Sepotong Sayap di Luka Batu

Dedy T. Riyadi

Aku membenci kekerasan, tapi Mamat tidak. Dia sibuk memilih butir-butir batu di pinggiran jalan setapak kebun. Ditimangnya beberapa dari batu-batu itu sebelum dimasukkannya ke dalam saku celana. Dia menatapku seolah sedang mengancam seseorang yang ingin melarangnya.

Hei, apa salahku? Apakah salah jika aku sebagai seorang anak lelaki membenci kekerasan? Aku senang makan ayam atau bebek goreng, tapi bukan burung manyar. Mamat, Roji, dan aku memang suka berpetualang di dataran lapang kampung ini. Memanjati pohon-pohon, berenang di sungai sambil menangkap ikan, atau seperti sekarang ini; berburu burung manyar.

Aku lebih suka mengorek batang turi dan mengeluarkan ulat putih besar yang biasa kami sebut gendhon. untuk disate, daripada menangkap burung manyar yang sudah patah leher, pecah dada, atau bersayap sebelah, dan kemudian dibersihkan bulunya, isi perutnya, dan dibakar menjadi setusuk atau dua tusuk sate besar. Mamat dan Roji paling lahap memakannya.

“Enak lho! Kau tak mau coba?”
“Eh, ini masih ada darahnya! Puihhh!. Roji meludah.”

Aku tetap duduk mematung. Bergidik menyaksikan mereka makan daging burung manyar yang kemerahan dan belum sepenuhnya matang. Tiba-tiba saja mataku mengembun, dan pada sebatang pohon kepel tua, di dekat sungai, akhirnya kutumpahkan tangisan.

Jika aku menangis, aku teringat ibu.

“Run, kamu masih sayang ibu, bukan?”

Aku mengangguk lemah. Usiaku baru sepuluh tahun; belum bisa memahami apa yang terjadi di dalam rumah antara ayah dan ibu. Ayah jarang pulang, ibu tak pernah kelihatan senang. Ada mendung yang bergantung pada kedua bola matanya. Dan gerimis bahkan hujan tiba-tiba saja bisa menderas di pipinya. Melihat ibu menangis aku pun terkadang ikut menangis walau tak mengerti apa yang harus kutangisi.

Suara tangis ibu seperti riak sungai di kaki tebing di bawah pohon kepel berada. Suara yang perlahan tetapi berkesinambungan. Aku menduga sepenuh hidup ibu dipenuhi tangisan. Tak pernah ada senyum yang menghiasi bibirnya. Kadang aku rindu pada geligi putih yang selalu disembunyikannya. Rasanya sudah lama betul aku tak mendengar suara tawa ibu. Apakah memang beban yang disandangnya begitu berat? Benarkah semuanya gara-gara Ayah?

Ayah menghilang sejak pertengkaran itu. Pertengkaran hebat antara ibu dan ayah. Di ruang makan, semua barang berpindah. Piring-piring pecah berserak di lantai, juga dengan gelas, sendok dan nasi pun tumpah. Ibu bilang semenjak ayah terlibat organisasi, ayah tidak pernah lagi memperhatikan kami. Reaksi ayah adalah marah, dia balik menuding Ibu tidak pernah mendukung perjuangannya. Karena tak mengerti apa yang sedang terjadi, yang bisa kulakukan adalah membawa pergi adikku dan menenangkannya.

Tak lama berselang, peristiwa itu terjadi.

Hujan batu di rumahku. Di depan pintu, ibu berteriak-teriak menyuruhku kabur. Wajah dan tangannya berlumur darah. Aku dan adikku menangis sejadinya. Bingung antara ingin pergi atau menunggu apa yang akan terjadi.

Mereka mencari ayah. Seluruh bagian rumah kami digeledah. Barang-barang berharga dijarah. Dikeluarkan dan dibakar. Mereka sepertinya ingin membawa ibu pergi. Kaki-kaki mereka menendang, menyepak tubuh kami. Aku memberanikan diri mendekap ibu, merangkul adikku. Ibu dan aku berteriak kepada mereka; biarkan kami mati bertiga!.

Lalu tangisku, tangis ibu dan adikku terhenti ketika mereka berhasil menyeret kami hingga di halaman. Rupanya, mereka masih berbaik hati untuk menyingkirkan kami dari amarah mereka yang begitu meluap untuk membumihanguskan rumah kami.

Aku tercekat melihat api yang segera membubung tinggi. Sama seperti ketika Mamat dan Roji, teman main baruku di kampung yang tak mengenal asal-usul ibu, membakar sarang-sarang burung manyar yang mereka dapatkan dengan mengetapel pucuk-pucuk cemara. Ketika aku membantu mereka mengupasi sarang burung manyar yang terbuat dari gulungan daun cemara kering dan mendapati tiga ekor anak burung manyar hangus terbakar berpelukan.

Sepertinya anak-anak burung manyar yang begitu mungil dan masih tak berbulu sama seperti aku, ibu dan adikku yang pernah ingin membiarkan kami mati bertiga.

