Santa Klaus Tak Singgah di Rumah

Adakah pijar yang lebih bahagia dari cahaya lampu aneka warna pada deretan etalase toko  di pusat kota menjelang malam natal? Di antara dominasi warna hijau dan merah beragam ornamen, segala warna seolah tak kehilangan semangat untuk terus berkedip kemayu menawarkan berbagai hal demi kemeriahan natal dan tahun baru sekaligus. Dan lihatlah arus pembeli yang tak habis itu, berbaris rapi di meja kasir mempersiapkan kartu-kartu untuk digesek. Temperature di bawah nol dan taburan gerimis salju, alih-alih menjadi penghalang, justru menjadi pelengkap perjuangan merealisasikan “wish list” yang telah disusun jauh di awal musim.

Di antara yang gemerlap itulah kau temukan dirimu terjebak di depan sebuah etalase. Berhadapan dengan manekin tanpa kepala yang mengenakan sweater orange gelap. Sebuah warna yang sungguh mengikat hatimu. Matamu tak sanggup berkedip menatapnya. Itulah warna langit pada sebuah senja yang menolak mati dalam kenanganmu. Kenangan yang membuatmu bertahan memelihara sebuah harapan. Tapi seperti harapan yang terus membenturkanmu pada kekosongan, demikian pula label harga sweater itu menjatuhkanmu tanpa belas kasihan.

“Sabar, tunggu hingga semua perayaan ini selesai, saat harga-harga melorot jatuh di akhir musim,” akal warasmu berkata. Pertanyaannya : apakah yang satu ini akan bertahan menunggumu? Dia terpajang di etalase, membuat setiap mata menengok padanya.

“Apakah harganya belum turun?” jemari kecil dalam genggamanmu bergerak lembut, menarikmu dari pusaran sensasi rajutan warna oranye yang terus memanggil. Kau menggeleng cepat.

“Apakah Ibu akan memeriksanya setiap hari?” lagi bibir kecil itu bertanya. Kau tersipu. Merasa terpergok sedang mengais harapan yang nyaris mimpi, justru oleh anakmu sendiri yang kerap kau redakan mimpi-mimpinya. Ini dana beasiswa, Nak, untuk membeli buku, bukan mainan atau jajanan… Sebaris alasan yang telah menjadi kalimat mantra bagimu.

“Ibu sangat ingin baju itu ya.” Buah hatimu itu menggoda. Kau tertawa malu, lalu mengangguk dan menarik tangan kecilnya melanjutkan langkah.
“Warnanya bagus bukan? Benangnya tebal tak berserabut,” katamu memberikan alibi atas pilihanmu.
“Mungkin Ibu bisa mendapatkannya, nanti kutanyakan Brenda.”
“Brenda yang berambut emas itu?” demikian anakmu menamai rambut pirang sahabat sebangkunya, “mengapa Brenda?”
“Supaya dia menambah jatah rumput untukku.”
“Rumput?” lagi kau bertanya.

Tak kau temukan kesinambungan sweater warna senja, Brenda dan rumput. Kau tahu bahwa imajinasi anak-anak sama sekali bukan tandingan logika berpikir manusia dewasa, secerdas apa pun otak dewasa itu, namun setidaknya otakmu belum terlalu tumpul untuk mereka-reka imajinasi liar sekaligus lugu anakmu sendiri.

Kau temukan jawabnya kemudian. Anakmu mengambil sepasang sepatu, yang relatif terbaru di antara 2 sepatunya yang lain. Membersihkan dan mengisinya dengan sekantung rumput segar pemberian Brenda. Diaturnya rumput dengan rapi mengisi lubang sepatu.

“Besok malam diletakkan di depan pintu. Kata Brenda, Santa Klaus akan lewat dan kalau rusa penarik kereta memakan rumput ini, maka pemilik sepatu boleh memilih hadiahnya.” Anakmu menjelaskan dengan bersemangat. “Akan kuminta rumput lagi untuk sepatu Ibu.”

