Sketsa Anak Jalanan Dili – Julito da Assuncao

Siang itu udara panas menyengat. Alberto seperti tak kenal lelah menawarkan koran dagangannya ke semua orang yang melintas di Kantor pemerintahan sementara PBB, Untaet. Dari satu koran yang terjual, anak kelas lima sekolah dasar itu mendapat keuntungan seribu rupiah. “Saya diajak kawan-kawan yang sudah duluan di sini,” katanya, “awalnya orangtua saya marah, tetapi sekarang tidak lagi.” Soalnya, biarpun jualan koran, Alberto tetap berangkat sekolah, setiap jam dua belas siang. Alberto tinggal di Becora, Dili. Ayahnya punya kios. Uang perolehannya ia gunakan untuk dia sendiri, tapi kadang ia bagi sedikit ke ayah dan ibunya ; “untuk membeli beras.”

Constantino tak jauh beda dengan Alberto, tapi lebih punya modal. Ia mulai jual koran sejak November lalu, dengan modal awal 545.000 rupiah yang dipinjamkan pamannya. Sekarang pinjaman modal sudah dibayar lunas, dan dia punya tabungan enam juta rupiah. Menurut Constantino, sekolah sama pentingnya dengan sama bisnis. Tapi dia sudah tidak sekolah lagi, “karena di sekolah sering terjadi perkelahian., saya takut ke sekolah.” Ayahnya sudah meninggal, dan di Dili dia tinggal bersama pamannya. Ibunya tinggal di Baucau, sekitar satu setengah jam dari Dili. “Saya membantu ibu membeli beras,” kata Constantino.Sedangkan Jose Soares adalah cerita yang sedikit lain, walau ia juga salah satu keping dari gambar anak jalanan di Dili. Ayahnya meninggal dibunuh milisi. “Saya mulai menghabiskan waktu di jalanan setelah ayah dan ibu saya tidak ada. Saya hidup seorang diri tanpa keluarga maupun kerabat,” kata Jose di pinggir pantai, di depan Kantor Untaet. Waktu itu anak laki-laki berusia 12 tahun itu sedang melahap sebungkus mie instan mentah. Untuk mengisi perut, Jose mengemis. Kadang diberi uang dan kadang diberi mie instan. “Saya pingin sekolah seperti anak-anak yang lain, tapi itu tidak mungkin karena saya hanya seorang diri.”
***

Olandina, pemimpin sebuah LSM anak di Timor Lorosae, Et-Wave, mengaku belum bisa berbuat banyak. Mereka berupaya untuk menjelaskan kepada anak-anak bahwa kemiskinan tidak selalu beriringan dengan keberandalan dan pengemis. “Masih ada jalan lain yang bisa menghantarkan kita untuk mencari sesuatu yang bernilai,” begitu pesan Olandina pada anak-anak.

Menurut Et-Wave, perjuangan kemerdekaan Timor Lorosae sebenarnya tak hanya dilakukan orang dewasa saja, tapi juga oleh anak-anak. Merekalah yang langsung menjadi korban kekejaman perang selama ini. Dan para pemimpin yang rajin berpidato di televisi, radio, dan koran di Timor Lorosae sepatutnya melihat peningkatan jumlah anak jalanan sebagai lampu kuning. “Saya tidak mengerti apa yang mereka bayangkan ketika melihat anak-anak itu mengemis. Apa yang mereka rasakan dengan membiarkan anak-anak harus mencuci mobil,” kata Olandina, sambil mempertanyakan kenapa sebuah negara kecil harus mempunyai rombongan anak jalanan yang mengemis.

Ada terobosan Olandina, walau masih sebatas gagasan. Semua orang yang berpenghasilan tetap –entah itu staf internasional, nasional, atau pengusaha– setiap harinya mau menyisihkan 1 dolar Amerika. Dana itu kemudian nanti digunakan untuk membantu mereka-mereka yang menjadi anak jalanan karena perang, karena kekerasan sepanjang referendum. Mereka tidak tahu apa-apa, dan tiba-tiba terlompat menjadi anak jalanan. Mestinya, ada yang bertanggung-jawab.

Dan menjelang pemilihan umum akhir Agustus nanti, yang kelak akan membentuk pemerintahan pertama Timor Lorosae, masalah anak jalanan tertunda lagi. Siapa yang mau memikirkan anak jalanan ketika semua orang sibuk menyiapkan pemilu. Setelah pemilu nanti, masih saja ada hal lain yang bisa jadi akan menunda kembali persoalan anak jalanan. Pembentukan kabinet atau rekonsiliasi, misalnya. Sementara masalah anak jalanan membengkak terus, dan kenapa sebuah negara kecil yang baru saja keluar dari penderitaan kekerasan dengan gampang melupakan anak-anaknya. Anak-anak yang dulu mereka tinggalkan atas nama perjuangan, dan sekarang mereka tinggalkan atas nama kemerdekaan.
***