Masjid Biru – Liston P Siregar

”Hallo, siapa namamu anak manis”, tanya seorang anak muda sambil berjongkok memegang tangan Juang yang duduk kecapaian di kursi dorong. Waktu itu kami sedang berjalan menuju Masjid Biru, usai menikmati kemegahan Aya Sofia di pusat kota kuno Istambul. Kami cuma tersenyum dingin, dan meneruskan perjalanan, sedang Juang bengong tanpa ekspresi karena rasa kantuk mulai menyerang –sesuai siklus jam tidurnya.

Setelah empat hari berlanglang-buana di kawasan wisata Istambul, kami sepertinya sudah teruji kebal dari segala macam tehnik marketing orang Istambul, yang harus diakui memang sungguh ampuh. Lagipula ada informasi pengantar dari istriku –yang cenderung mengamini semua hal yang tercetak di buku. Menurut sebuah buku andalannya, terbitan Periphulus, seorang anak Istambul yang berusia sepuluh tahun mampu merayu turis untuk membeli satu kantung kertas tissu atau satu kotak kartu pos dengan menggunakan lima bahasa utama; Inggris, Jerman, Perancis, Jepang, dan Spanyol. Dan untuk pertama kalinya –menurutku– sebuah buku mengandung kebenaran.

Kami, yang kemudian ekstra hati-hati, sudah menemukan seorang anak kecil yang mencoba tiga bahasa karena kami membatu tidak menjawab. Lantas seorang remaja memamerkan kefasihan berbahasa Melayu, yang tampaknya ia gunakan menangkap turis Malaysia. Anak remaja itu berusaha menjual satu set perlengkapan minum teh ala Turki. ”Bisa untuk Ibu Mertua,” katanya fasih. Aku –walau sedikit kagum– cuma sekedar bilang ”good boy,” dan berhasil untuk tidak singgah ke tokonya. Itu masih anak kecil dan remaja, sedang yang dewasa taktiknya macam-macam, walau ternyata, sejauh ini, kami teruji kebal.

Memang buatku beli-membeli ini sudah jadi semacam perang antar dua musuh bebuyutan; ada yang kalah dan ada yang menang. Bukan sekedar barter yang saling menguntungkan. Dan dalam perang itu aku tidak mau kalah

Jadi ketika anak muda tadi terus melempar senyum pada Juang, sambil mengusap-usap kepala Juang, aku dan istriku tidak bergeming. Istriku –yang sejak awal sudah menghitung sendiri kalau bonus sepuluh tahunku hanya cukup untuk tiket dan akomodasi– semakin cepat mendorong kereta Juang.

Aku berjalan lebih ringan di belakang mengamati anak muda yang kira-kira berusia duapuluh limaan. Rambutnya disisir rapi berbelah kanan, jaket kulit coklatnya kekar tapi halus, dan sepatu tanpa tali yang sportif aku tebak merk Clark –paling tidak tiruan Clark yang berhasil. Ia tampak berbeda dari para pedagang Turki lainnya di taman penghubung Aya Sofia dan Masjid Biru.

”Tuan dari Jepang atau Malaysia,” kata anak muda itu mengalihkan perhatian. Istriku mendengar dan melirik ke belakang sambil memicingkan mata, menarik sedikit ujung kanan bibirnya. ”Indonesia,” kujawab tegas tanpa senyum, sebagai isyarat yang cukup jelas untuk tidak tertarik pada pembicaraan perdagangan lebih lanjut.

Jelas orang Istambul yang bermotif dagang cuma segelintir. Buktinya, kami sudah berkenalan dengan seorang ibu dan seorang karyawati di bis kota waktu kebingungan memastikan halte bis tujuan. Keduanya amat manis dan amat menolong sampai memberi tahu pada supir bis agar berhenti di halte tujuan.

Bahkan si karyawati yang sedang istirahat makan siang ikut turun, mengantar ke depan pintu museum Attaturk, memberi tahu nomor bis pulang, sekaligus membelikan karcis pulang, dan meninggalkan nomor telepon jika diperlukan. Gerak-gerik si ibu dan karyawati itu natural dan indah –karena wajah dan badan keduanya merupakan potret sejati percampuran Asia dan Eropa. Aku bahkan sudah merencanakan makan malam bersama si karyawati itu, Hurai Kasilcik, sebelum pulang.

