Aku, aku, dan aku, Za

Aminatul Faizah

Satu tahun lebih berlalu sejak cerita cintaku di mulai di SMA dan berakhir entah kapan. Mungkin cerita itu benar-benar tak pernah dimulai dan layu sebelum sempat aku mencium aromanya. Hampir tak ada perubahan yang berarti meski aku kini berada beribu-ribu mil jauhnya dari tempat tinggalku. Aku meninggalkan Indonesia namun Indonesia tak pernah sekalipun meninggalkan aku. Wajahku, hatiku dan juga paradok itu masih melekat padaku, namun di sisi lain aku telah berubah.

Setiap pagi dengan aroma Den Haag aku berubah menjadi pribadi yang baru. Ada aku yang lain saat bercermin pagi hari. Aku yang tanpa sebagian besar dari aku yang aku benci. Aku yang sebagian besar mengingkari akan aku yang lainnya. Aku yang enggan lagi bicara tentang aku, kamu dia, dan keluargamu. Aku yang sudah muak dengan paradigma aku yang benar dan kaumku yang benar dan aku-aku kuno yang masih ada padaku.

Dunia ini dulunya hanya bisa aku nikmati dalam khayalan. Di dalam ruangan dua kali tiga meter. Hanya sebatas kubikan diantara kerumun dunia. Aku yang terpancung, jiwaku yang terkebiri dengan aliran ini itu, dengan norma yang menyesatkan dan dengan bias-bias palsu antara harta dan kedudukan.

Kini ini aku yang baru. Hanya dengan memikirkan aku, aku tahu siapa aku.

Hari ini musim panas. Aku kembali ke Den Haag setelah pertunangan tak terjadi hanya karena aku yakin bahwa agamaku yang benar dan agamamu adalah agamamu, serta alasan kepergiannya yang tak aku ketahui. Aku terdiam. Mataku melihat cincin yang sengaja menggantung di meja riasku. Cincin yang harusnya aku kenakan sejak lama. Tapi sifatku yang terlalu lunak hingga kulepas begitu saja semua cintaku dan kembali ke titik tempat hanya aku dan sisiku tanpa ada dia.

Ini hidup apa?

Itu yang aku pikirkan saat jemari tanganku menyapu keningku. Mengusap kilasan dan juga residu dari mimpi pendekku semalam. Aku hidup jauh dari era Kartini dan Nurbaya namun aku takut untuk mengakuinya. Tapi pikiran itu urung aku luruskan. Aku takut kalau aku akan kalah dengan realita kehidupan.

Aku buru-buru ke kamar mandi. Mengambil sepotong roti dengan handuk yang masih mengalung di leherku. Kulihat mentari telah menyapa. Merayapi lantai apartemenku, mengecup manisnya perawan bumi dan merasakan sensasi kehangatan.

Dan kukayuh sepeda sejauh setengah kilometer, menuju kampusku. Ada empat teman laki-laki dan teman sekamarku yang datang lebih awal dariku. Ia tak membangunkanku karena tahu kalau tidur adalah hal jarang ia lihat dari aku, seorang perempuan mantan penderita kanker otak.

Hari ini adalah kelas Professor ‘Galak’ Periktion. Lelaki jangkung bertopi era tujuh puluhan yang kumal dengan tampang reyot dan senyum garing. Tapi lelaki tua itu sudah menjeratku dengan akal dan logika gilanya. Ia, bagiku, adalah ayahku yang lain.

Aku tersenyum mengangkat ransel dan berjalan ke wajah-wajah ranum temanku yang lebih dulu tiba. Semuanya berpakaian sama. berkemeja putih dengan sepatu hitam dan celana hitam. Ganjil, pikirku, karena di negara yang bebas masih ada sejumput ikatan keterpaksaan atas nama kesopanan. Mereka tak pernah bertanya sekalipun apa yang kupakai. Mereka tahu kalau aku bukanlah bagian dari mereka: aku adalah anak emas Periktion yang angkuh. Apapun yang kupakai tak jadi masalah bagi Periktion karena ujian akan aku lalui bukan bagian dari ujian formal mereka.

“Za,” kata Dl sahabatku.

Aku menatap rambut jagungnya dan mata biru nanar. Lalu tersenyum dan mendekat.

