Secangkir Kopi Untuk Vladimir Barakovsky

Sitok Srengenge

“Tapi kau berhenti berkekasih dan mengapa kaupilih binatang untuk mewakili orang-orang yang kaucinta?”
“Karena bagi saya, cinta itu urusan gagasan, you know. Di dalam cinta kita mendapat ekspresi yang paling kuat. Dan ekspresi itu saya gunakan untuk menyatakan gagasan saya, semacam satir terhadap impian revolusi-sebuah utopi di mana terkandung emosi, ambisi,” ia peragakan tangan layaknya sedang menggenggam kemaluan, pinggul dan pantatnya menghentak keras ke depan ke belakang, “seperti birahi!” tandasnya. “Dan mengapa binatang? Haha! Saya tak pernah benar-benar mencintai mereka. Mengapa? Mereka cuma binatang. Juga kita. Semua.” Mendadak ia bergegas keluar kamar. “Lihat yang ini!” Ia tunjukkan padaku boneka-boneka yang tergantung berjajar di dinding ruang tamu yang tak luas, yang tadi sudah kulihat sepintas. Semua memakai kalung bernama.

Aku kenal beberapa di antaranya. Kafka, Klima, Kupka, Kundera, Palach, de Saussure, Malcom X, Madonna, Wittgenstein, dan beberapa lagi yang lain. “Bukan kekasih, tentu saja, tapi mereka adalah figur-figur yang saya suka.” Sebagaimana biasa, ia menjelaskan sebelum kuminta.

“Mana boneka Tuhan?”
“What? Tuhan? O, banyak, mereka berseliweran di jalan-jalan,” jawabnya ringan.
“Kamu orang baik.”
“Saya? Orang baik? Thanks, my brother. Tapi, mengapa?”
“Tak ada boneka yang mewakili orang yang kaubenci.”

Vladimir terbahak, “Itu juga banyak. Di sana tempat mereka,” ia menuntunku ke ruang lain. Sebelum ia buka, sempat kubaca tulisan yang tertera pada daun pintunya: pencipta dan penghuni neraka. Pintu yang cukup bagus untuk sebuah kakus. Di dalamnya sebuah bak tanpa air, kloset yang tertutup, dinding penuh boneka binatang: anjing, buaya, celeng, tikus, ular, serigala, dan lainnya. Kucoba mengeja nama-nama mereka. “Kau pasti kenal dia,” Vladimir menunjuk boneka pelanduk. Pada kalungnya tertera: Vaclav Havel.

Selanjutnya ia menunjuk nama-nama asing yang tak kukenal. “Kalau dia presiden, yang ini penyair, ini presiden penyair, nabi, jenderal, hakim, jaksa, ….. Mari kita makan!”

Di ruang belakang, di atas meja bertaplak kotak-kotak dengan warna blok pada beberapa bagian menyerupai lukisan Mondrian, telah tersaji dua piring kosong, juga roti, selai, juga beberapa jenis sayuran yang tadi telah ia sebutkan, dan tentu saja botol rakia. Saya duduk di kursi berbusa tipis dan keras, sementara ia mengambil air dingin dari dalam kulkas.

“Maaf, boleh tahu, kau kerja di mana?”
Diraihnya dua gelas dari para-para dan memindahkannya ke atas meja, “O, my brother, negeri ini telah membuka diri. Lihat, para pelancong berdatangan dari seluruh pelosok dunia. Ada banyak kerja untuk melayani mereka. Kemarin saya masih bekerja paruh waktu di McDonald. Tapi hari ini, mungkin seterusnya, saya tak bekerja.”
“Mengapa?”
“Dammit, fucking America! Saya tak bisa menjadi mesin. Saya biasa bekerja dengan inspirasi. Saya seniman. Tidakkah kau lihat, ada seni dalam diri ini.” Ia menunjuk dadanya sendiri. “Saya dulu melukis, karena saya bodoh. Saya merasa lukisan saya original. Saya seorang maestro. Tetapi, brother, semua yang saya anggap sebagai penemuan, yang unik dan otentik, telah diciptakan Kupka, jauh sebelum saya berbentuk setitik sperma. Benar-benar dungu! Dan celakanya, di dunia ini banyak seniman yang lebih dungu daripada saya. Bagaimana dengan kau?”

