Mayat yang Pertama

Ikun Eska

Mayat itu ditemukan seorang jurnalis. Ketika perang hari pertama masih berkecamuk. Tanpa uniform. Tanpa secuwil identitas. Kecuali tujuh lubang yang menembus tubuhnya; di jidat, di dua telapak tangan, di kedua belah paha dan di kedua telapak kakinya.

Luka itu pun tidak jelas. Mungkin karena peluru. Bisa jadi pecahan mortir. Jurnalis itu menyeretnya sampai ke luar garis pertempuran dan menyerahkannya pada Palang Merah Internasional.

Lalu malam tiba. Perang dihentikan. Dan dua jam kemudian konfirmasi diberikan: tak ada serdadu yang tewas. Juga dari pihak yang di seberang.

Mayat itu masih tersimpan di kantong plastik di tenda Palang Merah Internasional.
***

Jurnalis itu masih bingung tentang siapa yang mati. Laporan pendek yang ia kirim lewat satelit belum sedikit pun menyentuh tentang korban. Ia hanya menuliskan caption dari foto-foto yang ia bikin.

Di antara ledakan rudal dan desing pelor, tubuhnya telentang ditiup angin gurun. Nyawanya mungkin melesat lewat tujuh lubang luka di tubuhnya. Ia tak mengenakan identitas, juga tak punya uniform. Satu-satunya penanda hanyalah tattoo di bahunya yang berwarna kelam dan berbunyi; inri.

Tapi inilah korban pertama yang jatuh.

Mungkin mayat itu memang bukan serdadu. Tapi sipil gila darimana pula yang gentayangan di garis pertempuran kecuali wartawan-wartawan tanpa bedil yang mengadu nasib untuk sebuah kabar?

Kalau pun ia wartawan, pasti, setidaknya, ada beberapa cuwil barang-barang lain yang bisa buat melacak siapa dia sebenarnya, walau sekedar kamera pecah yang tercecer di sekitar ajalnya.

Atau mungkin ia native di area perang?

Ini juga mustahil. Sejak jauh sebelum ultimatum diumumkan, zona-zona perang sudah dibersihkan. Tak boleh ada sipil yang bertahan di pemukiman yang dijadikan wilayah perang. Semua sudah dievakuasi.

Jurnalis itu kini hanya bisa duduk memandangi kerlip bintang dan sesekali rudal berekor api yang melintas-lintas di garis pertempuran, ia masih kecewa dengan identitas yang tak dikenali dari mayat pertama yang ia seret dari area perang tadi.

Beberapa pertanyaan yang telah ia susun sebagai out-line dari tulisannya menjadi tidak berguna. Satu-satunya harapan, hanyalah, apabila foto-foto itu terpampang, ada keluarganya yang menghubungi kantor redaksi terdekat. Itu berarti ia akan kehilangan berita eksklusif.
***

Tapi, siapapun mayat itu, orang-orang menyimaknya dengan antusias. Di surat kabar, di majalah, di layar-layar teve. Bahkan gunjingan pun muncul. Ada yang curiga, negara yang menduduki wilayah tempat mayat itu ditemukan enggan mengakui sebagai serdadunya.

“Gengsi dong kalau mereka mengakui serdadunya tewas apalagi musuhnya belum menyatakan ada korban di pihaknya.”
“Tapi kalau dilihat ciri-ciri fisiknya, mayat itu jelas bukan dari pasukan itu. Coba kalian perhatikan, dagunya, jidatnya, kulitnya, garis-garis tulangnya, lebih mirip dengan pasukan yang satunya.”
“Jangan-jangan dia serdadu yang diselundupkan atau malah menyusup garis pertempuran.”
“Apalagi dia ditemukan tanpa identitas dan uniform. Iya, kan? Pasti dia serdadu yang diperintahkan untuk menyusup!” timpal yang lain.
“Tapi dia punya identitas. Coba kamu baca ini: Satu-satunya identitas hanyalah tattoo dengan warna kelam dan berbunyi; inri,” sanggah yang lain.
“Apa artinya ya?”
“I itu 9, N sama dengan 14, R artinya 18,” jelas yang lain.
“Terus?”
“Ya, kalau tidak 914 ya 918.”

Sementara, di meja makan pagi seorang Presiden, ketika Ibu Negara membincang tentang perang yang sudah berjalan, Bapak yang berkuasa menyambutnya dengan dingin tentang korban yang mulai ditemukan; “Hanya seorang pecundang. Tak perlu diributkan! Dia tak punya identitas. Dia tak mengenakan uniform. Paling hanya seorang gelandangan gila yang mencari mati.”
***

Tapi Maria memandang sedih pada foto-foto di koran itu. Ia teringat anaknya. Garis wajah mayat itu mungkin juga seusia anaknya; tiga puluh tiga tahun. Ia tak sempat memberinya cucu. Ia bahkan tak sempat kawin. Ia hanya memberinya kesepian.

Kalau saja malam itu tak terjadi huru-hara, mungkin anaknya itu masih tetap hidup. Tapi, agaknya, dunia menghendaki lain. Suara ribut di luar menyentaknya dari tanak nasi. Senja belum lagi lewat. Anaknya yang baru selesai mandi buru-buru disuruhnya melihat apa yang terjadi di luar rumahnya ; “coba, kau tengok apa yang ribut-ribut itu!”

Dan pemuda berambut gondrong itu lesit menuruti perintah ibunya. Sampai larut malam, sampai dini hari, anak itu tak kembali. Terpaksa dengan penerangan seadanya ibu itu mencari. Ia heran, ketika, beberapa orang yang masih terjaga di luar rumah buru-buru menghindarinya.