Soalnya adalah kontak manis seperti itu jelas bukan kontak di kawasan objek wisata. Di sini motifnya menjual, atau kalau bisa sekedar satu tingkat lebih baik dari nodong ; mendapat uang tanpa menjual apapun. Masih ada lagi anak-anak pengemis –yang sebenarnya sudah sangat biasa buat orang Jakarta kayak kami– tapi di sini terornya lebih memukul. Aku pernah memberikan dua ratus lima puluh ribu Lira Turki, atau sekitar lima ratus rupiah, kepada seorang anak pengemis dan segera saja enam anak pengemis lain mengepungku. Bahkan seorang anak perempuan menggantung sambil tertawa besar di jaketku ketika aku berusaha membebaskan diri.

Dalam urusan perdagangan, aku pernah masuk ke sebuah toko barang antik yang menjual kap lampu gaya Persia. Sekedar melihat karena garis lekuk-lekuk peraknya sehalus lukisan-lukisan Romawi, dan toko itu –buatku– ibarat sebuah museum kecil. Cuma keluar dari toko aku diikuti sampai sekitar dua puluh meter, dan ditontoni pedagang lainnya yang sedang sepi pembeli. Seolah-olah aku baru saja melanggar persetujuan dagang besar, yang nyaris tergolong kriminalitas.

Itulah sebabnya akupun meragukan motif dari orang yang aktif menyapa kami di salah satu kawasan wisata utama. ”Presiden Soekarno dan Suharto sudah pernah ke Istambul,” tambah anak muda itu bersemangat, sedangkan aku makin ogah-ogahan. ”Oh iya.” Persis pada waktu itu kami melewati kolam air mancur dan Juang tiba-tiba hidup kembali dari kantuknya, maju lepas dari sandarannya, berteriak; ”Air mancur, turun Mamak.”

Si anak muda tadi langsung mendekat ke Juang, melepas ikatan kursi dan menggendongnya ke tepi kolam air mancur. Seruan istriku ”No, no,” tidak diperdulikannya. Aku agak kesal, mendekatinya, dan dengan nada suara otoritatif dalam bahasa Inggris yang tegas –supaya si anak muda itu mengerti walau Juang jelas tidak mengerti– ”Juang, we are going to Blue Mosque.”

Si anak muda itu melirik tesenyum; ”Masjid Biru tutup untuk sembahyang dan baru satu jam lagi buka.” Aku tersadar memang sedang mendengar suara azan lohor. Istriku tersenyum pasrah, kalah, melihat Juang sudah tertawa besar berdiri di tepi kolam air mancur sambil berpegangan tangan dengan si anak muda tadi. Aku duduk di kursi taman, istriku ikut pula duduk sambil membuka kembali buku saktinya, membolak-balik sebentar, dan ; ”Tehnik pendekatan pada anak belum ditemukan penulis buku ini,” komentarnya serius. ”Kalau begitu kita yang menemukan,” kujawab kesal.

Aku kemudian berpikir apa yang bakal dijual si anak muda ini. Kemungkinan besar dia bagian dari perdagangan jaket kulit. Banyak sekali orang-orang yang mendekati turis-turis untuk mempromosikan toko jaket kulit masing-masing. Dan semuanya yang termurah. ”The cheapest in town Sir,” begitulah iklan mereka. Dan jaket kulit coklat si anak muda yang halus membuat dugaanku cukup beralasan. Tapi aku dan istriku sama sekali tidak pernah tertarik pada jaket kulit.

Kulihat Juang sudah benar-benar hidup di tengah-tengah siklus tidur siangnya. Ia berlari-lari mengelilingi kolam air mancur dan anak muda tadi berlari-lari kecil mengikuti. Aku berdiri melarangnya, supaya tidak terlalu banyak terbeban jasanya; ”Biarkan saja dia sendiri.”

