Memilih-milih Lapar

Anton Bae bin Yazid Amri bin Abdul Kohar

Apel yang merah itu memantul di kedua biji matanya, membuat lilin yang berada di atas meja tampak segar, dan nikmat. Kecuali perempuan itu, tak ada yang berani mendekati, apalagi duduk dan bertahan di meja itu.

“Kau bilang kau tidak menyukai apel ini. Maka aku akan memberikannya sebagai hidangan untuk kita,” kata sosok tubuh yang tak jelas.
“Kenapa mesti apel” balas perempuan itu. “Aku tidak menyukainya, sekalipun semua orang menginginkannya.”
“Justru karena kau tidak menyukainya, aku memberikan.”
“Kau aneh.”

Sosok itu tertawa.

“Seharusnya kau bisa berpikir jernih. Makanlah! Barangkali kau akan tahu, bagaimana rasanya apel ini,” sosok itu mendekati apel di meja, menyentuh tangan si perempuan.
“Aku pernah makan buah ini. Lalu merasa mual. Aku muntah. Dan aku trauma.”

Sosok itu lagi-lagi tertawa.

“Beda! Apel ini beda dengan apel yang pernah kau makan.”
“Tetap saja sama. Apel tetaplah apel.”
“Bila kau tidak memakannya. Sebaiknya kau pergi saja! Kau termasuk orang yang gagal.”
“Kenapa kau memaksaku?”
“Siapa yang memaksamu. Kau yang datang ke sini. Aku hanya menerima tantanganmu.”

Perempuan itu tensentak. Akhirnya tanpa berpikir panjang, dia mengikuti perkataan sosok di hadapannya. Sekejap dia mengambil apel di atas meja. Dia mengunyahnya. Matanya terlihat buas. Namun, sekian detik dari itu perutnya merasa mual. Tenggorokkannya seakan tidak menerima. Dia muntah. Dan matanya yang semula bercahaya, terlihat merah suram.

“Begitulah dunia. Kau harus menerima segalanya.”

Tiba-tiba pemandangan perempuan itu menjadi gelap. Tubuhnya terasa lemah, seperti seekor burung yang terbang lelah di udara. Entahlah, mendadak ada sebuah lorong berputar-putar di sekitar kepalanya. Perempuan itu bingung, seperti sedang berada di dalam kipas angin, dan dia berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya.

Sedetik kemudian, dia tampak begitu lelah. Keringatnya berhamburan di sekujur tubuhnya. Nafasnya tidak beraturan. Dia terbangun. Dia melihat cahaya terang. Terali besi kini tampak mengelilingi tubuhnya.

“Beri aku makan. Aku lapar! Aku lapar! ” teriak perempuan itu. “Aku ingin daging. Aku tidak ingin buah, apalagi apel!”

Pintu penjara itu bergerak. Bunyinya membuat perempuan itu menoleh.

Tampak seorang lelaki tua membawa piring perak yang besar. Lalu lelaki itu meletakkan piring di dekat tubuh si perempuan. Setelah itu, dia kembali berjalan menjauhi perempuan itu, sambil terbatuk-batuk menutup pintu penjara.

Piring itu langsung diterkam si perempuan. Dia membuka penutup makanan di atas piring. Kemudian dia tersenyum. Hidangan yang diinginkan sudah di depan mata. Ya, daging kambing yang renyah. Tanpa berpikir panjang, perempuan itu melahapnya.

Berjam-jam waktu sudah lewat. Antara siang dan malam sulit dibedakan, mungkin karena ruangan itu tertutup. Mungkin karena kesendirian, sehingga waktu pun terasa lambat, dan juga sulit pula untuk dibedakan. Namun, jika kau berpikir bagaimana perasaan perempuan itu kini, maka bayangkanlah bagaimana rasanya lapar.

Perempuan itu berteriak. Memantul. Dan suaranya terdengar ganas.

“Aku lapar! Aku lapar!”

Lelaki tua tadi kini kembali muncul. Dia membuka pintu penjara, dan meletakkan sebuah piring seperti sebelumnya. Perlahan, perempuan itu menyapu rambutnya ke belakang, dan membuka penutup makanan di atas piring itu. Dia terkejut. Lalu dia lagi-lagi berteriak.

“Kenapa mesti makanan yang sama! Sialan! Kenapa mesti daging kambing!”
***

Dingin. Di luar, seekor katak melompat di tengah daun keladi. Embun berguguran. Tembok yang di atasnya diikat kawat berduri, sesekali ditembak cahaya lampu mercusuar.

Perempuan itu sedang memainkan jemarinya. Dia menyadari bahwa sekarang dia begitu sangat sendirian. Kemana semua orang dia tidak mengetahui. Dia tidak mengerti siapa sebenarnya datang kepadanya dan siapa yang sebenarnya pergi. Pandangannya begitu kosong.

Dia melihat seekor tikus menyericit dibalik kakinya. Dia tersenyum. Tikus itu penuh luka. Tetapi bagi perempuan itu, pemadangan itu sangat nikmat. Apalagi ketika tikus itu berusaha menggigit terali besi di hadapannya.

Perempuan itu bisu. Tetapi tubuhnya bergerak. Dia akan menangkap hewan berbulu hitam itu.

“Sial!”

Tikus itu berlari.

Berhari-hari, berbulan-bulan perempuan itu menghadapi hidangan dan pemandangan yang sama. Dia begitu bosan dengan suasana seperti itu. Dia ingin bermain dengan tikus yang sebelumnya pernah menemaninya.

Uniknya, seperti ada kesadaran yang muncul, tikus itu berjalan mendekati kaki si perempuan. Perempuan itu tersenyum. Ada keinginan untuk mengunyah tikus, seperti daging kambing yang setiap hari dia makan, tapi tidak dia lakukan. Dia tidak tahan hidup sendirian. Tikus itu adalah temannya.

Sayangnya, ketika dia mencoba menangkap tikus itu, lagi-lagi tikus berlari. Perempuan itu berteriak untuk kesekian kalinya.

“Aku di penjara bukan karena jahat. Aku hanya berusaha berbuat baik. Aku tidak tahan melihat anakku menderita. Makanya aku buang. Ternyata yang kulakukan malah salah. Aku bingung, mana pilihan yang baik, dan mana yang buruk. Jika dia hidup denganku, berarti dia akan menderita. Sedangkan bila aku membuangnya, aku menjadi seperti ini.”

Tikus itu tiba-tiba datang. Perempuan itu menangis melihatnya. Dia teringat tentang anaknya. Dia membayangkan dirinya. Dia tertawa.

Lalu seperti ada tenaga luar biasa yang masuk ke tubuhnya, sekejap dia berlari. Tikus itu dia tangkap. Lalu dia cekik. Dia gigit. Dia telan, hingga bibirnya yang indah dipenuhi dengan darah.

Keesokkan harinya, perempuan menunggu lelaki tua itu. Setelah beberapa jam, akhirnya apa yang diinginkannya tercapai. Lelaki itu datang. Dia membuka pintu dan membawa sebuah piring besar, seperti biasanya.

“Hei! Apakah kau masih menghidangkan kambing di piring ini?” tegas perempuan itu.

Si lelaki tua tersenyum, sambil menutup pintu penjara.

“Tidak! Kau pasti sudah bosan. Aku sudah membuat menu baru yang mungkin sangat kau sukai. Kau sekarang suka daging tikus, bukan?”

Semuanya berputar. Perempuan itu semakin tidak mengerti kehidupannya.
***

Kalidoni 2007