaskan dan seperti tersadar, lalu tampak nyata seperti seorang bocah sekarang. “Saya harus menyalami bapak. Terima kasih karena bapak sudah berkhotbah dengan baik, dan masih berkenan membagi-bagikan firman yang indah untuk kehidupan kami!…”

“Kakek?”
“…lalu bagaimana rumah pengurus gereja di belakang, apa kena api? Heh, kok menyalami? Ya. Ya. Terima kasih, terima kasih.”

“Kakek, mari kita pulang!” Si anak kini merasa malu, dengan tak sabar menghentakkan tangan sang kakek dan bermaksud menyer etnya. Namun si kakek meronta, terganggu, “Tapi, pada mimpi-mimpi yang lain, api tak begitu besar!”

Si pengurus gereja kini mematung bimbang melihat kakek dan cucu itu saling menarik dan meronta. Ia meragu apakah akan menanggapi kata-kata yang baru didengarnya. Pikirnya, kalau api memang tak besar, itu bagus sekali. Sebuah mimpi yang tak begitu menyeramkan.

Anak lelaki itu mengerahkan segenap tenaganya.

“Kalau tahu kakek akan bertingkah kelewat aneh, saya akan menolak pekerjaan ini tadi pagi!”
“Tolong dikabarkan kepada semua jemaat, bapak pengetua. Api akan membakar gereja!”
“Ya. Bagus. Itu mimpi penting dan akan kami bicarakan. Tapi bapak sudah harus pulang. Jangan membuat kesal cucu…Anda!”
“Ingat, Pak, jangan menunda-nunda mengabarkan kepada jemaat. Itu jelas pertanda yang mendesak dipikirkan. Sebuah peringatan penting!”
“Baik, baik, mimpi itu boleh jadi peringatan. Tapi, Anda pulang saja dulu. Hari sangat panas dan cucu Anda sudah tak sabar!”
“Mengapa bapak ikut mendorong saya?…”

Si kakek merasa kerepotan sekarang karena ia ditarik anak lelaki itu dan juga didorong si pengurus sampai ke dalam mobil. Pikirnya, ia memang harus segera pulang karena sudah lapar dan ingin makan siang. Tapi, dalam persoalan yang begitu penting yang sudah disampaikannya, ia belum menjelaskan siapa yang ia lihat telah membakar gereja itu. Sebelum ia pulang dan makan siang, ia harus menyampaikan kepada si bapak pengurus, bahwa beberapa orang berpakaian hitam-hitam berikat kepala merah, malam-malam telah datang menyerang dan membakar gereja itu dari segala penjuru.

Mereka melemparkan obor-obor menyala dan tertawa-tawa gembira menyaksikan api cepat membesar menghanguskan atap gereja, lalu mulai melalap dinding beton yang tinggi itu, dan juga membakar bagian dalam: yang ternyata berisi orang-orang yang sedang mengi kuti satu kebaktian penting dengan khusuk.

Maka, api pun tak tercegah menyala di mana-mana dan jerit tangis para jemaat yang kaget, ketakutan dan terkurung di dalam gereja menyeruak di antara gemuruh kekacauan ketika bagian bela kang gereja mulai ambruk. Dengan pikiran dipenuhi tanda tanya dan kecemasan, puluhan jemaat berhasil berlarian dan berebutan keluar dari pintu gereja, namun mereka tak menyangka sudah dihadang orang-orang berpakaian hitam-hitam itu dengan senjata otomatis di tangan. Para jemaat itu sempat mengira, telah berhasil menyela matkan diri dari ancaman nyala api yang mengerikan di belakang mereka; dan tak pernah menyangka, akan ambruk hampir dalam waktu bersamaan oleh “siraman” peluru-peluru panas dari tangan-tangan terampil orang-orang berpakaian hitam-hitam di depan mereka!…

Dengan perasaan dilanda gerah dan gelisah, si kakek tersadar dari mimpi singkat, dan menyandarkan tubuh di jok mobil yang membawanya pulang. Ia melihat cucunya mengemudikan mobil dengan tenang. Sementara, di matanya berkelebat bayangan peristiwa terakhir dari mimpinya: ketika api menghanguskan segalanya, dan orang-orang berpakaian hitam-hitam berikat kepala merah itu, dengan tawa seram mereka, menghilang ke dalam gelap.

“Teruskan saja tidurnya, Kek! Lumayan, masih lima sampai sepuluh menit lagi baru tiba di rumah!…” kata anak lelaki itu mulai menyunggingkan senyum kemenangan!
***
Bekasi Timur, 1998