D Seks

Hendri Kremer

Pagi itu, tak seperti biasanya aku cepat masuk ke kampus. Sebenarnya, untuk fakultas Ekonomi, jurusan Akuntansi, Universitas Islam Riau, jam kuliah baru mulai pukul 9.00, tapi entah setan apa yang membuatku ingin saja masuk lebih awal.

Tukang kebun kulihat masih sibuk memotong rumput. Iseng aja, aku nyambi jalan ke kantor badan administrasi dan keuangan. Mungkin karena akhir bulan, yang terpikir olehku wesel dari rumah.

Sambil sedikit bersiul, ruangan kosong itu aku telusur. Seperti biasa wesel dan surat diletakan di depan kaca pengumuman. Sensor mataku kalau akhir bulan biasanya lebih sensitif, dan satu-satu kuperhatikan wesel, selebihnya debu dan angin

“Sugeng, Ahmad, Dendi, Nasir, Eli, Umi…?” Tiba-tiba mataku terhenti pada satu surat bergambarkan patung liberty. “Surat? Untukku?,” gumamku. Kapan pulak, kawan-kawanku di kampung ingat untuk menulis surat sama orang ganteng kayak aku ini, bah?

Tak kuhiraukan lagi, entah dari siapa surat itu, kuraih sambil berjalan. Kubaca pengirimnya. Mama Mia, Puerto Rico, Dewi Saodah!? Teriakku membatin. Apa tidak salah baca, kupertegas sekali lagi bacaan si pengirim. De e de We i I, Dewi. S a O d d A a, Saoda.?

“Apa iya, dia?” tanyaku kembali tak percaya. Padahal, aku udah kecewa banget amat cewek Batak campur Melayu itu. Persoalannya cewek satu ini mancing aku untuk nguber dia, tapi tak pernah aku di kasi angin, abu lah yang ku dapat. Aku kenal si kribo ini ketika baru orientasi pengenalan kampus.

Waktu itu kawan-kawan di senat berinisiatif suruh cewek pakai rok dan cowok pakai training. Alasannya –setelah kami rapatkan hasilnya– rahasia para senior di senat. Macam betul aja.

Tapi aku dan kawan-kawan yang ikut jadi supervisor di lapangan ketiban rejeki nomplok. Di situ lah mataku tertuju ama Dewi S. Kalau diteruskan Sex. Mungkin si ‘buyung’ terlalu nafsu ketika dia hujan-hujan kena strap, terintiplah sedikit kancut hitam itu –si Doni aja dari awal ospek sudah ‘beter’ dia, tak dapat ‘ngeten’ kolor si Dewi.

Pantek bener kejadian itu. Bikin aku tak bisa tidur, tiap malam aku membayangkan buah dadanya yang besar. Pantatnya? Matilah aku.

Sejak itu lah, aku mulai ngejar dia. Sudah setahun ngejar, hasil tak jelas. Uang pun sudah kedut-kedutan.
Apa tidak kaget, terima surat dari Dewi S. Tak banyak pikiran kurobek amplop itu. Senin, 12/12, 1995.

Untuk Bang Ndi di Haribaan.
Ombun Di Sogot Ni Ari
Sadarion, ari senen on, huida mata ni ari, manilohon mata ni roha
Sada nai, dolok i deng be merapi. Sunge di toru ni pathu. Deriiit margondang, soara ni hirik dison-disan.
Patubuhon Parnidaan, halilu ni na rata-rata. Dang be tarpasae. Mangadu songon na so marna sahat.
Berengma halibutongan. Mandegehon patna. Marbolak lao dao so martujuan.
Zaman on nungga ro, beta hita martumba.
Angka bunga na di porlak on, ingkon do butbutanku?
Songoni nang angka batu na dison, birong dang be marhillong.
Marlas ni roha, tanda ni hati uron mambuka diri.
Marlas ishon boban ni roha dison, manungkol ombun, mangondingi diri.
Salam
Dewi S

Aku terbengong-bengong baca isi surat itu. Jangankan ngerti, bacanya saja aku harus nguras tenaga dan pikiran. Habis satu jam, aku lalui untuk memahami maknanya. Kalau pun ada respon dari dia, minimal ada kata-kata I like you, gitu kek. Dia pikir aku orang batak kali ya? Aku menduga.