“Maaf, tadi aku asyik tidur,” lalu berjalan mengikuti langkah mereka.
“Apa kalian sudah belajar? Soalnya lebih sulit dari yang kemaren. Bersiap-siaplah…. Jangan takut.”
“Kau ikut mengawasi kami kan?” tanyanya lagi sambil menatapku.
“Aku akan di bunuhnya jika aku mengawasi kalian dengan kaos oblongku ini. Aku hanya menjaga perpustakaan. Sudah dulu ya…”
“Mati kita…..” kata Mark.
“Kita akan dapat nilai C lagi.” Kata DL.
“C itu bagus tapi kalau seperti yang lainnya D atau E….. aku tak bisa bayangkan. Seumur hidup aku belum pernah. Mengulang harus ikut ujian,” lanjut Mark.
“Dia angkuh dan juga pelit nilai namun aku menyukainya. Aku suka gagasannya. Dapat nilai E tak apa asalkan nilai A di kuliah lain,” Kata Samuel.
“Ya.. dia memang pelit memberi nilai,” kataku.

Aku berlari melawan arah mereka, aku tahu mereka kecewa tapi itu baru babak awal.

Aku harus menuju kantor professor. Pekerjaanku adalah menuangkan permasalahan dan juga kopi di otaknya. Entah apa yang ia pikirkan tentang aku. Tapi bagiku itu tak penting: yang penting adalah bagaimana aku memandangnya sebagai ayahku. Dia angsaku yang mengajari aku dari itik menjadi angsa. Lelaki tua itu menatap jendela berbingkai alumunium. Matanya tertuju pada taman-taman yang menghijau. Ia tak melirik atau bahkan tersenyum padaku. Dia menganggap aku hanyalah robot bukan manusia tapi aku cinta dia. Inilah keburukan cinta gadis Jawa. Rela tersakiti hanya demi cinta.

Aku melihatnya namun seperti biasa tak menyapa. Aku hanya menumpuk soal ujian lalu menaruh koran pagi, mengambil cangkir kosong dan menuju ruang pantry untuk menyuruh salah seorang dari mereka mencuci. Lalu aku menuju ruanganku, memasukan secangkir kopi Aroma asal Indonesia dengan dua setengah gula bit, air hangat, dan sedikit kacang almon kutabur diatasnya.

Aku membuka kembali ruangannya. Terdengar gesekan pintu yang keras. Ia menoleh dan melihatku. Lalu berjalan tiga langkah dan duduk diatas sofa. Aku menaruh cangkir di atas tangan tuanya, lalu berbalik mengambil koran. Barulah mulut keriput dengan gigi kusamnya terbuka.

“Kau sudah membaca Den haag Pos pagi ini?”
“Belum… prof.”

Aku terdiam sejenak sambil meingat-ingat di mana aku menaruh tas. Aku menoleh kesana kemari mencari tasku. Kebiasaan yang tak bisa aku buang: pelupa untuk hal-hal sepele.

“Aku tadi menaruhnya di ruanganmu saat kau keluar membersihkan cangkir,” dia mengecup ujung cangkirnya.
“Aku tadi membayangkan bagaimana bila hari ini bumi memberimu hadiah..  hujan.” lanjutnya dengan kata hujan ia tekan. Kata yang keluar dari mulutnya bermakna lebih bagiku.

“Semoga itu terjadi.”
“Apa yang kau lakukan dengan hujan?” tanyanya sambil menatapku.

Aku akan mencumbunya, merangkulnya, antara hasrat dan keintimanku dengan aroma hujan. Dia tahu kalau aku akan mengatakannya. Dan dia akan bertanya bagaimana kau tahu rasanya dicumbu jika kau tak pernah melakukannya, dan aku akan mendalilkan dengan logika yang sempat terpatri dalam ingatanku. Antara hasrat dan juga ilusi sesaat.

Memang benar, bagaimana aku tahu tentang nikmatnya bercumbu dan bersetuh tubuh jika tak sekalipun pernah melakukannya.  Sayangnya semua kejadian itu adalah kejadian dua bulan lalu.

Kni tak ada lagi profesorku: hilang dan tak akan pernah kembali.

Ruangan kecil kini hampir rapi. Semua buku usang yang pernah dijamah oleh profesorku telah kutaruh dalam kardus. Tinggal kapan buku itu akan diambil. Aku berbalik arah. Menutup kembali ruangan itu dan bergeser tiga langkah menuju mejaku. Katakan selamat tinggal, Za, katakan karena semua sudah berakhir. Tak ada lagi pria tua dengan dasi dan topi camping.

Semuanya hilang.

“Hai buku….” aku menyapa tumpukan buku.
“Tahukah engkau bahwa aku senang dan juga sedih. Senang karena aku tak mendengar keluhan temanku karena kepelitan bosmu. Dan sedih karena nasibu akan berakhir tragis. Tuanmu tak akan pulang… atau bahkan mungkin lebih parah lagi kau akan berakhir di gudang dengan debu dan jaring laba-laba.”

Si buku mungkin akan berkata: “malangnya nasibku…”
Dan rak akan berkata: “Nasbku lebih beruntung darimu. Aku mungkin akan mendapatkan pasangan baru, tapi tahukah engkau suatu hari kita akan bernasib sama.”
“Iya dan aku berharap akan berlangsung cepat.”

