Dokter Zhivago

Boris Pasternak (alih bahasa Trisno Sumardjo), disalin dari terbitan Djambatan, Maret 1960.

Hal yang baru dan terpenting baginya di Moskow ialah anak lelakinya yang kecil. Yury mendapat panggilan segera sesudah anak ini lahir, jadi ia hampir tak mengenalnya.

Suatu hari tatkala Tonya masih di rumah sakit, Yury mengunjunginya; ia sudah berpakaian seragam dan sedikit hari lagi akan meninggalkan Moskow. Ia tiba pada saat bayi-bayi disusui dan tidak diijinkan masuk.

Maka duduklah ia di kamar tunggu. Dari tempat pengasuhan di ujung gang di seberang bagian wanita, terdengar sepuluh atau dua belas bayi menangis berbareng. Beberapa jururawat masuk gang, buru-buru agar bayi-bayi yang lahir itu tak masuk angin, lalu membawa mereka ke ibunya masing-masing terbungkus bagai bingkisan, seorang dikepit tiap lengan.

“Ngijer, ngijer,” pekik bayi-bayi itu dalam satu nada, tanpa nafsu, nyaris tak berperasaan seolah tangisan itu pekerjaan sehari-hari,. hanya satu suaralah yang lain dari yang lainya. Suara ini juga memekikkan “ngijer, ngijer” pun tak menyuarakan penanggungan lebih dari yang lain, tapi lebih mendalam dan seakan berteriak bukan karena kewajiban, melainkan dengan rasa permusuhan dingin yang disengaja.

Yury telah memutuskan bahwa anaknya diberi nama Alexander –kependekannya Sasha– guna menghormati mertuanya. Ada alasan baginya untuk mengkhayalkan bahwa suaea yang ditelitikan tadi adalah suara anaknya; boleh jadi sebab tangisan yang khusus ini sudah mempunyai watak tersendiri dan agaknya sudah mengandung kepribadian serta derma makhluk insani tertentu untuk hari depan; suara itu ada bunyinya tersendiri yang merangkum nama si anak. Alexander, demikian dikhayalkan oleh Yury.

Ia tidak keliru. Ternyata kelak bahwa itu betul-betul suara Sasha. Itulah hal pertama yang diketahuinya tentang anaknya.

Hal berikutnya adalah foto yang dikirim Tonya ke medan perang, foto itu menunjukkan anak gemuk yang ria dengan mulut berlengkung Cupido; ia berdiri di aas selimut, kakinya bengkok macam huruf O dan tinjunya ke atas, seolah ia menarikan tarian petani, Waktu itu Sasha berumur setahun dan baru mulai berjalan; kini usianya dua tahun dan ia belajar bicara.

Yury mengangkat tasnya, meletakkan itu atas meja kartu dekat jendela, lalu mulai mengeluarkan barang-barangnya. Kamar ini telah dipakai untuk apa saja, pikirnya. Ia tak mengenalnya kembali. Tonya tentu mengganti perabot atau kertas dindingnya atau mengobah riasnya, entah bagaimana.

Diambilnya alat cukurnya. Terang bulan yang cemerlang mengambang antara tiang-tiang menara lonceng, tepat di belakang jendela. Ketika bulan menerangi tumpukan pakaian dan buku paling atas di dalam tasnya, berobahlah cahaya dalam kamar, maka sadarlah ia dimana ia berada.

Dulu kamar ini gudang. Kursi dan meja rusak disingkirkan di situ dan disinipun Anna menyimpan arsip keluarganya serta kopor-kopor tempat menumpuk pakaian untuk musim dingin selama musim panas. Selama hidupnya tiap sudut dipenuhi barang rongsokan sampai ke langit-langit dan anak-anak tak dibolehkan masuk. Hanya waktu Natal atau Paskah –bila banyak sekali anak-anak mengunjungi pesta-pesta dan seluruh loteng paling atas dibuka untuk mereka –kamar ini tak dikunci an anak-anakpun main rampok-rampokan di situ, sembunyi di bawah meja, berpakaian aneka warna serta menghitamkan muka mereka dengan gabus terbakar.

Yury mengenangkan ini semua, kemudian ia turun lewat tangga belakang untuk mengambil kopor kayunya dari serambi depan. Di dapur Nyusha berjongkok di depan tungku mencabut bulu bebek atas secabik kertas koran. Waktu Yury masuk membawa kopornya, Nyusha meloncat dengan gerak malu-malu yang indah; ia merah padam, mengibaskan bulu-bulu dari apronnya, menyalami dia, lalu menawarkan bantuannya. Yury mengucapkan terimakasih, mengatakan ia tak perlu ditolong lantas pergi ke atas. Dari jarak beberpapa kamar, istrinya memanggilnya. “Kau boleh masuk sekarang, Yury.”

Masuklah ia untuk melihat Sasha.

Kamar bayi ini bekas sekolah Tonya. Anak lelaki dalam ranjang kecil itu jauh kurang manis daripada fotonya, tapi dialah penjelmaan ibu Yury almarhun Marya Nikolayevna Zhivago, lebih mirip padanya dari foto-foto yang disimpan Yury.

“Inilah ayah, ini ayahmu lambaikan tanganmu anak manis,” kata Tonya. Diturunkannya dinding ranjang yang sebelah, supaya Yury mudah mencium si anak serta mengangkatnya.

Sasha membiarkan orang brewok tak dikenal yang barangkali menakutkan dan tak menariknya itu mendatangi dia sangat dekat dan melentik di atasnya, kemudian ia melonjak tegak sambil menggapai bagian depan gaun ibunya dengan tangan sebelah, lantas di ayunkan dengan marah tangan lainnya dan menampar muka Yury. Terperanjat oleh keberaniannya sendiri, ia lalu merebahkan diri dalam pelukan Tonya dan menangis tesedu-sedu.

“Nakal, nakal!” Tonya memarahinya. “Jangan begitu Sashenka. Apa pikir ayah? Dia kira Sasha anak jahat. Ayo, tunjukkan kau bisa cium, ciumlah ayahmu. Jangan menangis, tak apa-apalah.”

“Biarlah Tonya,” pinta Yury padanya. “Jangan hiraukan dia dan jangan kuatir. Kutahu kupikir yang bukan-bukan, bahwa itu tadi ada artinya, alamat buruk, tapi omongkosong semua. Soalnya wajar sekali. Anak ini tak pernah melihat aku. Besok ia manis terhadapku dan kami akan bersahabatan, kau lihat nanti kami dapat begaul sebaik-baiknya.”

Namun ia meninggalkan kamar dengan kecil hati dan firasat buruk.
*** bersambung