Topeng

Hayat

00.01 WIB
Seperti biasa aku menutup hari ini dengan duduk di depan cermin. Seperti biasa pula bukan wajahku yang nampak, tetapi topengku yang menjengul. Malam ini, kalau kuhitung, sudah yang ketujuh ribu lima ratus kalinya aku melakukan ritual ini.

Setiap malam menjelang tidur, aku mengevaluasi hari yang telah kulewati dan membahas strategi untuk menghadapi hari berikutnya dengan topengku. Mungkin kedengarannya gila dan tak masuk akal, tapi itulah yang terjadi. Karena sudah menjadi kebiasaan, aku tidak merasa aneh dan takut lagi. Kulit tubuhku juga tidak berasa senyar seperti kali pertama bertemu dengannya.

Ya. Aku menggeriap ketika pertama kali berhadapan dengannya. Waktu itu umurku baru sebelas tahun lewat satu hari. Dia muncul tiba-tiba ketika aku gelisah tidak bisa tidur. Pikiranku diracuni kejadian siang sebelumnya.

Siang itu kami berkumpul bersama teman-teman sebayaku bermain pengantin-pengantinan. Lulu -salah seorang yang paling tua- mengatur siapa menjadi apa. Kali ini aku hanya kebagian peran jadi pengatur hidangan yang akan disiapkan. Tugasku hanya menyiapkan potongan-potongan genteng yang nanti akan dijadikan piring. Juga mencari air, daun-daun dan bunga yang beraneka warna untuk dipotong atau digerus. Semuanya lalu dikumpulkan,dipilah-pilah dan pura-pura dijadikan makanan untuk hidangan resepsi. Dengan bersungut-sungut kuterima tugas itu.

Aku sedikit kesal dan sakit hati tidak mendapat peran utama. Pengantin perempuan adalah simbol kecantikan. Aku tidak terpilih karena Lala – adiknya Lulu, anak perempuannya Pak Lurah – ikut bermain bersama. Biasanya akulah yang selalu ditunjuk jadi pengantinnya. Dan itu merupakan suatu kebanggaan.

Mahkotanya memang hanya terbuat dari daun nangka yang disambung-sambung dengan lidi. Kursi pelaminannya juga hanya disusun dari bongkahan batu-bata. Tetapi begitu menyenangkan. Apalagi waktu bibirku dipoles lipstik -merah terang- warna kesayanganku, wow!

Bayangkan saja kau dilarang untuk melakukan sesuatu tetapi kau dapat melakukannya tanpa merasa bersalah melanggar larangan itu. Ya. dirumah aku dilarang dan tidak boleh memakai lipstik. Tentu saja jangan membayangkan aku dipoles dengan lipstik jenis matte atau lipbalm yang punya berbagai rasa seperti yang ada sekarang. Yang penting gonjreng aja. Malah kadang-kadang lipstiknya belepotan di gigi.

Ada satu lagi yang tidak bisa kulupakan. Setiap kali di gandeng Tommy- si mempelai pria – yang gagah, dentuman jantungku begitu gaduh. Itulah yang membuat kekesalanku berkembang biak, meraksasa, dan memenuhi setiap jengkal pikiranku. Gericau burung hantu yang biasanya seperti menyanyikan lullaby buatku, tidak mampu memikat rasa kantukku. Gelap malam pun, tidak jua mampu menaklukkannya. Kekesalan menggeramus rasa nyaman. Memberi jalan bagi pikiran-pikiran buruk bergentayangan.

Aku penasaran. Perlahan aku bangkit dari tempat tidur dan duduk di depan cermin. Mengamati wajahku dengan seksama. Dari sisi kiri, sisi kanan, ataupun dari depan rasanya tidak ada yang berbeda. Bahkan kulihat wajahku makin cantik, bukan berkurang. Jauh melebihi kecantikan Lala, seperti yang biasa orang-orang katakan. Lalu mengapa hari ini mereka merampas peran yang biasa aku lakukan?