Anak muda itu kemudian mendekat ke kursi. ”Apa saya boleh mengganggu anda untuk belajar Bahasa Inggris,” tanyanya sopan, lembut. Aku pikir masih empat puluh lima menit lagi sebelum Masjid Biru buka, jadi biarkan saja. Toh kalau dia mau menjual jaket kulit sudah pasti gagal. ”Silahkan,” kataku menggeser pantat memberi ruang untuk duduk.

”Nama saya Engin, gampang mengingatnya seperti Engine dalam bahasa Inggris,” katanya menjulurkan tangan. Aku perkenalkan diriku singkat dan membiarkan dia memimpin pembicaraan. ”Saya mahasiswa Satsra Inggris, kalau sedang ada waktu luang saya suka berlatih langsung menggunakan Bahasa Inggris,” lanjutnya seolah-olah mengerti kalau dialah yang memang harus memperpanjang pembicaraan. Dia kemudian bercerita tentang pentingnya Bahasa Inggris di Istambul yang mengandalkan devisa dari turis asing, dan menuding lemahnya kemampuan Bahasa Inggris orang Istambul yang membuat Istambul gagal terpilih jadi tuan rumah Olimpiade 2004.

Aku mendengar celoteh Engin dengan sayup-sayup sambil mengamati empat menara Masjid Biru yang menjulang tinggi ke angkasa. Merayap ke atas, berupaya sedekat mungkin ke langit supaya teriakan umat manusia lebih mudah terdengar oleh Tuhan di atas sana. Suara Engin terdengar seperti ekor-ekor gema dari suara utama yang sekuat tenaga sedang menggeliat naik ke atas langit.

”Lantas kamu nanti mau jadi apa?” tanya istriku yang membuat aku tersadar pada pembicaran di bumi nyata. Sebelum menikah, istriku bercita-cita jadi penulis buku perjalanan supaya bisa jalan-jalan keliling dunia tanpa harus keluar uang sepeserpun. Setelah kawin –dengan seorang wartawan kebanyakan– cita-cita itu praktis jadi impian kosong. Namun masih ada sekeping kecil yang tersisa. Dia, menurutku, sok pingin tahu tentang potret orang setempat. Dan Engin rupanya sudah dianggap sumber yang aman.

”Kalau bisa bahasa Inggris relatif gampang mencari pekerjaan di Turki, tapi saya mau jadi guru Bahasa Inggris, punya kursus bahasa sendiri” jawab Engin. Terjalinlah kemudian dialog antara istriku dengan Engin. Artinya aku harus mengambil-alih pengamatan atas Juang yang makin liar berlari-lari di sekeliling kolam air mancur.

Sementara itu dialog Engin dan istriku terdengar makin hangat. Mereka mulai memasuki pembahasan tentang ditolaknya permohonan Turki untuk menjadi anggota Uni Eropa. Yang kudengar Engin menegaskan kalau Turki tidak akan bisa jadi anggota masyarakat internasional kalau mayoritas rakyatnya belum bisa Bahasa Inggris. Tapi istriku, yang melalap habis buku tentang Turki sebelum berangkat, membantah argumentasi naif itu dan menyodorkan masalah pertumbuhan ekonomi Turki yang, kata istriku, tak sampai 5 % sementara inflasi tahun 1998 sampai 93 %. “Itu menurut data The Economist,” tambah istriku.

Aku kaget, dan melirik tajam istriku sambil mengerutkan kening ; ‘elo memang tau atau sok tau?’ Ia langsung menjawab ringan, pakai Bahasa Indonesia; ”Aku rasa dia bukan pedagang kok Pak, tenang saja.”

Engin tidak mau kalah dan punya argumen lain, ”Tapi siapa bilang pertumbuhan ekonomi Ceko jauh lebih baik dari Turki dan mereka nyatanya dipertimbangkan jadi anggota baru Uni Eropa. Saya yakin bahasa Inggris orang Ceko lebih baik dari orang Turki.”

Aku merasa alasan Engin terlalu lugu, walau memang masuk akal. Dan sebagai wartawan aku merasa punya otoritas lebih dari mereka berdua. Jadi sebelum beranjak mendekati Juang, kukatakan ”Catatan Hak Asasi Manusia Turki juga belum begitu bagus.” Harapanku mereka segera beranjak ke tema lain, yang lebih cocok dengan kapasitas mereka.