Kau tercekat. Bukan karena berhadapan dengan imajinasi di luar batas, melainkan justru merasa ironis bahwa ternyata inilah saatnya kau harus menghadapkan anakmu pada pemahaman tentang perbedaan, tentang kotak-kotak yang tak sama.

“Tapi Santa Klaus tidak singgah pada rumah yang tidak merayakan natal,” katamu pelan. Kau merasa berhadapan dengan sebutir apel ranum  dan kalimatmu menjadi pisau yang akan  membelah-belahnya.
Anakmu terkejut. “Tapi Brenda bilang…”
“Hari raya kita berbeda, Nak,” matamu menatap memohon pengertian. Terdiam anakmu sesaat. Matanya berkedip-kedip menyiratkan sanggahan.

Dan kau ingatkan padanya tentang hari raya yang kalian rayakan di kampung halaman beberapa tahun lalu.
“Begitu ya, Ibu yakin pak Santa Klaus itu tidak singgah?” dia meragukanmu. Kau mengangguk. Dan kau melihat sebuah harapan yang memudar.

Dengan sirat kecewa yang tak tersembunyi, matanya menatap sepasang sepatu merah berisi rumput segar. Kau merasa tak berdaya.

“Tapi aku tetap ingin memberikan rumput ini untuk rusanya. Banyak anak-anak di sekitar rumah, akan membuat pak Santa lama berkeliling membagi hadiah, mungkin membuat rusa kelaparan,” gumam anakmu kemudian. Dibukanya pintu balkon, meletakkan sepatu berumput pada teras yang sempit, menatap satu kali lagi sebelum kemudian menutup pintu. Bibirmu bergetar, bukan karena dingin oleh udara yang menerobos saat pintu terbuka, melainkan karena ketulusan  hati seorang anak. Mulialah hatimu, Nak.
***

Nanti malam adalah Chrismast Eve. Pemilik kedai akan menutup kedai sebelum sore dan tutup selama satu bulan. Dia akan menikmati liburan di kampung halamannya yang hangat. Maka dia ingin kedai benar-benar bersih demi tak membuat tikus dan kecoak mampir. Tidak mudah memperoleh lisensi operasional kedai bila “tamu-tamu” liar itu terdeteksi singgah apalagi menetap. Itu membuatmu dan karyawan lain harus berberes ekstra keras, sekaligus beruntung karena banyak sisa stok makanan yang bisa dibawa pulang. Muffin aneka rasa, croissant, pie, beragam cookies. Telur mentah, sosis, bawang Bombay, fillet ikan dan ayam. Hm, semua itu bisa menghemat uang belanja sepekan lebih. Meski tetap belum cukup untuk menebus sweater warna langit senja dari etalase. O please, sudahlah.

Kau hidupkan kran, air panas mengguyur tumpukan piring kotor berlapis sisa-sisa lemak. Bergerak cepat tanganmu mencuci piring-piring itu, secepat pikiranmu berputar merancang sesuatu. Kau abaikan senandung nona Sanchez di sebelahmu yang membilas setumpuk cangkir dan gelas. Biasanya kau suka menebak-nebak lagunya. Kini yang ada di kepalamu adalah sepatu berumput di balkon itu. Kau tidak ingin membiarkannya kosong. Toko –toko masih akan buka hingga jelang malam, bisa kau beli sesuatu sesudah semua tugas ini selesai. Masalahnya. Bagaimana membayarnya? Kedai akan tutup membuatmu tak bergaji sebulan ke depan. Sementara biaya sewa apartemen telah tertunda 15 hari, kau berjanji membayarnya hari ini seterima uang lembur. Kulkasmu nyaris kosong, sisa stok makanan dari kedai hanya akan memperpanjang nafasnya satu pekan. Lalu biaya penitipan anak, janjimu pula akan melunasinya hari ini. Astaga, uang lembur yang tak seberapa itu telah kau janjikan untuk banyak hal.