Merampas rasa bahagiaku, kebanggaanku! mencampakkan dan tidak mengakui kecantikanku. Mengapa kebahagiaan harus berakhir? Hanya karena Lala adiknya Lulu? Hanya karena Lala anak Pak Lurah? Mengapa temanku juga tidak memprotes sebagai wujud solidaritas? Kehilangan kejujurannya ketika harus berhadapan dengan penguasa? Mengapa aku juga takut dan hanya mengumpat dalam hati?. Gigiku bergemerutuk menahan emosi. Tangan mungilku mengepalkan tangan. Bergetar. Ingin rasanya kupukul cermin di depanku. Tetapi tiba-tiba,

“Jangan gundah gadis cantik! aku akan membereskan masalahmu.“ sebuah topeng muncul mengagetkanku. Beberapa menit kemudian, setelah kulalui ketegangan, ketakutan, hampir terpental dari kursi, akhirnya aku bisa menguasai diri dan berani menatap-nya.

“Si..si…siapa kau!” aku masih tergagap

“Aku dewa penyelamatmu. Aku dewa pembuat topeng!“ katanya tenang. Wajahnya tak seburuk yang aku kira.

“Perlu cara khusus agar kamu bisa dipandang dan tetap selamat di tengah masyarakat yang gila tetapi mereka tidak menyadarinya.“ katanya lagi. Aku terdiam sebentar lalu membantah.

“Aku hanya gadis kecil yang ingin mendapat peran utama jadi pengantin. Merampas peran itu, berarti tidak mengakui kecantikanku. Cantik adalah kata paling indah dalam kamus perempuan. Jadi jangan pernah mengatakan kepada perempuan bahwa dia tidak cantik. Apalagi tidak mengakui perempuan yang memang sudah cantik. Itu yang paling membuat aku kesal. Biarlah semua aku hadapi sendiri. Aku tidak membutuhkan saranmu“

“Wah, kau keras kepala juga. Pemikiranmu juga kelihatannya lebih tinggi dari tinggi badanmu “

“Itu tidak penting! tapi menurutmu aku cantik kan? “

“Ya! Ya. Sangat cantik malah, “ sambarnya. Aku mulai agak tertarik.

“Ok, aku tidak keberatan berbicara denganmu.“ jawabku kali ini agak ketus. Menjaga gengsi, padahal aku mulai senang mengobrol dengannya karena dia menyebutku cantik.

“Coba teruskan ceritamu. “

“Begini, aku mendengar kekesalan dan keluh kesahmu. Tidak mudah memang hidup di jaman sekarang ini. Nabi-nabi yang bisa dimintai konfirmasi tentang kebenaran sudah tidak ada. Kita tidak tahu kepada siapa harus percaya saat ini. Begitu mudah orang melalaikan janji. Begitu mudah orang berubah pikiran, menggadaikan moral mengikuti tuan yang sedang berkuasa. Padahal mereka rajin ke Mesjid, ke Gereja, ke Pura ataupun Vihara. Kitapun tidak punya keberanian untuk menjadi diri sendiri. Apa yang biasa orang banyak lakukan kita telan mentah-mentah sebagai kebenaran. Ketika kita kehilangan kepercayaan diri, amatlah mudah kita terpukau dan gampang sekali kita dihipnotis. Kita atau masyarakat yang sedang terhipnotis akan sangat susah menegakkan kebenaran. Bukan. Bukan dihipnotis dengan tepukan tangan, menepuk pundak atau mantra, tetapi dengan siasat dan tipu daya yang modern dan canggih. Bisa disusupkan dalam ekonomi pasar, di samarkan dalam demokrasi, menggunakan isu hak asasi manusia, feminisme, kediktatoran dan lain-lain. Nilai-nilai dan prinsip hidup yang kebenarannya sebenarnya sangat mudah di deteksi keasliannya dengan hati, di tarungkan dengan logika, pragmatisme dan tujuan jangka pendek. Setelah menemui jalan buntu, pada akhirnya nilai-nilai dan prinsip hiduplah yang harus dipaksa kompromi. Semuanya dipaksa untuk mengikuti dan menjadi budak sesuatu yang lebih kuat. Hukum rimba – hukum yang sejatinya hanya cocok untuk para binatang, dipakai acuan untuk menjadi hukum universal di dunia ini. Akibat kompromi dengan hukum rimba ini, cara pandang masyarakat pun berubah. Tergantung apa yang diinginkan si tuan yang kuat. Ketika kapitalisme dijajakan dan mempesonakan kita, pemilik materi yang paling berlimpah itulah raja dan pemenangnya. Akibatnya banyak orang berlomba-lomba menjadi kaya. Tidak salah sebetulnya, tapi kalau mencapainya dengan hantam kromo, meninggalkan sisi mulianya, menghilangkan moralitasnya, semua itu hanya akan menghasilkan koruptor-koruptor dan penjilat-penjilat baru. Cara pandang orang telah digiring untuk menghormati orang-orang kaya daripada orang-orang yang mulia. Mungkin matamu akan menganggap gagak itu burung yang indah. Gagah. Tapi tidakkah hati kecilmu merasa jijik karena dia memakan bangkai-bangkai?“