Engin mengangkat kedua tangannya, ”itu kan cuma alasan ideologis yang didramatisir. Alasan praktisnya bagaimana mungkin menjadi satu kelompok kalau berkomunikasi dalam satu bahasa saja belum bisa,” katanya ngotot.

”Ya tapi anda harus sadar kalau trend di Uni Eropa saat ini ya Hak Asasi Manusia. Mereka bahkan sudah bikin Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa dengan kriteria standard,” kataku sedikit panas karena merasa otoritasku tertantang.

”Baik, baik, sekarang kamu Engin lebih suka Turki masuk Uni Eropa atau tidak,” sela istriku tegas untuk menyingkirkan aku dari perdebatan mereka. Aku melirik jam, pukul tiga lewat sepuluh menit, jadi masih ada sekitar dua puluh menit lagi mereka bakal berdebat. Tapi diam-diam akupun mulai yakin kalau Engin bukan pedagang. Seorang mahasiswa energetik yang berani punya pendapat, seperti ibu dan karyawati yang membantu kami.

Haapannya Turki bisa masuk Uni Eropa , tapi harus sesegera mungkin supaya Turki jangan menjadi anggota kelas dua yang tidak punya hak veto. ”Kalau cuma mengikuti apa yang dikatakan negara-negara Eropa Barat untuk apa? Harus sejajar posisinya.” katanya. Aku melihat ke arahnya sambil mengangguk kecil. Mau tidak mau, aku yang berasal dari negara Asia yang sering dipotret sebagai negara kelas dua, punya sentimen sama.

”Hayo sekarang kalian harus ke Masjid Biru, sepuluh menit lagi sudah buka,” sentaknya dan ia memanggil Juang. ”Hayo Juang kita pergi.” Kami berdua terkejut karena Juang ternyata langsung patuh, memegang tangannya, berjalan lurus ke depan. Rasanya sebelum ini tidak pernah Juang langsung mau meninggalkan apa yang sedang ia kerjakan.

Kami berempatpun berjalan santai menuju Masjid Biru sementara istriku melanjutkan eksplorasinya dengan menanyakan keluarga Engin. ”Kami orang Istambul asli, saya anak kedua dari empat bersaudara, kakak perempuan saya sudah menikah, satu anak persis seperti Juang. Kalau orang lihat mereka berdua seperti bersaudara.” Engin juga bercerita tentang ayahnya yang sudah berusia enam puluh tiga tahun tapi masih keras kepala menghabiskan dua bungkus rokok sehari.

Pintu gerbang Masjid Biru sudah tampak, tapi belum terlihat barisan orang yang keluar usai bersembahyang. Kami berempat melenggang pelan. Hening. Juang, tanpa rasa kantuk lagi, memegang akrab tangan Engin.

Sekitar seratus meter menjelang gerbang Masjid Biru, Engin menghentikan langkahnya, melirik jam tangannya, Swatch, yang bertali warna merah dengan garis-garis biru. ”Sembahyang masih belum selesai, bagaimana kalau kita singgah sebentar di toko karpet kakak saya,” katanya ringan. Aku dan istriku terhenyak satu detik, dan sebelum mencoba bereaksi, dia sudah berbelok ke kiri, ”Ayo Juang kita minum Coke dulu,” dan Juang sepertinya sudah tidak akan melepas tangannya dari Engin, walau tanpa tawaran Coke sekalipun. ”Tidak, sama sekali tidak usah membeli,” tegasnya sambil tersenyum melihat kami berdua tampak kagok.

Istriku mengangkat kedua alisnya. Kalau jaket kulit, aku yakin, sudah pasti gagal, tapi hubungan istriku dengan karpet –yang bermotif orientalis dan sedikit kumal– agak merepotkanku.

Aku putuskan tidak masuk ke toko karpet kakak-nya Engin, walau ia memaksaku sambil menawarkan teh Turki. Sambil menunggu di luar, aku mulai waswas tapi tetap berharap istriku sekedar berpikir praktis saka. ”Kalaupun ada karpet bagus, uangnya dari mana,” pikirku.