Di tanganmu spon berputar cepat menyeka lemak, sebaliknya putaran di benakmu justru melambat, bahkan seolah berhenti, membuatmu tak juga menemukan cara memberikan kebahagiaan ala kadarnya pada anakmu. Kebahagiaan bahwa rumput yang disediakannya tidak sia-sia, bahwa rusa pak Santa benar-benar telah memakannya.

“Rumahmu di Dulverton Road bukan? Searah dengan rumah nyonya Gerda?” Tanya bos mendadak saat kau melepas apron yang kuyup.
“Pelanggan sepuh yang selalu datang minum teh sore itu?” kau mengangguk, “Dia tak datang beberapa hari ini.”
“Kakinya bengkak, membuatnya tak bisa berjalan jauh. Minggu lalu dia memesan ginger cookies dan titip tukar pecahan uang kecil,” bos menjelaskan. Disebutkannya sejumlah angka, tak sedikit, tak pula besar. Cukup untuk menebus sesuatu dari toko mainan yang akan membuat seorang anak bahagia.
“Apakah kau bisa mengantarkannya pada nyonya Gerda saat pulang nanti?”  

Kau mengangguk cepat, sangat segera, tak perlu waktu lebih untuk menimbangnya. Bukan karena rumah itu searah dengan apartemenmu, melainkan karena seolah kau temukan celah dari segala yang buntu.
***

Langkahmu melambat. Bukan karena tak tahu rumah nyonya Gerda. Kau tahu betul letak jalan itu. Itulah jalan yang akan kau temukan pada simpang di depan, belok ke kanan. Sebuah blok berisi rumah-rumah kecil berpagar rendah dengan pintu aneka warna. Bos mengatakan pintu tujuanmu berwarna putih, nomor lima. Akan kau temukan dengan mudah dalam beberapa langkah. Namun kau berdiri bimbang. Bungkusan biskuit jahe dan amplop recehan rapi di dalam tas. Erat dalam dekapanmu. Hatimu berdebar dalam kecamuk yang bimbang. Langit sore pada musim dingin menerbangkan awan kelabu, tapi bukan itu yang membuatmu menggigil, melainkan jalan buntu di dalam kepala. Entah berapa menit kemudian kau temukan langkahmu bergerak pada arah yang terpilih. Bukan kanan. Menjauh dari pintu putih yang belum kau temukan.
***

Anakmu bergerak gelisah. Mengunyah makan malamnya tanpa selera dan melirik kaca pintu balkon berulangkali. Langit gelap di luar sana dengan taburan salju tipis. Lampu berkilauan aneka warna dari pohon dan rumah-rumah. Sebuah Christmas Eve yang sempurna. Persis seperti citra natal yang dulu kau temukan pada kartu natal di toko. Kini akan ditemukan pada lini masa berbagai medsos. Dan itu semua menjadi dunia nyatamu hari ini. Tapi bukannya ketakjuban, justru gelisah mendatangimu.
“Menunggu pak Santa?”

Anakmu tersipu, dilahapnya cuilan ikan berlapis panir di piring. “Aku ingin melihat rusa itu, apakah mereka benar-benar tidak akan singgah di rumah kita?”

“Entahlah,” gumammu mengambang. Tak tega meruntuhkan harapan yang terbangun dari keluguan nan bersih.
“Mengapa Tuhan kita tidak memilik Santa Klaus, Ibu?”
“Tuhan kita mengirimkan malaikat penolong yang lain,” jawabmu, “akan kita…”
“…temukan dalam doa,” sambung anakmu, menghafal apa yang selalu kau katakan padanya.