“Stop! stop! Aku tidak mengerti apa maksudmu,“ teriakku.

Dia menukas dan menghardikku, “Dengarkan dulu! anggap saja ini dongeng sebelum tidur gadis cantik. Dongeng Ratu Shima sudah lama dilupakan orang.“ Aku mengangguk mengiyakan karena dibilang cantik. Juga takut, karena dia nampak geram ketika menceritakannya.

“Itulah kenyataan yang terjadi gadis cantik. Tidak henti-hentinya orang yang kuat memaksakan kehendaknya. Kalau tidak mempan dihipnotis, disiapkanlah jurus yang lain untuk mereka yang menghalangi jalannya, yaitu : teror!. Dengan uang dan kekuasaanya, teror bisa dijalankan dimana saja. Jangankan satu orang, sebuah negarapun bisa diteror. Dalil dan dalih akan dicari untuk membenarkan perbuatannya. Bahkan kalau perlu membeli dalil dari pemuka agama. Supaya tidak ketahuan belangnya, bisa juga memakai siasat lempar batu sembunyi tangan.“

“Stop! Stop! apa hubungannya denganku?“

“Sabar bidadari cantik. Tolong dengarkan dulu, nanti kamu juga akan mengerti,” Dia diam sejenak. Mungkin memikirkan cara untuk memberitahuku dengan lebih mudah. Tak sampai satu menit, kemudian dia memberiku pertanyaan;

“Kamu gelisah karena peranmu di rampas bukan?”

“Iya.”

“Kamu takut diabaikan orang bukan?”

“Iya.”

“Takut adalah sebuah pengetahuan yang tidak lengkap. Karena ketidakjelasan. Kamu takut harimau karena kamu tidak punya pengetahuan yang lengkap tentang harimau. Kamu hanya mendapat pengalaman atau informasi, entah itu dari cerita atau hanya melihat fisiknya saja bahwa harimau menyeramkan, taringnya besar-besar, tidak sungkan makan orang. Tetapi kalau pengetahuanmu sudah selengkap pawang atau pelatih harimau di sirkus, wah, dia akan rela mengikuti perintahmu. Jadi lupakan takut dan gelisahmu, turutilah apa saranku dan aku jamin kamu bisa menjadi apa yang kamu inginkan ditengah cara pandang masyarakat yang jumpalitan.“

“Be..be..benarkah?“ aku mulai terpikat ceritanya

“Ya. Bahkan dengan kecantikan yang kamu miliki dan sedikit saran dari aku. Tommy pasti akan jatuh cinta kepadamu.“

“Ha…!” aku melongo. Dia mengangguk pasti, kemudian menatapku dan bilang,

“Syaratnya mudah. Tidak perlu pakai sesajen atau tumbal. Kamu cuma harus memakai topeng-topengku setiap hari, kemudian malamnya kita bisa bertemu mengatur strategi untuk keesokan harinya. Dan topeng ini akan lengket di wajahmu.“

“ Tapi tidak mengurangi kecantikanku kan? “ aku sedikit ragu.

“ Tidak. Hanya akan sedikit membuatmu kecanduan. “ aku masih ragu dan gemetar, tapi bayangan Tommy yang ganteng dan teman-temanku yang akan berdecak kagum memuji kecantikanku menuntunku berkata : “ OK, kita sepakat.“

Dia mengangguk dan tertawa senang.

