Maling dan Ustadz

Imron Supriyadi

Di Desa Ganjar Agung yang dihuni oleh berbagai paham dan golongan agama, aku harus bisa masuk dari berbagai pintu guna bergaul dengan mereka. Sejak awal, aku tidak pernah mempersoalkan hal-hal yang akan menjadi perdebatan panjang, tapi lebih memilih pada pendekatan sosial. Aku suka mengingat yang dikatakan Amien Rais tentang Tauhid Sosial. Menurut Amin, seharusnya umat Islam bukan memperdebatkan persoalan-persoalan khilafiyah yang tidak akan ada habisnya sampai hari kiamat, tetapi unsur kemanusiaan yang harus dikedepankan.

Malam berikutnya berjalan seperti biasa. Namun setiap malam Minggu aku selalu dihadapkan pada persoalan yang sama. Aku juga tak bisa menolak tawaran mereka untuk sekedar mampir di gardu. Kali ini mereka makin kuat menyuruhku mencoba minuman dengan menuangkannya dalam gelas dan menyorongkan ke depanku. Dengan sehalus mungkin aku terus menolak.

“Biarlah aku minum air teh saja.” Gelak tawa mereka seperti koor meremehkan aku yang mereka nilai tidak gaul. Kubiarkan saja. Aku menuangkan teh dalam gelas, yang sebelumnya sudah kucium dulu. Aku khawatir, jangan-jangan gelas itu bekas minuman keras.

“Ambil saja yang bersih saja Lif,” Rendy tahu kalau aku menginginkan gelas yang bersih. Rendy –walau menjadi peminum– masih bersikap baik. Ia tahu benar kalau aku tidak suka dengan minuman keras dan tampak segan ikut teman-temannya yang terus menggodaku minum. Mungkin karena Rendy tahu benar siapa aku di sekolah. Dan berapa banyak teman-temanku, yang sebenarnya tak jauh berbeda dengan anak-anak muda di desa itu. Rendy sepertinya tidak ingin kalau ada sedikitpun luka di hatiku. Mungkin dia cemas kalau aku melapor ke pada teman-teman di sekolahku, dan bisa terjadi tawuran besar antara ‘geng’ Rendy dengan ‘geng’ ku di sekolah; Genessis.

Kami memilih nama Genesiss dari Generasi Selalu Ingin Sukses Selamanya. Genesiss. Anak-anak Genesiss termasuk kelompok yang cukup disegani, bukan hanya di sekolahku tetapi juga di sekolah lain. Memang sebagian anak Genesiss sekelompok anak nakal, tetapi prestasi anak-anak Genesiss dalam setiap event lintas alam dan pramukaa cukup diperhitungkan. Dengan prestasi itu, banyak sekolah yang minta kepada sekolahku agar anak-anak Genesiss bisa membina adik-adik junior di sekolah lainnya. Jaringan kegiatan Genesiss yang cukup luas inilah yang mungkin membuat Rendy agak berhati-hati terhadapku. Aku anak Genesiss.

Tapi Rendy tampaknya tak pernah menceritakan aku dan Genesiss di sekolah kepada kawan-kawan minumnya di gardu. Anak-anak muda desa seusiaku yang suka mabuk hanya tahu kalau kau aku sekedar guru mengaji di desa dan sekolah di Madrasah Aliyah Al-Mizan. Itu saja. Lain tidak. Jadi wajar saja ada diantara mereka yang agak sembrono terhadapku. Apalagi sikapku lebih banyak merendah.

“Ayolah ‘Lif, minum seperti kami biar enjoy,” orang yang namanya Sintong merangkulku. Ia hendak memaksaku minum. Yang lain tertawa. Rendy sudah gelisah. Ia tidak ingin aku dipaksa, tapi tak punya nyali untuk mencegah. Sintong dikenal dedengkot ‘geng’ desa yang tidak segan-segan memberi bogem mentah kepada siapapun yang tidak menuruti keinginannya.
“Tong, aku minta jangan paksa Alif. Dia…,” suara Rendy akhirnya terdengar pelan. Mungkin dia juga sudah terkena pengaruh alkohol.

Dan tiba-tiba Sintong mendorong Rendy dengan kuat. Seketika Rendy terjungkal. Yang lain tertawa.

“Kau anak kecil, mau larang aku, heh! Alif ini teman kita. Pasti mau minum seperti kita. Ayo ‘Lif. Ayo minum,” Sintong merangkulku sekuat tenaga. Dia seperti kehilangan kendali. Tangan kirinya memegang gelas berisi minuman keras dan mengangkat gelas minuman mendekat ke mulutku. Aku tak bisa tinggal diam. Aku dorong sekuat tenaga tangan kiri Sintong yang  memegang gelas. Yang lain tampak tegang menanti keberhasilan Sintong.

Karena aku sudah sering menolak, Sintong dan kawan-kawan sepertinya tak mau gagal lagi. Sepertinya sudah jadi rencana bulat mereka untuk menjebakkuk.

Aku coba ladi mendorong tangan Sinton, tapi tanggannya terlalu kekar untukku. Ia terus memaksa. Aku kehabisan akal. Tangan kananku meronta-ronta ke arah belakang, dan terlihat botol kosong. Kuraih botol itu.

“Prak!” reflek tangan kananku memukul kepala bagian belakang Sintong. Semua berdiri, dan Rendy persis di depanku seolah melindungiku. Sintong tersungkur. Pingsan mungkin. Dari kepalanya mengucur darah segar. Pasti ada yang terluka, pikirku. Sebagian dari teman-temannya siap menerjangku, tapi dengan sigap Rendy mendorongku untuk menjauh dari mereka. Kalau seandainya Rendy tidak langsung berada di depanku, mungkin aku sudah baku hantam hebat dengan para pemabuk muda itu.

“Ren, kau tidak usah melindungi Alif. Dia sudah melukai bos,” tukas salah seorang Deni membela Sintong.
“Lif, sebaiknya kau pulang saja. Biar aku yang urus,” Rendy mengabaikan Deni.

Dan mereka hanya menatap nanar saat aku pergi menjauh. Aku berjalan mundur sedikit untuk memastikan mereka tidak menyerangku dari belakang. Jelas masih ada dendam yang mengumpal di dada mereka. Aku juga tidak tahu persisnya, apakah yang kulakukan sebagai bentuk sikap tegas dari pengikut Rasul atau tidak. Tetapi itulah jalan keluar yang secara instinktif kulakukan. Sintong sudah memaksaku untuk melanggar aturan agama.

Aku sudah mencoba bergaul dengan baik. Tapi apa boleh buat, semua sudah terjadi. Aku membayangkan insiden itu i itu bisa menjadi ledakan, entah kapan.
***