Mendadak kau tercenung. Cara anakmu meneruskan kalimat itu, seolah begitu besar keyakinannya. Doa. Sementara bagimu justru beralih menjadi rutinitas dan memberi keyakinan yang justru hilang timbul. Betapa rapuh imanmu sebenarnya, ketika kau merasa akal sehatmu mampu mengambil alih semua persoalan. Doa. Ini malam natal. Sebuah malam yang kudus bagi yang merayakannya. Akan banyak doa dipanjatkan malam ini. Akankah suara lirihmu terdengar dari negri yang asing dan jauh ini? Tatap matamu bergerak. Bungkusan untuk nyonya Gerda yang kau simpan di  meja dapur memberimu kesadaran betapa yang jauh dan asing itu adalah justru dirimu sendiri.

“Ambil mantelmu, ayo ikut Ibu sebentar,” katamu sembari bangkit. Gerimis salju belum reda, tapi tidak mungkin meninggalkan seorang anak sendirian. Kau ikatkan syal tebal di seputar lehernya.
“Kita akan ke mana?” anakmu bertanya. Matanya tak tenang meneliti balkon.
“Ibu harus pergi sebentar, tidak jauh.”
“Tapi…” anakmu mengisyaratkan penolakan. Kau tahu dia sedang menunggu.
“Kita akan segera kembali,” kau tidak memberinya pilihan.

Dengan langkah bergegas, bahkan anakmu setengah berlari demi mengejar gerakmu yang tergesa, segera kau temukan rumah berpintu putih itu. Tirai jendela yang tipis menerawangkan cahaya dari dalam ruang, penanda penghuni di dalamnya masih terjaga. Tanganmu menggerakkan pengetuk pintu. Tak segera terbuka. Tapi kau tak mengulang ketukan, kau tahu perlu beberapa saat menunggu seorang sepuh dengan kaki bengkak untuk melangkah menuju pada sesuatu. Beberapa saat kemudian terdengar suara kunci bergerak.

Nyonya Gerda mengenalimu dengan segera. Rasa jengah membuat kepalamu tertunduk saat mengulurkan bungkusan.

“Maaf terlambat mengantar,” suaramu lirih.
“Duh, aku sangat merepotkanmu bukan? Membuatmu kedinginan demi biskuit jahe-ku, mari masuklah.” Dibukanya pintu lebih lebar.
“Tapi,” perasaan malu menghadang langkahmu.
“Dingin sekali, lihat anakmu menggigil. Aku harus menghangatkan kalian,” sergah nyonya Gerda sembari meraih bahu anakmu masuk ke rumah.

Anakmu melangkah tanpa menunggu dan berseru takjub saat menemukan pohon pinus kecil berhias di tengah ruang. Kado-kado aneka warna dan bentuk berserak di bawahnya.

“Akan kubuatkan sesuatu yang hangat untukmu. Coklat, susu atau teh?”  
“Coklat,” anakmu memilih tanpa sungkan. Bergegas mendekati pohon pinus yang berpijar kemayu. Matanya bercahaya mengagumi. Kau memilih diam, tak hendak menghalangi ketakjuban itu. Tak pula menghalaunya saat dia memilih aneka kue yang dihidangkan nyonya Gerda. Segala yang tak ada di dalam rumahmu.
“Kado nyonya banyak sekali, semua dari pak Santa Klaus? Nyonya menyediakan banyak sepatu berumput? Rusa itu memakan semuanya?” Tanya anakmu beruntun. Rasa penasarannya sangat kentara.

Nyonya Gerda tertawa, “Kau juga menghias sepatumu dengan rumput?”

Anakmu mengangguk, “Hari raya kami berbeda, pak Santa tidak akan mampir di rumahku. Tapi aku tetap ingin memberi rumput rusa terbang itu, rusa tidak berhari raya bukan? Dia tetap boleh makan rumputku.”

Nyonya Gerda terkejut sesaat, bersilang pandang denganmu. Tanpa kata tatap mata kalian saling bercerita. Mata dengan kelopak berkeriput itu kemudian berkedip mengisyaratkan sesuatu.