“Bagus bidadari cantik. Pejamkan wajahmu. Aku akan memasang topeng ‘sexy trendy jinak-jinak merpati ‘. Akhlaq yang baik dan keluguan sudah bukan menjadi dasar utama bagi seorang laki-laki memilih perempuan. Cara pandang seperti ini sudah terpental. Terjerembab dan kalah. Tidak kuat menahan gempuran cara pandang ‘modern’ dari barat yang meredefinisi kata ‘perempuan menarik’ menjadi cantik, sexy, kaya, dan trendy. Untuk menjadi menarik harus mengikuti standar industri kecantikan, bukan standar agama. Gila memang! Bahkan kerelaan membuatkan teh sebagai rasa sayang dan hormat kepada suami bisa dipelintir jadi isu bahwa istri di manfaatkan suami. Perempuan penurut dicela sebagai perempuan bodoh dan semua laki-laki dianggap tiran. Jadi kamu harus pintar membaca situasi, mengikuti trend yang ada, memanfaatkan kesempatan dan menjaga apa yang telah kamu dapat.“

“Ya..ya,“ aku menganguk pelan meskipun tidak mengerti apa yang diomongkan. Yang ada dipikiranku hanyalah agar aku lebih cantik dan semua orang mengakuinya. Dan si raja topeng itu bisa menyakinkanku. Setelah memakai topeng dan diberi resep untuk memikat Tommy. Aku tidur nyenyak sekali malam itu. Benar saja, tak sampai dua minggu kemudian Tommy bertekuk lutut di hadapanku. Tentu saja dengan topeng penampilan yang diselaraskan. Juga sedikit rekayasa agar teman-temanku menyebarkan berita bahwa aku perempuan hebat yang pantas dipilih dan sedikit bohong disana-sini. Topengku begitu memukaukan, hingga teman-temanku silau dan berdecak kagum. Mereka justru menghargaiku ketika aku memakai topeng. Aku ketagihan. Rasa nikmat memperdaya akal sehatku. Memukulnya sampai idiot. Satu kebohongan akan menyeret kebohongan yang lain. Satu rekayasa harus diikuti dengan rekayasa yang lain untuk menyakinkan orang dan menutupi malu. Dan kalau sudah begitu, yang bisa menyelamatkan hanya si topeng. Si raja topeng selalu bisa menundukkan dan mengusir rasa bersalahku dengan mengatakan bahwa bukan aku yang salah. Keadaanlah yang memaksaku melakukan hal itu. Lambat laun ketergantunganku terhadap topeng semakin akut. Aku tidak merasa bersalah lagi melakukan itu semua dan bahkan memuja-muja dirinya karena menghasilkan kesuksesan bagiku. Topeng “memikat dan menyogok guru” mengantarku lulus sekolah dan kuliah dengan nilai yang tidak terlalu jelek. Topeng “menjilat atasan” membuat aku gemilang di karir. Topeng “menyunat hak orang” dan mengumpulkan “ dana abadi “ menjadikanku kaya raya. Topeng “ berderma mengail bala” membuat citra ku di masyarakat tetap terjaga. Dengan uang yang aku miliki aku bisa leluasa berbuat apa saja di negeri ini. Akupun mulai bosan dengan Tommy suamiku. Dan si raja topeng lagi-lagi punya solusinya. Dengan memproduseri suatu film atau sinetron aku bisa memaksakan kehendakku untuk jadi bintang utama dan memilih laki-laki yang aku sukai. Dengan bantuan skenario, aku bisa menciumnya, memeluknya tanpa takut direndahkan orang atau kehilangan martabat didepan umum. Malah aku dipuja-puja. Aku juga bisa membujuknya untuk berbuat lebih jauh dengan dalih menghayati peran ataupun demi seni. Kalau itu tak mempan, aku bisa membuat private party. Kubuat semuanya mabuk hinga punya alasan bahwa yang aku lakukan bukan kesengajaan. Toh masyarakat sudah apatis dan memakluminya. Aku tidak tahu apakah masyarakat yang bodoh atau nggak berani. Kenyataannya tujuanku yang ingin menikmati brondong-brondong muda yang menggairahkan, memanjakan nafsu purba dan menyamarkan hasrat cabulku bisa terlaksana. Aku heran bagaimana aku bisa melakukan hal-hal yang kotor dengan bebas di negara yang menempatkan Ketuhanan pada sila pertamanya. Aku bisa bebas berbuat tidak manusiawi kepada manusia dinegara yang juga mencantumkan keadilan sosial di dasar negaranya. Aku bisa bebas melanggar norma-norma agama di tengah-tengah bangsa yang mengaku agamis. Aku tidak habis pikir bagaimana orang rela menjual negara demi sebuah fee atau komisi. Membabat hutan, Mengeruk habis hasil tambang, tidak peduli anak cucu. Memonopoli suatu usaha tapi tidak becus mengelola dan mengaku rugi terus. Apa yang ada dibenak mereka ketika mereka melakukan hal itu? Mengapa rasa bersalah tidak mengejar-ngejarnya? Mengapa masyarakat membiarkannya? Apakah masyarakat semuanya munafik dan pengecut seperti aku? Kalau ketidak adilan begitu mudah terjadi di tengah masyarakat yang mengaku agamis? Kalau tidak ada teladan dari pemeluknya? Kalau masing-masing cuci tangan ketika ketidak adilan terjadi? Bagaimana kita bisa mengharapkan seseorang menghormati agama? Bisa-bisa malah orang semakin membenci agama karena tingkah laku pemeluknya. Tiba-tiba tubuhku gemetar lagi. Nyaris pingsan. Padahal aku sudah ahli mengatasi rasa bersalah. Tapi lagi-lagi topengku selalu bisa menenangkanku. Dan aku bisa dengan mudah melupakan pikiran-pikiran itu, ‘Kamu tidak harus mengurus orang lain karena keluarga dan kroni-kronimu adalah yang paling penting.’ Begitu si raja topeng menenangkanku. Begitulah aku menjalani hidupku dengan mewah. Berkelas. Dan masuk pergaulan elit negeri ini sampai sekarang. Tapi pengalaman sore ini mencuci otakku. Aku berjumpa pengalaman yang mencengangkan. Sayup-sayup maghrib tadi aku dengar pembantuku yang baru marah-marah di telpon. Ketika aku datang menghampirinya, dia buru-buru menutup telepon. Menjura dan takut-takut berkata : “Maaf nyonya, saya agak lama memakai telpon, “

