Hari Ini Kita Mengurai Kecemasan

Taufik Wijaya

Sekian puluh ribu tahun yang lalu, wajah-wajah yang tak pernah kita kenal, saudara-saudara kita yang tak pernah kita sapa –kecuali Nabi Nuh yang dikisahkan dalam berbagai kitab– dilibas ratusan ombak yang diibaratkan setinggi gunung. Semua meregang nyawa, lalu puluhan kota tenggelam, kecuali Nabi Nuh dan beberapa pengikutnya yang selamat bersama kapalnya.

Kisah itu pun disebut sebagai ‘kiamat pertama.’ Berbagai spekulasi lahir. Kaum rasionalis menyebutnya sebagai bagian dari bencana mencairnya es di kutub utara. Dan kaum moralis menyebutknya sebagai hukuman Tuhan terhadap manusia yang mengkhianati Tuhan.

Sejak peristiwa itu, manusia di muka bumi ini sangat cemas menerima kemurkaan Tuhan atau Dewa, jika melakukan perbuatan yang dibenci Tuhan atau Dewa. Mereka pun memberikan berbagai upeti, dimulai dari binatang, buah-buahan, hingga manusia.

Sejalan dengan itu, kecemasan manusia terus bergerak, hingga akhirnya manusia cemas terhadap realitas setelah mati; apakah hidup di suatu tempat atau suasana yang damai yang disebut surga atau suatu tempat yang penuh siksaan disebut neraka.

Sebulan yang lalu, saya, anda dan masyarakat Indonesia cemas dengan kehidupan sehari-hari. Cemas jika keluarga kita akan hidup terlantar, jika kita mati. Cemas jika keluarga kita menjadi gelandangan, jika kita mati.

Kecemasan itu seperti direkam Heri Mastari dalam puisinya Bila Aku Mati yang dimuat Sriwijaya Post, Minggu, 26 Desember 2004. Simaklah

Bila aku mati
Aku tak bisa bayangkan
Melihat istriku menjunjung kue
Berkeliling kampung…

Bila aku mati
Aku tak bisa bayangkan
Melihat anakku yang kedua
Berbaju kumal penuh daki
Turun naik bus kota
Dengan kericikan tutup botol
Menyanyikan lagu skenanya
Mengharap kasihan
Untuk membeli boneka Barbie
Dan tongkat ajaib Nirmala kesukaannya…

Minggu, 26 Desember 2004, sebuah gempa bumi dan berlanjut dengan gelombang Tsunami, menghantam dan menewaskan ratusan ribu manusia di India, Sri Langka, Thailand dan Indonesia. Ratusan ribu saudara kita –yang sebagian besar mungkin belum pernah kita sapa– mengerang pilu dan tak mungkin digambarkan dalam kata-kata.

Maka, hari ini, kita atau semua saudara kita yang hidup di pesisir atau di dekat gunung berapi cemas akan datangnya gempa bumi atau bencana gelombang Tsunami.

Saudara-saudara kita di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, kini tidak lagi cemas mati lantaran peluru nyasar dari senjata tentara GAM atau Indonesia. Mereka cemas bila ada gempa bumi dan gelombang Tsunami susulan.

Presiden SBY pun kini tidak lagi cemas bila dikritik lawan politiknya dan masyarakat dengan rencananya menaikan harga BBM. SBY cemas jika bencana yang dialami saudara kita di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara terjadi pula di belahan Indonesia lainnya.

Saya pun tidak lagi cemas akan adanya ledakan bom, saat mendatangi pusat keramaian seperti supermarket, hotel atau pasar. Saya cemas jika sewaktu-waktu terjadi gempa bumi di Palembang dengan kekuatan 7,5 skala richter. Bahkan, saya pun tidak gemetar –seperti biasanya– ketika tim sepakola nasional Indonesia dikalahkan 1-2 oleh Malaysia dalam babak semi final pertama Piala Tiger.

Dan, kecemasan itu pun merontokan segala kecemasan masyarakat yang diungkapkan Heri dalam puisinya itu.

Sepkan lalu, teman dari Jakarta berujar dalam kalimat yang selama ini sudah saya lupakan; “uang tak pernah menyelesaikan semua persoalan hidup kita. Apapun yang kita lakukan, yang penting kita bahagia dan tenang, bukan uang.”

Katanya para koruptor yang dapat dikatakan uangnya sudah berlebihan, justru hidup dalam kecemasan yang lebih menakutkan dari kita. Mereka cemas jika uang hasil korupsi itu mendatangkan karma bagi dirinya dan buat keluarganya. Mereka cemas jika korupsi yang dilakukan diketahui orang, sehingga masuk penjara. Mereka pun cemas, jika korupsi itu mencoreng dan membunuh harga diri anak-anaknya di kemudian hari.

Jadi, tampaknya bencana alam yang menelan ribuan saudara kita di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara seakan memberikan peringatkan kepada kita, untuk menempatkan kecemasan pada suatu hal yang memang harus dicemaskan. Tentunya, kecemasan itu bukan membuat kita menyajikan seorang perawan yang dimasukan ke dalam kawah gunung berapi untuk Tuhan atau Dewa.

Kecemasan pada diri kita; menjadi makhluk yang paling percaya diri dengan ilmu pengetahuan dan kekuasaan. Atau, kita tidak lagi cemas bahwa kita sebagai makhluk yang lemah dan pelupa.
***