“Ah, pak Santa itu sudah tua. Kakinya sedang bengkak pula sepertiku, membuatnya malas berkeliling. Jadi dititipkannya sebagian kado-kado di sini, termasuk kado untukmu. Dia berpesan, kau boleh memilih sesuka hatimu.”

Mata anakmu membesar seketika. “Ha, benarkah? Meskipun aku tidak merayakan natal?”

Nyonya Gerda mengangguk, “Pak Santa Klaus suka pada anak yang baik hati. Memberi makan rusa adalah sebuah niat baik bukan? Nah, kau telah terpilih, ambillah hadiahmu.”

Anakmu meletakkan cangkir coklatnya, menatapmu memohon ijin. Kau duduk dalam bimbang.
“Nyonya…”suaramu bergetar, oleh perasaan yang berkecamuk di dalam diri. Nyonya Gerda mengangguk, ditepuknya punggung tanganmu, menenangkanmu. Maka kau pun mengangguk, memberi jawab pada seorang anak yang menunggu.
“Setiap orang layak mendapatkan kebahagiaan. Tidak hanya anak-anak, tapi juga manula sepertiku,” nyonya Gerda berbisik, ”telah lama aku sendirian. Setiap natal kubungkus hadiah, berharap ada yang menemaniku merayakannya. Kedatangan kalian malam ini adalah hadiahku, terimakasih.”

Kau tercengang. Merasa ironis kemudian menyadari justru sebenarnya telah merancang sesuatu.

“Maafkan saya, titipan ini seharusnya diantar sore tadi, tapi saya…,” ucapmu terbata, lidahmu kelu bagai tak sanggup berkata, tapi kau sanggup lagi berbohong, bahkan pada dirimu sendiri. “Tapi sungguh uangnya utuh, utuh.”

Nyonya Gerda memelukmu, disentuhnya bibirmu mencegah melanjutkan kata. “Aku paham apa yang sedang kau hadapi. Selalu tidak mudah hidup di negri asing. Tidak apa-apa.”

Kau menarik napas kuat-kuat. Pertahanan dirimu nyaris runtuh dalam pelukan perempuan sepuh itu.

“Tenangkan hatimu, Nak. Lalu pertimbangkan rencanaku ini,” kata nyonya Gerda tanpa melepas pelukan. “Kuperlukan bantuan untuk merapikan rumah setiap hari, maukah kau melakukannya? Anakmu bersamaku sementara kau bekerja. Dan kalau dia mau, boleh setiap hari sepulang sekolah katimbang di tempat penitipan. Dulu aku pengasuh cucu yang baik, sekarang mereka semua sudah besar dan memiliki dunianya sendiri. Kurasa akan menyenangkan bagiku memiliki cucu baru.”

Yayaya. Kau mengangguk berulang-ulang. Tak sanggup menangis. Tak sanggup berkata-kata. Di bawah pohon yang bercahaya, anakmu sedang memilih hadiahnya. Kau telah menemukan hadiahmu sendiri. Dan kalian telah menjadi hadiah bagi seorang manula yang sendirian. Santa Klaus tak singgah di rumah, tapi hadiah telah terbagi untuk setiap hati.
***

Pagi hari. Matahari musim dingin berbagi cahaya yang redup. Kau membuka pintu balkon. Ada genangan air sisa salju semalam. Sedikit rumput berserak di seputar sepatu anakmu. Hanya sejumput. Apakah ini rumput sisa? Tidak ada kado, hanya secarik kertas. Itulah kertas dengan tulisan tangan anakmu tentang hadiah pilihannya. Rasa ingin tahu seketika tak sanggup mencegahmu membuka lipatan kertas.
Pak Santa Klaus yang baik, tolong turunkan harga sweater orange untuk Ibuku ya. Terimakasih.

Seketika kau menangis tersedu-sedu.
***

Diterbitkan pertama kali di Majalah Femina namun diterbitkan ulang untuk situs Difalitera, Audiobook Sastra Indonesia.