“Ah entahlah.” Ku lipat surat itu. Kudongakan kepalaku di pelataran parkir motor. “Mungkin Sianturi bisa nolongku,” pikirku. Tiba-tiba.

“Mek!…Mek!,” panggil suara dari belakangku. Biasanya, yang selalu memanggilku dengan panggilan di SD itu hanya orang dekat saja. Kutoleh ke belakang, pucuk dicinta ulam busuk. Sianturi rupanya.
“Apa kau? Kalau orang lain dengar, kau panggil aku dengan panggilan itu, mereka kira aku jual memek, tau!” hardikku.
“Ah, lo gitu aja marah, eh kapan lo pulang Batam? Gue nitip ya? Kayaknya gu ndak pulang tahun ini, mungkin langsung ke Medan, tempat Ompungku,” jelas Sianturi.
“Oi, tungau. Engkau tu sejak kite kecil hingge sekarang cakap sama aku Melayu. Jangan pulak, engkau tukar bahase lepak pulau tu ke bahase tak betamadun,” jawabku.
Di senggol kayak begitu, bahasa asli yang biasa kami gunakan saat di Batam pun keluar.
“Taik dikau! Aku baru nak minta tolong sikit aje. Sudah belagu,” balasnya.
“Nitip apa.”
“Nitip salam buat mamakku.”

Dasar Sianturi, ngak ada yang lurus mau diucapin Karena aku butuh penterjemah bahasa batak ke bahasa Indonesia, tanpa banyak cerita kurangkul tangan teman satu SD-ku ini.

“Yuk, minum dulu, nanti kita ngomong,” bujukku. Sianturi biasanya, kalo gratis laju, lansung menjawab “Ha.”

Dalam kantin aku tanyakan kepadanya, apakah dia masih ngerti bahasa Ompungnya. Dia ngangguk. “Ada pulak bahase di rumah yang aku tak tau. Ya tau lah. Kenape?” tanyanya balik.
“Tak ade, aku cuman mau dikau terjemahkan sedikit kerjaan puisi kawanku,” elakku untuk menghindari kecurigaannya.

Tapi, perasaanku terhadap Sianturi yang telah sejak kecil tinggal di Kepulauan Riau curiga. ‘Mungkin saja dia sudah lupa akan bahasa ibunya.’ Apalagi, dia cenderung mengaku sebagai pemuda tempatan Melayu daripada mengakui bahwa dia orang batak. ‘Ah biarlah, nggak mungkin dia bohong, apalagi mau ngerjai aku,’ pikirku.

“Ini puisi kawanku, cube lah engkau bace dulu,” terangku.

Sianturi mengangguk-ngangguk sejenak, sekali-kali melirik ke langit-langit kantin seperti berpikir. Dengan gayanya seperti itu siapa yang tak yakin. Aku tentunya paling seneng, ketika dia sudah habis membaca surat Dewi S itu.

“Apa maksudnya, ri,” tak sabar aku mendengar ucapan dari mulut Sianturi. Namun, tetap saja aku berlagak tenang.
“Artinya, banyak Mek. Hanya saja intinya, si penulis puisi kesepian.”

Mendengar itu rasanya aku mau meloncat. Bisa kubanyangkan si Dewi S pasti dalam kesepian, hayalku entah kemana ‘ah. ah…,’ aku mau muncrat rasanya.

“O gitu.” balasku dengan nada berwibawa. Setelah kubayar minuman, aku pisah dengan Sianturi. Dari jauh, aku melihat dia tertawa kecil menutup mulut. Tapi tidak terlalu kuperhatikan si borjong itu.

