G3 WA 3 (Gara-gara Grup WhatsApp)
Ada satu kelemahan kerja malam yang tak bisa kuatasi: lapar dan makan. Istriku bilang bawa saja buah, “Bisanya kau tahan. Lapar ada di pikiranmu jadi lawan dan nanti hilang sendiri. Yakinkan kau yang menang,” nasehatnya kayak Mario Teguh.
Aku tak suka Mario Teguh -bahkan sebelum heboh kasus menolak anaknya itu- dan juga kawan-kawan sejenisnya. Jadi aku selalu makan lengkap bekal yang sudah kusiapkan sama seperti makan pagi, siang, dan malam: ada nasi, satu lauk, sayur, sambal, dan pisang. Satu paket lengkap. Perkara perut makin besar, nantilah itu.
Di ruang makan kusantap bekalku sambil lihat-lihat WA.
“Bro/Sis yang masuk malam, ane off dulu, perlu bantuan email saja, besok langsung ane amankan. Jangan WA, HP mati,” tulis Badu.
Berapa jamlah dia tidur semalam dan kenapa istrinya tidak ngamuk-ngamuk melihat dia keluar malam terus.
Pesan kedua dari Kartika yang masih melotot rupanya. Besok kalau ketemu, boleh juha kutanya kenapa dia begadang. “Kalau nyatukan filenya, empat yang asli jangan dihapus,” instruksi Kartika, yang dijawab Bos Perencanaan: “@kartika, besok priotas tuntaskan daftar.”
Kumasukkan sendokan terakhir nasi gorengku, ini menu rutin karena bekalku hampir selalu sisa makan malam. Muncul juga rasa rasa kagum dan salut menyaksikan energi dari orang-orang yang tak putus-putusnya ber-WA.
Satu jam istirahat, jangan lebih, tegas Bos Personalia. Dan aku bersama kawan-kawan yang tak naik-naik pangkat dan gaji itu menafsirkannya dengan: jangan kurang pula.
Dung dung, sret sret sedang kosong dan masih ada setengah jam waktu istirahat, maka kupencet-pencet saluran TV: banyak yang mengulang siaran pengadilan Jessica Wongso. Kumatikan sebelum pindah pindah ke ruang tamu yang ada sofa panjang dan lembut. Kupasang alarm Samsung-ku, berharap tidur sejenak supaya bisa fokus ke empat file tadi.
Baru beberapa saat menutup mata, sudah ada dung dung, sret sret lagi. Sambil tetap menutup mata, kutebak-tebak, dari siapa sekali ini. Badu sudah tidur, Kartika sudah kena ‘tegur’ bos dan pasti menghilang. Bos Utama dan Bos Operasi sudah dari tadi senyap, jadi tinggal Bos Perencanaan. Cuekin sajalah, paling soal daftar lagi dan sedang kukerjakan kok. “Nanti saja balas kalau sudah selesai,” tegasku.
Ding ding, sret sret lagi. Aku ragu untuk membukanya atau tidak dan sialnya pas tidak ada pula bunyi tokek. Bingung sebentar tapi kuputuskan untuk tidak membukanya. Kupejamkan kuat lagi mataku bertekad untuk melanjutkan upaya tidur lelap. Ada ding ding, sret sret yang masuk lagi.
Aku bangkit sedikit kesal tapi juga sedikit cemas. Kalau tiga-tiganya dari Bos Perencanaan, mungkin ada soal lain. Kalau dua lagi dari orang lain, siapa pula yang dua itu. Kubuka, bangsat, yang pertama dari Badu: “Bro/Sis… sori besok baru masuk siang, mau langsung ke percetakan. Kalau bantuan mendesak, telpon saja besok.”
Yang kedua dari Bos Perencanaan: “@Simatupang yang shift malam kan. CC ke saya kalau kirim daftar ke Amelia. PDF-kan juga.”
Sedang yang ketiga dari Bos Operasi: “Jangan lupa George.”
Masih ada 15 menitan lagi waktu istirahat dan kubalas WA Bos Perencanaan, “Baik Bu, sedang proses.” Kudiamkan Bos Operasi karena aku yakin dia tak tahu cuma aku sendiri yang masuk malam, jadi bisa cuekin saja dulu sampai nanti aku sudah menelepon George.
Sisa waktu, kulihat-lihat WA grup lain. Sebenarnya yang paling seru dari antara yang kurang seru itu adalah WA FISIP –ada tiga grup sebenarnya untuk kawan kuliah dulu: satu fakultas, satu jurusan, dan satu lagi angkatan fakultas. Di WA FISIP sesekali ada yang sampai panas-panasan, bukan saja karena mereka menempatkan diri masing-masing sebagai pengamat sosial politik yang tajam, juga karena mereka sudah berpihak ke parpol tertentu dan calon gubernur tertentu. Kalau sudah mereka berdebat, cukup seru.
“Sandiago U-NO, Agus Yudhoyo-NO, tapi Ah-OK,” tulis satu pesan dan disambar langsung: “Susah-susah kuliah FISIP kok mikirnya kayak anak SMP” yang dicampuri anggota lain: “Soal kebijakan Ahok juga OK, yang dua lagi NO-thing yet.”
Masuk lagi pesan lain, “Ingat perdebatan politik jangan di grup” yang ditimpalin: “Tak masalah, kematangan politik kita sudah teruji. Hidup Indonesia” dan dikomentari pula: “Tapi belum semuanya, khususnya para Ahok haters.”
Ini dia mulai titik panasnya, kupikir, dan benar persis dibawahnya: “@Mono, coba jelaskan apa maksudnya Ahok haters.” Pesan ini dikopi dan ditambahi “Apa masih perlu?”.
Sayang alarmku bunyi dan tidak bisa kusaksikan lanjutan perdebatan itu.
Aku balik ke mejaku sambil mengucap-ucap pelang: “File tiga, file tiga, dua jam lagi, dua jam lagi.”
Sampai meja kubuka file tiga, Asia Pasifik. Kulihat-lihat lebih seksama sambil membayangkan lagi riset kecilku tentang Cina dan India tadi. Rasanya memang perlu penyesuaian. Tapi apalah awak ini, orang keuangan yang jago ngitung-ngitung. Kulanjutkan membuka file keempat, Amerika. Jadi tinggal merge file dan PDF-kan.
Ding ding, sret sret. Kubaca, “Kalau telpon George, tanya berapa besar ordernya, jangan langsung kasih tawaran. Kita bahas dulu,” dari Bos Utama. Dia tiba-tiba muncul lagi, mungkin karena mau ke kamar mandi atau baru selesai bersetubuh sama istrinya atau kesentak mimpi perusahaannya bangkrut.
Aku yakin dia juga tak tahu kalau aku masuk sendiri, jadi kudiamkan. Tapi ding ding, sret sret lagi. “Sempat ditanya, dia belum tahu, jadi yang standard saja,” balas Bos Operasi.
Agak cemas aku menunggu jawaban berikut, satu menit berlalu, dua menit… Ini waktu yang lama untuk respon WA. Lima menit, juga belum ada.
***
bersambung