“Aku seorang pengangguran.”
“Oh, come on!”
“Ya. Aku seorang warga dari negeri yang kaya raya. Setiap orang di sana bisa hidup sejahtera tanpa harus bekerja,” kataku membual, tak peduli ia percaya atau tak.
“Really? That sounds good. Dan kau tak melakukan sesuatu yang mungkin bisa memberi arti lebih bagi hidupmu?”
“Aku sedang menyiapkan diri. Seorang cenayang dari Curaçao, Kepulauan Antillen, pernah meramal aku kelak jadi presiden.”
“Really? That’s nice. Semoga peramal itu bukan orang gila.”

Malam itu Vladimir bermaksud mengantarku, tapi aku cukup memintanya menerangkan peta kota yang kubawa. Aku hanya perlu petunjuk arah dari rumahnya ke Jembatan Karlomost, karena dari sana aku sudah tahu jalan ke hotelku. Ia berusaha menahanku tinggal lebih lama ketika aku berpamitan. Bisa kubayangkan betapa hidupnya kesepian, tinggal seorang diri di sebuah rumah tua, tanpa keluarga, hanya ditemani berlusin boneka.

“Saya masih suka keluar-masuk toko mainan, pasar swalayan, pasar pagi, pasar malam, menyusuri kios-kios kaki lima,” katanya ketika kami melewati jajaran boneka di dinding ruang tamunya.
“Apa yang kaulakukan di sana?”
“Ada yang saya cari, you know.”
“Boneka?”
“Emm, ya. Bukan boneka biasa.”

Tiba di beranda, ingin sekali aku mengucapkan selamat malam dan segera meninggalkannya. Tapi itu pun ternyata tidak gampang, lantaran ia terus saja bercerita tentang boneka. Katanya, ia bahkan telah mengirim surat kepada orang tuanya, juga meminta tolong teman-temannya yang kebetulan pergi ke manca negara, untuk membelikan boneka yang mirip dengannya. Hasilnya nihil. Tak seorang pun berhasil.

“Tak ada binatang yang wujud dan wataknya seburuk kau,” kataku bergurau.
“Tentu saja, itu pertanda saya makhluk istimewa,” kilahnya bangga.

Ia pun bercermin saban hari untuk lebih mengenal diri sendiri, lalu setiap pulang kerja ia akan menyusuri tempat-tempat penjual boneka, namun tak kunjung ia dapati boneka yang dicari.
Suatu hari pernah datang ke rumahnya seseorang tak dikenal dan mengabarkan bahwa nun di Sebuah Entah, ada ahli membuat boneka yang sudah kondang di seluruh dunia, terutama dikenal di negara-negara yang penduduknya beragama. Ia pun lantas bekerja keras, dua-tiga jam lebih lama dari ketentuan jam kerja, agar dapat menyimpan lebih banyak uang. Setelah cukup, segera dicarinya alamat yang diberikan oleh orang tak dikenal itu. Akan dipesannya sebuah boneka istimewa, boneka yang dapat mewakili dirinya. “Saya bayangkan, boneka itu mustinya merupakan gabungan dari semua binatang,” katanya.

Sesampai di tempat yang dituju Vladimir keheranan, melihat Si Pembuat Boneka ternyata sama persis dengan sesuatu yang sejak kanak ia bayangkan senantiasa.