Kuhubungi Doni, dan aku alihkan ke bahasa pergaulan di Pekanbaru ; bahasa Padang.
“Don kama ang malam ko?” kutanya ditelepon.
“Indak kama-kama. Manga Ndi,” jawabnya.
“A den nio pinjam motor ang sabanta, ado paralu saketek,” kataku.
“Jam bara, kalau malam hari indak bisa Ndi. Di bawo jo kakak den, ngeles komputer, patang ajo, nio ndak?” tawar Doni kepadaku untuk meminjamkan motornya pada sore hari saja, karena akan digunakan kakaknya untuk ngeles komputer.
“indak ba a lah,” ujarku tanpa pikir panjang.

Pukul 17.00 WIB, pintu rumah Doni di Jalan Sultan Syarief Kasim, Kuantan Indah, sudah ku ketuk. Dia rupanya baru habis mandi. “Tunggu sabanta Ndi, masuak la dulu. Kan indak sasak bana kan”
“Indak. Ado soal famili, jadi awak di suruh pa i ka rumah inyo,” sahutku.

Setelah Doni menyerahkan kunci motornya, aku pun tancap gas. Targetku satu. Tempat kos Dewi S. Tak kubanyangkan wajah itu akan kuremas. Badannya? ‘Ah tak kuat.’

Aku baru ingat, dari kabar yang sering kudengar dari teman-teman dekatnya di semester satu. Dewi paling seneng sama gorengan dan buah jeruk. Kusinggahi sebentar pasar pusat, untuk membeli dua hal yang akan kuprediksikan sebagai salah cara aku memperhatikan dia selama ini.

Dua tentengan itu kuselipkan disamping motor Doni. Dalam perjalanan ke tempat kosnya bayangku tak terlepas dari gadis pujaanku itu. Belum pernah aku, benar-benar memuja gadis seperti ini, bahkan hingga saat ini pun aku masih memujanya.

“Permisi,” sapaku kepada penjaga kos. “Mau ketemu Dewi, mas.”
Si penjaga kos senyum, dan mempersilahkan duduk. “Tunggu ya!” katanya.
“Wi! Wi! Ada tamu,” panggil si penjaga kos sambil mengetuk pintu kamar Dewi.
“I ya, tunggu sebentar,” sahutnya. Mendengar suara itu, rasanya bergetar badanku. Naik turun kemaluanku.

Beberapa menit kemudian, dia keluar. Taburan wangi dari tubuhnya. Membuatku megap-megap.

“Eh bang,” sapanya terkejut ketika melihatku. “Ada apa bang,” tanyanya.
Ditanya seperti itu, aku balik salah tingkah. Dan bertanya dalam hati. ‘Yang nulis surat dia… Jika aku datang tentunya dia memberikan sedikit respon positif,’ batinku. Ini tidak, dia hanya terpaku berdiri, sepertinya keberatan menerima kedatanganku.

Daripada, tidak jelas kemana arah tujuannya. Langsung saja, aku tembak dia.
“Wi, yang nulis puisi dalam bahasa batak itu, dari adik, kan?” Kutanyai begitu, dia bengong.
“?Surat yang mana bang, Dewi nggak pernah nulis surat sama abang.”
Aku kaget banget mengdengar perkataan Dewi itu.
“Loh, jadi kamu ngak pernah nulis puisi dan lalu mengirimkannya kepada saya,” tukasku.
“Tidak, siapa yang nulis, ngaca dong!”

Dikatai begitu, aku sudah tak bermaya lagi, dalam hati aku memaki-maki. Brengsek Sianturi, pasti dia yang ngerjain.

“Kalo begitu permisi, kribo!” ucapku kesel, dan itu buat kali terakhirnya aku bertemu dengannya.

Sedangkan nasib gorengan dan buah yang kubeli untuknya dalam perjalanan pulang kubuang begitu saja.

Setelah jelang beberapa tahun lamanya, gadis yang dulu kupuja itu secara tak sengaja kulihat di pelabuhan Dumai, Riau. Sudah tidak sehebat dulu lagi. Dia mungkin sudah tidak mengenalku, aku akan ingat rambutnya yang kriting dan panjang itu sampai kapan pun.
***
potongan dari Kumpulan Memoar ceritanet yang akan diterbitkan