Dokter Zhivago

Boris Pasternak
(alih bahasa Trisno Sumardjo), disalin dari terbitan Djambatan, Maret 1960)

Mereka hampir-hampir sayang pada reruntuh stasiun itu yang seperti tempat berlindung bagi orang yang mendaki gunung pada waktu libur. Bentuknya, letaknya, soal-soal kecil dalam kerusakannya terpancang dalam ingatan Yury.

Tiap senja merka balik kepadanya, waktu matahari –lantaran taat kepada kebiasaan lama– tenggelam, seperti yang selalu terjadi, di belakang pohon berk dio ;luar jendela telegrafis.

Sebagian tembok di sebelah luar telah roboh dan menimbuni kamar, tapi jendelnya masih ada, pun sudut diseberangnya masih utuh, beserta kertas kuning berwana kopi, ditungku bertegel dengan lobang hawanya yang bundar dan tutupnya dari kuningan serta daftar perabot kantor berbingkai hitam, Tak ubahnya dengan sebelum kecelakaan, matahai yang sedang tenggelam itu merayap atas tegel-tegel dan menyalakan cahaya sawo matang yang hangat di kertas serta menggantuingkan bayang-bayang pohon berk pada kait seperti syal wanita.

Di belakang gedung ada kamar tunggu yang remuk, tapi di pintunya yang terkunci masih ada kertas pengumuman yang terpaku waktu hai-hari pertama Revolusi Perancis atau belum lama sebelumnya; bunyinya: “Penumpang yang memerlukan obat dan bebat diminta untuk sementara jangan kuatir. Disebabkan hal-hal yang mendesak, pintu disegel; dengan ini harap maklum.”
Ttd Dokter di Daerah Ust-Namdinsk
Si Anu

Ketika akhirnya gunduk-gunduk salju antara bagian-bagian rel itu disingkirkan, nampaklah jalan kereta api terentang jauh, lurus lagi rata bagai panah. Banyak gunungan salju mengkilat di kanan kiri rel, putih di depan pagaran hutan yang hitam,.

Kelompok-kelompok yang memegang catuk berdiri berjarak-jarak di sepanjang rel. Melihat satu sama lainnya pertama kali, heranlah mereka menyaksikan jumlah mereka sebesar itu.
***bersambung