Aku melanjutkan kalimatku yang tertunda: “padahal kau adalah ilmu, yang menyediakan berjuta deret huruf yang bermakna. Maafkan kami buku.”
Dan si buku akan menjawab dengan kesedihannya jika bisa bicara,

“Ini nasib kami. Beruntunglah kau manusia, bisa melakukan ini pada kami. Kami barang dan kau mahluk.  Ini hakekat barang yang bisa dibuat lalu terbuang. Puji Tuhan kau ciptakan mahluk sepertimu yang mampu menciptakan.”

Lewat pantulan kaca mejaku aku berpikir sejenak. Aku… inikah aku yang sekarang. Inikah aku yang tanpa kain penutup kepala. Inikah alasan kenapa aku bukan aku? Tidak ini memang aku dan itu bukanlah aku. Ini aku yang benar-benar aku.

Ketika aku terbebas dari rantai itu dan kembali ke ujudku. Ini aku, Za, yang pernah tersembunyi dalam ikatan batin. Katanya ini adalah pertanda iman. Mungkinkah kami diperalat.. mungkinkah kami belajar berdusta ataukah itu adalah sebuah pelajaran kaumku adalah kaum yang mudah untuk dijajah. Siapapun aku, apapun agamaku tidaklah begitu penting. Apakah kami menghargai norma-norma agama kita atau tidak adalah keputusan kami. jalan yang kami pilih untuk masa depan kami: itu adalah sebuah pilihan bukan keterpaksan.

Tak ada seorangpun yang menduga bahwa aku Za gadis culun yang bermetamorfosis menjadi gadis yang bisa kuliah di Den Haag. Gadis yang mengalahkan anak emas sekolahnya. Bukan Emi anak yang cantik, kaya, dan supel. Juga bukan Didin si jenius matematika atau Mila si pendiam yang menghayutkan atau pula teman-temanku SMA lainnya.

Aku sejak awal memang salah. Aku ditaruh atas ketidaksengajaan pikiranku yang mumpuni. Aku cinta ilmu sosial, cinta kepada ilmu yang dinamis, yang selalu bergerak seperti aliran sungai yang memberikan dawai nada kesejukan pada hati. Dan hanya professorku yang tahu kemampuanku. Dialah orang pertama yang menemaniku, merangkul semua kesalahan guru-guruku di SMA dan membentuk percaya diriku.

Lorong panjang di kantor itu bak dua dimensi yang berbeda. Satu terang dan satu gelap. Cahaya masih terlau dini menyinari lorong. Aku berjalan dengan sebuah kardus penuh buku dan juga kertas usang yang pernah ditulis professor. Entah bagaimana mulanya hingga ia terbaring dan tak mengenali aku. Ia bahkan tak tersenyum sedikitpun atau memberikan sapaan halus: apakah  ia lupa dengan aku? Akankah ingatannya hilang ataukah apakah aku tak berarti apapun baginya, meski aku adalah satu-satunya orang yang berharap ia kembali. Satu-satu orang yang selalu mengkhawatirkannya, satu-satu orang yang menaruh bunga mawar kuning di dekat jendela, agar saat ia bangun bisa melihat bunga kesukaanku itu. Aku adalah orang yang menuntun saat tangannya bergetar ketika terlalu lelah.

Aku memasuki kelas Professor Periction. Kulihat semua duduk rapi. Aku tersenyum dan menaruh kardusku di atas meja, lalu mengambil buku tebal yang akan menjadi bahan diskusi. Aku mengajar seperti biasa tapi ini adalah hari terakhir. Karena esok akan ada dosen yang mengantikanku dan aku akan menjadi mahasiswa biasa lagi. Kelasku cukup diminati dan semakin hari aku mengajar semakin banyak yang hadir. Kulihat lima sekawanku duduk dengan manis di bangku terdepan. Melihatku dan bertanya-tanya kalau au yang terkecil dan termuda justru mengajar di kelas mereka.

Satu setengah jam kuliahku berakhir. Aku hanya mengatakan kalau esok pagi aku tak akan mengajar dan kembali menjadi bagian dari mereka. Aku keluar membawa kardus itu dan kelima temanku menanti di depan pintu. Mark, Dl, Samuel, Ella dan Stevent.

Dl mengambil kardusku dan Ella merangkul tangganku. Dia mulai berbisik tentang hal yang tak kuminati, gossip, minuman merek baru, dan yang lainnya. Sebelum aku mengakhiri langkahku di hari itu aku sempatkan diri menoleh sejenak ke arah ruang profesorku. Ssunyi dan hampah.

Yang ada hanya bangku kosong dengan tirai terbuka dan lantai yang agak berdebu. 
***