Kini, Mamat, yang masih berdiri memandangiku dengan tatapan seperti mengancam, melepaskan ketapel yang tergantung di lehernya dan melemparkannya ke tanah dekat kakiku.

“Aku bisa buat sendiri. Ketapelmu jelek! Ambil itu dan pergi!”

Roji mendekatiku dan mencibirkan bibir juga meleletkan lidah.

“Weeek! Penakut! Cengeng! Huuuu!”

Mereka berdua segera menghilang di rimbunan pepohonan. Aku terpaku, belum memilih antara ikut pergi bersama mereka atau pulang sendiri. Kampung ini penduduknya sangat jarang, dan tak banyak yang berkegiatan di luar. Di kampung ini tak banyak orang dewasa bisa ditemukan. Kalaupun ada orang dewasa dalam satu rumah, biasanya mereka bukanlah orangtua yang lengkap. Hanya ibu atau nenek. Selebihnya anak-anak seperti aku, Mamat dan Roji meskipun ada yang berusia lebih tua dari kami.

Kampung kami ini kampung perempuan dan anak-anak.

Aku tahu jika ayah memang pergi dari rumah, tapi Mamat bercerita kalau ayahnya dibawa pergi orang-orang gagah. Dia menyebut orang-orang gagah karena mereka berbadan tegap dan senjata-senjatanya mengkilat tertimpa cahaya bulan. Demikian pula dengan cara mereka berjalan. Berderap-derap bunyi sepatunya. Roji bilang Mamat tukang bohong, ayah Mamat dimasukkan ke dalam sebuah mobil berwarna hitam gosong. Matanya ditutup, kaki dan tangannya diborgol. Mamat mengacungkan tinju ketika Roji berkata seperti itu.

Bapakmu juga bukan? Dibawa pergi saat pulang dari pekan di kota. Kata orang-orang itu, bapakmu berbelanja bahan peledak!.

Roji hanya bisa mengisak jika Mamat sudah mulai teriak-teriak.

Tapi kini mereka sudah meninggalkanku, masuk ke dalam hutan kecil. Aku ingin segera pulang, pasti ibu sudah menungguku untuk segera mandi dan makan malam. Hanya saja aku tak ingin tersesat oleh bayang-bayang dedaunan yang menyilang-nutupi badan jalan setapak. Ah, kenapa aku tak pernah mendengarkan nasihat ibu untuk menghafalkan arah mata angin? Kalau sudah begini, apa yang hendak aku lakukan?

Pletak! Pletak! Pletak!

Ada batu-batu yang berterbangan di udara mengenai dedaunan dan bebatang pohon. Aku menduga Mamat dan Roji tengah menakutiku untuk segera pergi dari tempat itu. Yang aku tahu, aku harus berlari sekencang-kencangnya sambil menutupi kepalaku dengan kedua lenganku. Batu-batu pilihan Mamat tadi begitu bulat dan keras. Bisa-bisa tulang tengkorakku remuk jika terpapas. Dalam hatiku bergemuruh. Awas kau Mamat! Awas kau Roji!

Aku berlari sekencang-kencangnya, terkadang terjerembab oleh akar yang melintang atau meringis menginjak ranting yang jatuh. Aku terus berlari. Kini tubuhku dipermainkan oleh bayang dedaunan dan batu-batu yang dilontarkan. Awas kau Mamat! Awas kau Roji! Aku meneriakkan kata-kata itu berulang-ulang.

Gempuran batu itu mereda, aku terengah-engah hampir kehabisan nafas. Bajuku basah kuyup. Jantungku keras berdegup. Tak habis pikir kenapa mereka tega mengerjaiku seperti ini. Lalu mendadak ada bunyi berdebam. Sesuatu yang besar jatuh. Belum sempat aku mencari tahu apa yang terjatuh itu, terdengar lagi debam yang lain. Ada dua benda besar yang jatuh di sekitarku.

Kudengar juga suara yang sering aku dengar; suara Mamat dan Roji tapi mengaduh kesakitan dan minta tolong. Bbelum sempat aku bergerak mencari tahu di mana mereka berada, kudengar Mamat dan Roji berteriak panik; “Lari. Lari. Mereka datang lagi!”

Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Waktu itu aku ikut lari setelah melihat mereka berdua lari menuju ke arahku dengan muka pucat pasi. Setelah itu Mamat dan Roji tak bercerita. Mereka berdua jadi sangat pendiam, hingga aku tak pernah bisa tahu apa yang sebenarnya menyerang mereka di hutan kecil itu.

Dan setiap melihat burung, mereka tampak ketakutan, pucat pasi. Kasihannya mereka tidak sampai memangis, padahal kalau aku menangis, aku ingat ibu. Aku selalu senang mengingat ibuku, biarpun dia tak pernah tersenyum lagi.

Aku mencoba meniru Mamat dan Roji; ketakutan melihat burung biar aku menangis, biar aku ingat ibu. Tapi Mamat dan Roji tak mengetapel burung lagi, dan tak pernah membuatku menangis lagi.
***

Jakarta, Agustus, 2007