Ia sebenarnya ingin bertanya, apa yang telah terjadi dengan dusunnya? Atau, adakah mereka
melihat anaknya yang semata wayang? Tapi niat itu diurungkan ketika berombong mereka yang mendengar desir kakinya segera masuk ke dalam rumah-rumah terdekat dan menutup pintu rapat-rapat dan memadamkan api yang masih menyala di dalamnya.

Maria hanya dituntun oleh api di tangannya dan jejak-jejak debu di jalan tanah. Sampai dia keluar dari dusunnya, memasuki belantara perdu. Dan angin yang amis menyeretnya pada pebukitan batu-batu. Ia sempat mempercepat langkahnya ketika beberapa percik darah yang belum kering benar membasahi telapak kakinya.

Cemasnya mulai risau. Bayangan buruk tentang anaknya menyesaki dada. Sampai, ketika puncak bukit itu dijejakinya dan dua gundukan dalam bayang-bayang wajah bulan itu tertangkap matanya ia tak bisa kuasa untuk tidak berlari.

Ia hampir menjeritkan nama anaknya, kalau saja tangannya yang tak memegang api penerang itu tak menangkap dingin di tubuh yang terkapar dan berselimutkan darah yang telah kering. Ia hanya bisa menggigit bibir ketika wajah yang dimandikan oleh embun itu semakin pucat setelah debu dia singkirkan.

Tapi kenapa anaknya mati? Maria hanya bisa menangkap sunyi pebukitan. Lalu ia tersadar pada onggok tubuh lainnya, yang beberapa jengkal jaraknya. Ia mengingsut tubuhnya dengan rangkak.
Dan perempuan itu, yang juga telah beku wajahnya, mulai ia kenali, siapa

Umayi, perempuan pelacur di gubuk sudut dusun. Ia sering melihatnya sendirian mencuci pakaian di kali di luar dusun. Sendirian. Sebab tak ada orang dusun yang bersedia bersamanya. Hanya desas-desus saja, yang sering ia terima, bahwa bila malam tiba, satu, dua lelaki kadang bergiliran mencambangi gubuk yang disepikan oleh siang

Ia pun tak peduli itu. Ia hanya cemas, kalau-kalau, anaknya yang semata wayang itu ikut-ikutan juga mencambanginya.

Tapi, kini, anaknya dan pelacur itu sama-sama menemui ajalnya. Di sini. Di bukit ini. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Maria tak bisa menjawabnya. Ia hanya sempat menyesali, andai anaknya tadi tak disuruhnya menengok keributan ini, pastilah ia tak akan mati di bukit ini.

Anak itu terlalu patuh pada ibunya.

Lewat dingin pagi, dan lolong anjing-anjing liar, Maria tersadar untuk tak mengurutkan hal-ihwal. Mayat anaknya dan pelacur itu kini harus diupayakan perawatannya. Tapi bagaimana? Dan dengan siapa?

Orang-orang di dusun telah menghindarinya tadi. Maria ingin sekali menangis kalau saja ia tak teringat, di lereng selatan bukit itu ada sebuah goa yang bisa membantunya.

Pelan kemudian mayat-mayat itu diseretnya ke sana. Lalu dengan bebatuan, mayat-mayat itu ditimbunnya agar tidak dimangsa binatang-binatang hutan. Dan sejak itu, Maria tak kembali ke dusunnya.

Dan ingatan yang memang tidak pernah akan ia lupakan itu, kini, pagi ini, membuhul kembali. Wajah di koran itu, mirip benar dengan anaknya, bukan hanya garis wajahnya yang menunjukkan usia. Tapi bulu matanya yang lengkung. Pelupuk matanya yang seperti lelap. Dagunya.

Maria tidak akan melupakan anaknya walau dua ribu tahun lampaunya peristiwa itu akan berlalu.
***

Hari ketiga. Mayat-mayat mulai dikirim pulang. Dalam kantong-kantong plastik.

Di garis belakang upacara dilangsungkan. Jurnalis itu mengabadikannya dalam gambar. Ia sejenak tertegun pada keanggunan. Ada rasa masygul dalam dirinya. Ia bukan serdadu. Ia memang bagian dari sebuah korps. Tapi, andai sebuah pelor membunuhnya, di medan perang itu, ia tak akan dilepas dengan upacara kegagahan.

Ia teringat mayat yang ia temukan di hari pertama perang. Lepas dini hari, kemarin lusa, dengan dua petugas palang merah, mereka menguburkannya tanpa sebuah upacara. Bahkan, dua petugas itu malah menggerutu. Mereka menyesali datangnya mayat itu yang hanya menambah pekerjaan.

Jurnalis itu, entah kenapa, ingin menengoknya sebelum kembali lagi ke garis pertempuran. Ia masih ingat di mana mayat itu dimakamkan. Beberapa tonggak di sebalik bukit pasir di belakang camp palang merah, dengan sebuah tanda dari potongan batang kaktus, ia ingin sekali menengoknya.

Dini hari kemarin lusa, mereka menguburkannya tanpa sepatah pun doa.

Tiba di tempat itu jurnalis hanya bisa ternganga. Tak ada gundukan. Tak ada batang kaktus tanda sebuah makam. Jurnalis itu mencoba tertawa ketika diingatnya ia berada di wilayah yang percaya pada kebangkitan kematian di hari ketiga.

“Percayalah George, semua itu hanya omong kosong, belaka!” katanya.

Lalu diraihnya kamera, sebab di kebiruan langit gurun, rudal-rudal berseliweran dengan bunga-bunga apinya yang seperti menandakan kemeriahan sebuah pesta.
***
Jogja, 21 maret 2003

TAGS :