Dokter Zhivago

Boris Pasternak
(alih bahasa Trisno Sumardjo), disalin dari terbitan Djambatan, Maret 1960)

Tiap kali kereta berhenti, Tonya duduk tegak dengan hati-hati agar kepalanya tak terantuk plafon, lalu menengok ke bawah lewat rekah di pintu untuk melihat apakah ada gunanya keluar. Hal ini tergantung dari besarnya stasiun, dari berapa lamanya kira-kira berhenti dan sebagai akibatnya kemungkinan jual beli yang menguntungkan.

Kesempatan adalah begini, Kereta api membangunkannya dari kantuk dengan berjalan lebih lambat. Jumlah tempat dan wesel di atasnya berdebuk-debuk dan berderak-derak menandakan bahwa stasiun itu cukup besar.

Ia mengusap mata, mematutkan rambut dan setelah mencari-cari di dasar sebuah bungkusan, dicabutnya sehelai handuk yang dirajuti dengan jago, kalung kuda, dan roda.

Yury, yang juga bangun menolongnya turun dari bangku tidur. Gardu-gardu sinyal dan tiang-tiang lampu hanyut lewat jendela, disusul oleh pohon-pohon yang seolah menyambut tamu dengan mengulurkan serbet-serbet ke arah kereta api. Lama sebelum kereta api berhenti, para pelaut melompat ke atas salju yang belum terinjak kaki itu, lantas lari ke balik pojok gedung stasiun, disitu biasanya ada istri-iastri petani yang seara gelap menjual makanan.

Pakaian seragam para kelasi dengan celana berbentuk bel serta pita yang berkibar di peci pipih, memberi kesan seolah mereka bergerak cepat dan gegabah hingga menyingkirlah orang seperti menghadapi kelajuan para peserta perlombaan ski atau skat.

Di balik pojok gedung ada para gadis dan perempuan dari dusun-dusun terdekat, yang satu sembunyi di belakang yang lain, gelisah seperti menghadapi penujum; mereka berdiri satu barisan di bawah lindungan tembok stasiun, menjual mentimun, gandum yang dibungkus dalam serbet yang diisi kapas, agar keju desa, berpiring-piring daging lembu rebusan serta kue tetap panas lagi lezat., Terbebat dalam syal yang disisipkan ke bawah baju kulit domba, perempuan-perempuan itu merah padam sekali mendengarkan lelucon para pelaut, namun mereka takut karena pelaut-pelaut inilah yang biasanya merupakan kesatuan-kesatuan yang dibentuk guna memberantas spekulasi dan ‘pasaran bebas’ yang terlarang.

Tapi segera mereka luput dari kesukaran, ketika kereta api berhenti dan para penumpang sipil menambah besarnya kelompok. Perdagangan menjadi ramai.

Tonya lewat di depan deretan perempuan tadi dengan handuk tersandang ke bahu, seolah ia hanya pergi ke belakang stasiun untuk cuci muka dengan salju. Beberapa perempuan sudah berseru: “He, berapa harga serbet itu?” tapi ia terus berjalan, diiringi suaminya.

Diujung deretan ada perempuan dengan syal hitam berpola merah. Dilihatnya handuk rajutan itu, maka berseri-serilah matanya. Sambil melihat kanan-kiri dengan hati-hati ia mengendap ke sisi Tonya dan dengan membuka batrang-barangnya berbisiklah ia dengan gairahnya : “Tengok. berani bertaruh, nyonya sudah lamat tak melihat ini. Suka? Jangan pikir panjang-panjang, kalau mau dapat. Mau kasih serbet itu untuk separoh…?”

Tonya tak dengar kata yang terakhir.

“Apa maksud kamu?”

Yang dimaksudkan ialah separoh kelinci, dibakar dari kepal sampai ekor dan dibelah dua. Kelinci itu diacungkannya; “Saya bilang saya kasih separuh untuk serbet nyonya. Mengapa nanap saja? Ini bukan daging anjing. Suami saya pemburu. Ini betul-betul kelinci.”

Merekapun bertukaran barang. Masing-masing berpikir telah beruntung. Tonya merasa malu, seolah telah menipu petani perempuan itu, padahal dia inipun senang sekali dengan penjualannya, lalu memanggil temannya yang juga sudah menjual habis barang-barangnya dan pergilah merka bersama-sama pulang ke desa, selama jalanan masih baik, melangkah besar-besar lewat jalan kecil bersalju sampai jauh.

Saat itu timbul hiruk pikuk antar orang banyak. Seorang perempuan tua berteriak; “He! Mau kemana! Mana uangku? Kapan kau bayar aku maling tak bermalu? Tengok, sebut dia babi serakah dan dia tak mau juga menoleh. Berhenti! Berhenti! Tuan kamerad! Saya kecurian! Berhenti, pencuri. Dia pergi, itu dia, tangkap!”

“Yang mana?”

“Itu yang tercukur bersih dan menyeringai.”

“Yang lengan bajunya bolong itu?”

“Ya, ya, tangakp dia si Arab!”

“Yang sikutnya tambalan itu?”

“Ya, ya, ya Allah, saya kena rampas.”

“Ada apa?”

“Orang itu tadi beli susu dan kue-kue, ia isi perutnya lantas pergi tanpa bayar, jadi menangislah si nenek ini.”

Itu tak boleh jadi. Mengapa orang tak mengejarnya?”

“Mengejar? Dia punya tali celana dan ban peluru. Dialah yang akan mengejar kita,.”
***bersambung