Di luar toko karpet abangnya Engin –yang sejuta persen aku ragukan kalau si pemilik toko itu benar-benar abangnya– aku amati turis-turis yang lalu lalang. Ada yang suka rela memutuskan singgah ke sebuah toko, ada yang tadinya cuma melihat-lihat etalase, dan berhasil dirayu masuk, dan tak lama kemudian sudah ke luar dengan menggandeng gulungan karpet kecil. Ada yang cuma memelankan jalannya sedikit dan disambut akrab, lantas masuk toko, dan pulang sudah dengan tas plastik besar dan tebal. Hanya satu orang turis berkumis lebat, dengan puncak hidung tinggi yang lancip, bisa masuk dengan mantap dan keluar sama mantapnya tanpa menenteng barang tambahan apapun. Aku duga turis itu dari Skotlandia, atau setidaknya keturunan Yahudi.

Kulirik jam tanganku, sudah lima belas menit. Tak jauh dari tempatku berdiri, keempat menara Masjid Biru terlihat kokoh dan angkuh untuk menegaskan kalau semua orang, yang bersembahyang ataupun yang sekedar bersenang-senang, harus menginjakkan kaki ke sana. Semua orang yang datang ke Istabul harus tunduk pada kebesaran dan kemegahan Masjid Biru. “Harus!” kata Masjid Biru

Terlintas di benakku betapa besarnya gagasan yang ada di benak Kaisar Ottoman ketika berhasil menaklukkan sebuah kota Kristen penting, Konstantinopel, dan mengubahnya jadi salah satu pusat agama Islam dunia. Ottomanlah yang mengubah penggunaan Aya Sofia dari gereja menjadi masjid. Masjid yang di beberapa sudutnya masih tersisa ornamen-ornamen Kristen. Bijak.

Tapi Masjid Biru adalah kemenangan. Dibangun tahun 1609 dan selesai tahun 1617, pada masa kejayaan, sebagai lambang kekuatan. Masjid Biru dibangun khusus sebagai masjid untuk umat Islam, bukan masjid bekas.

Belum sempat aku habiskan angan-anganku, istriku, Juang, dan Engin sudah muncul. ”Wah ibu pintar sekali memilih karpet, dan juga pintar menawar,” kata Engin serius. Istriku tersenyum dengan wajah sedikit memerah, ”aku cuma beli yang kecil, cocok untuk di ruang kerjamu,” katanya malu-malu.

Kuangkat alis mataku dan memutar badan ke arah Masjid Biru sebagai isyarat tegas untuk segera pergi. Juang masih sempat bertahan tidak mau melepas tangan Engin, sampai aku menghitung angka dua dengan nada yang paling otoritatif yang aku bisa. ”Selamat berlibur, dan lain kali kalau perlu bantuan datang saja ke sini, saya siap membantu” kata Engin puas –paling tidak begitulah menurutku.

Dalam perjalanan ke Masjid Biru, aku tanya juga harganya. ”Lumayan murah kalau lihat kualitasnya, lima puluh dollar tapi aku bisa tawar jadi tiga puluh,” jawab istriku. Aku tidak tega mengkonversi pengeluaran liburan ke dalam nilai rupiah ketika kurs rupiah anjlok habis-habisan. Jadi aku cuma bilang, ”wah bacaanmu tentang Istambul masih kurang lengkap.” Istriku diam, juga Juang karena masih terteror sisa-sisa bentakanku.

Aku tatap lagi empat menara Masjid Biru yang semakin dekat. Pada hari keempat –walau harus dengan bantuan Masjid Biru– kami ditaklukkan keturunan Ottoman.

Karpet itu sendiri memang digelar istriku di ruang kerjaku. Tebal, hangat, dan karena warnanya agak kumal –walau mungkin cuma kumal buatan– seperti bernyawa sedikit. Amat sedikit, juga hanya aku saja yang bisa mendengarkan sayup sekali cerita-ceritanya –yang tidak terlalu jelas– tentang masa-masa lalu.

Jadi setiap rindu Masjid Biru aku tiduran di atasnya. Sambil menutup mata rasanya aku bisa melihat kembali empat menara Masjid Biru. Tinggi, megah, kuat, dan anggun dengan langit biru bersih di belakang. Tapi selalu cuma dua tiga kejap, karena langsung digeser wajah Engin.
***