Dokter Zhivago 35 – Boris Pasternak (alih bahasa Trisno Sumardjo)

Disalin dari terbitan Djambatan, Maret 1960 dengan penulisan ejaan baru.

Mereka tak ketemu Anna hidup-hidup. Waku mreeka buru-buru naik tangga ke kamarnya, ia sudah meninggal sepuluh menit yang lalu. Sebab kematiannya ialah serangan asma, akibat busung paru-paru yang akut. Diagnosanya terlambat dibuat. Beberapa jam yang pertama, Tonya menjerit-jerit, memukulkan kepalanya ke lantai dan tak mau kenal siapa-siapa. Hari berikutnya ia mulai tenang, namun hanya sanggup mengangguk untuk menjawab segala tegur sapa Yura atau ayahnya; pada saat ia membuka mulut, ia tercengang oleh kesedihannya, hingga mulai memekik-mekik lagi seperti kerausukan.

Ia menyelingi talkin dengan bersujud berjam-jam lamanya di sisi jenasah; tangannya yang panjang lagi indah menggapai sudut keranda yang berdiri atas panggungnya, ditimbuni karangan bunga. Ia tak melihat siapa-siapa di sekitarnya, tapi segera setelah pandangannya bertemu dengan mata kerabatnya, iapun cepat bangkit, lari keluar kamar, naik tangga sambil menahan air matanya, sampai ia jatuh ke ranjang dan membenamkan poedihnya yan berbadai itu dalam bantal.

Akibat kesusahan dan berdiri berjam-jam tanpa henti serta kurang tidur, akibat nyanyian nyaring dan kilatan nyala lilin siang malam serta masuk angin pula, mabuklah Yura oleh rasa kantuk terbius halus, penuh dukacita serta pesona.

Tatkala sepuluh tahun yang lalu ibunya wafat, ia baru kanak-kanak. Ia masih ingat air matanya, sedih dan kecut tak terhibur. Waktu itu dirinya sendiri tak penting baginya. Bahkan hampir tak dipercaya bahwa mahluk tersendiri seperti Yura ini ada atau mempounyai harga atau kepentingan. Yang berarti ketika itu ialah segala yang di luar dan di sekitar dia. Dari tiap penjuru, dunia luar itu menekan padanya, padat, tak tersangka, nyata bagaikan rimba; yang menyebakan ia tergoncang oleh kematian ibunya ialah bahwa di sampingnya ia telah kesasar dalam rimba dan kini ia sekonyong-konyong kehilangan ibunya, hingga ia sebatang kara dalam rimba. Rimba ini terjadi dari segalah hal di dunia; segala yang dikenalnya ada di dalamnya –awan dan papan nama toko dna puncak menara lonceng dan para penunggang kuda yang berjalan di depan kereta Sang Perawan Kudus, tak berpici tapi memakai penutup kuping untuk menghormati Lukisan Suci*. Di dalamnya ada banyak farade toko dan arkade dan langit malam berbintang yang tak tercapai dan Tuhan yang Pengasih dan orang-orang keramat.

Langit tinggi yang tak tercapai itu melentikkan pucuknya sangat rendah, benar-benar sampai ke ujung gaun pengasuhnya, ketika ia ceritakan perihal Tuhan; dekat dan mudah tercapai seperti pohon-pohon hazel dalam parit, bila dahannya direnggut dan buahnya dipetik. Ia seolah tercempung dalam ember untuk membasuh anak-anak dengan bunga-bunga merah dan keemasan, maka setelah dimandikan dalam api dan emas itupun ia berubah menjadi persembahyangan dalam gereja kecil di jalan cabang dimana ia pergi bersama pengasuhnya. Di situ bintang-bintang dari langit menjadi sinar-sinar di depan ikon-ikon dan Tuhan yang pengasih adalah pendeta budiman dan mereka semua hendak bertugas sebaik-baiknya. Tapi langit itu adalah terutama jagat nyata dari orang-orang dewasa dan dari kota yang muncul serba gelap di sekitarnya, maka dengan seluruh imannya yang setengah hewani itu, Yura percya kepada Allah, penjaga rimba itu.

Sekarang sudah lama sekali. Selama dua belas tahun di sekolah dan di perguruan tinggi Yura telah mempelajari karya-karya klasik serta Injil, banyak sasakala serta penyair, sejarah dan ilmu alam; dibacanya semua itu seakan kronik dan silisilah keluarganya. Sekarang tak ada yang ditakutinya, hidup ataupun mati; segala sesuatu di dunia, tiap hal disebut dalam kamusnya. Ia merasa sama tinggi dengan semesta dan segala dia untuk Anna kini baginya mempunyai bunyi yang lain dari doa-doa untuk ibunya yang didengarkannya waktu kanak-kanak. Dulu doanya kacau, pedih dan ketakutan. Kini ia mendengarkan ibadah, seakan ibadah itu pesan pribadi untuknya yang langsung mengenai dirinya. Ia menyimak kata-katanya dan mengharapkan daripadanya makna yang tegas seperti dari diap uraian lainnya yang sungguh-sungguh. Dan kealimannya ini sama sekali tidak ada persamaannya dengan perasaannya terhadap semua kekuatan dari bumi dan langit, yang hanya dihormatinya sebagai nenek moyangnya sendiri.
***