“ Ngak pa-pa kok, ada apa kok kamu marah-marah? “

“ Ee.ee. itu nyonya, Parman mengajak saya nonton “

“ Lho.. kerjaanmu khan sudah selesai, “

“ Iya..tapi saya tidak senang dia menelpon waktu sholat maghrib begini. Saya juga nggak mau diajak nonton karena sudah malam. Makanya saya damprat dia. Saya takut berdosa nyonya. Saya bisa mati sewaktu-waktu. “

Deg ! omongan Parmi menghantam bathinku.

“Ya sudah, kamu kembali kekamarmu sana“

Aku terduduk di sofa. Hati nuraniku yang berpuluh-puluh tahun koma dihajar topeng-topengku, mulai menggeliat bangun. Pendidikanku sangat tinggi. Statusku VVIP, Kekayaanku bisa untuk membeli pulau, Tapi apakah aku lebih mulia daripada Parmi? Apakah derajatku lebih tinggi dari pada kucing? sedangkan Kucing masih malu mencuri kalau ada orang. Tubuhku bergetar hebat.

Diam-diam kuambil belati di dapur. Kusiapkan untuk menikam si raja topeng. Rinduku pada wajahku sendiri begitu membuncah. Aku ingin melakukan sesuatu yang berarti dalam hidup ini. Aku tidak mau mati memakai topeng. Aku takut nanti Malaikat tidak mengenaliku. Aku ingin hijrah dari kegelapan, meskipun disana aku menjadi ratu. Dan kesempatan itu tiba. Malam ini topengku sudah terkantuk-kantuk dan kelelahan setelah mengajari aku jurus-jurus untuk besok pagi.

Pelan-pelan kuambil belati dari balik pinggangku dan secepat kilat kutancapkan tepat di mata kanan topengku. Sejenak topengku kaget, lalu menggelepar di lantai. Dengan tangan yang masih gemetar, kukelupas satu per satu topeng-topeng yang menutupi dan lengket di wajahku. Bagaikan luka yang ditaburi garam. Rasanya perih sekali. Dan sebagian wajahku ikut hilang.

TAGS :