“Tolong bikinkan boneka yang persis saya,” pintanya.
“Aku tak akan mencipta boneka yang sama untuk kedua kalinya,” jawab Si Pembuat Boneka.
Menyadari bahwa keinginannya tak akan terpenuhi, dalam benaknya serta-merta terbit perasaan benci. Lalu muncul gagasannya untuk menyelipkan boneka Si Pembuat Boneka di dinding kakusnya, di antara tokoh-tokoh yang tak ia suka.
“Kalau begitu, saya pesan boneka yang persis anda.”
“Itu pun sudah kucipta. Bahkan, tampaknya kini mulai rusak, saatnya kumasukkan ke dalam kotak.”
“Boleh saya sekadar melihatnya di sini?”
“Kau telah memandanginya di cermin setiap hari.”

Bagaimana aku mesti percaya pada kisahnya? Di mataku Vladimir adalah seorang pengkhayal dengan selera artistik yang cukup baik. Seandainya sejak dulu ia menulis, barangkali akan lebih berhasil daripada mencoba jadi pelukis. Sayup-sayup kudengar lonceng berkeleneng sepuluh kali. Itulah kesempatanku untuk membubuhkan tanda titik pada lanturannya yang mulai tidak menarik. Kutepuk bahunya agar berhenti berkata-kata dan berjanji akan bertemu dengannya lagi.

“O, my brother, besok siang saya harus ke Brno. Ibu saya terserang stroke dan selalu memanggil-manggil saya. Yeah, kerewelan orang tua, you know. Tapi, jika kau tak keberatan, besok pagi masih ada waktu untuk minum kopi bersama?”

Jam sembilan esok paginya kami bertemu di kafe Pushkin. Aku memesan double espresso, Vladimir minta secangkir capuccino. Barangkali lantaran kurang tidur atau sedang memikirkan ibunya yang tua dan sakit, keceriaan seakan menyingkir dari wajah Vladimir. Matanya yang hijau tampak bagai pucuk daun gandum yang alum dan pelupuk bawahnya semakin menggelembung seakan menampung bergram-gram rasa murung. Lebih dari satu jam kami duduk berhadapan. Ia tak banyak bicara, kecuali berkali-kali menyatakan kebahagiaannya lantaran bertemu denganku yang, katanya, telah ia anggap sebagai saudara.

Ketika kami keluar kafe, ia memelukku begitu erat, begitu khidmat. Aku merasa sedikit risi ketika kusadari beberapa orang memandangi kami, tapi Vladimir tak peduli.

***
Suatu siang, seminggu kemudian. Aku baru saja meninggalkan apartemen Elena Tsvetaeva (gadis bermata sayu yang pertama kali kutemu di depan kafe komunis itu), sebuah rumah susun yang sederhana serupa pagupon burung dara, di dataran tinggi Mala Strana. Ketika aku memasuki lobi hotel, seorang resepsionis menyerahkan kunci kamar beserta sepucuk surat kilat, tanpa nama pengirim, tanpa perangko, bercap pos Brno. Aku maklum ketika ia dengan agak ragu bertanya, apakah benar surat itu untukku, sebab pengirimnya keliru menuliskan namaku. To: Mr. Alias Estwo, 109 Ambassador Zlata Husa, Vaclavske Namesti 5-7, Prague.

Dari siapa lagi kalau bukan Vladimir Barakovsky? Langsung terbayang olehku kata-kata pembukanya: Dear my brother, lalu bla-bla-bla. Dengan perasaan riang, setelah memasuki kamar, amplop putih itu kubuka dan lipatan kertas di dalamnya pun kugelar. Ada dua lembar surat yang berbeda. Surat pertama cukup singkat, hurufnya besar-besar, seperti ditulis oleh tangan yang gemetar.

Dear Mr. Alias Estwo;

Kami kirimkan surat Vladimir Barakovsky,
karena ia tak sempat mengirimkannya kepada anda.
Kami harap anda belum meninggalkan Praha
dan sempat membaca ungkapan perasaan yang ditulisnya,
sehari sebelum ia membakar diri.

Terima kasih atas persahabatan anda yang tulus dengan anak kami.

Salam,
Leonid Barakovsky

Aku tak punya cukup daya untuk membaca surat kedua.
tamat