Dokter Zhivago

Boris Pasternak
(alih bahasa Trisno Sumardjo), disalin dari terbitan Djambatan, Maret 1960)

Selama Yury tidur sepuas-puasnya, musim semi tambah panas dan melelehkan seluruh jumlah salju tak terbilang itu yang telah turun antero Rusia; semua salju yang turun di Moskow pada hari keberangkatan mereka dan terus saja turun sepanjang jalan sejak itu; semua salju yang selama tiga hari merka buang dari rel; semua lapisan salju, tebal, dalam, yang hinggap sepanjang pandangan mata di bukit dan tanah datar dalam jarak tak terbatas.

Pertama-tama salju meleleh tenang dan diam-diam dari dalam. Tapi ketika telah terjadi separoh dari proses raksasa ini, tak dapat lagi ia disembunyikan dan mulai nampaklah keajaiban. Air menggelegak dari bawah, menyanyi lantang. Rimba bergerak dalam kelebatannya yang tak tertembus dan bangunlah segala-galanya di dalamnya.

Untuk air itu banyak sekali tempat bermain. Ia berceburan dari batu karang, mengisi tiap kolam berlimpah-limpah, lalu menyebarkan diri. Ia bergemuruh dan merabun dan beruap di rimba. Ia menggarisi hutan-hutan, tenggelam dalam salju yang merintangi geraknya; mendesis di tanah datar atau melontarkan diri dan tertebar dalam cipratan keruh. Bumi jadi kenyang. Pohon-pohon ru yang tua berdiri di ketingggian yang mengerikan, hampir-hampir minum cairan dari mendung, sedangkan di akarnya keluar uap putih yang mongering, mirip pada buih bir di kumis orang.

Langit yang mabuk oleh musim semi dan pusing oleh segala uapnya itu menjadi tebal karena mendung. Mendung rendah yang ditepi-tepinya menggelembur bagai vilt, melayang atas hutan-hutan, maka terlontarkan hujan daripadanya, hangat, berbau tanah dan peluh, membilas lapisan pertahanan es hitam yang terakhir dari bumi. Yury bangun, menggeliat, menegakkan diri atasi sikutnya, lalu melihat-lihat dan menyimak.
***bersambung