Prasangka

Nabiha Shahab

Pak RW memandang bangga kampungnya yang asri, rindang dan tertata rapi. Entah karena tidak ada yang berminat atau karena tidak ada yang berani menantang, jabatan RW dipegangnya selama 10 tahun terakhir. Sejak ia memasuki masa pensiunnya baru-baru ini, ia lebih banyak tinggal di rumahnya, di pinggiran Jakarta.

“Tatanan rapih seperti ini tidak akan tercapai kalau bukan aku yang mengurusnya,” pikirnya puas.

Tiba-tiba lamunannya pecah dengan sebuah teguran: “Selamat siang, Pak.”

Eh, siapa ini… Seorang pemuda berpakaian kemeja putih dengan jins hitam lusuh telah berdiri di hadapannya. “Saya mau lapor pak, ini surat pindah saya. Saya baru kos di tempatnya Bu Mini.”

“Oh ya ya, terimakasih nak. ehm… Mampir dulu ke rumah.”

Pemuda itu menolak dengan sopan, masih ada kerjaan lain katanya. Dipandanginya lagi lelaki muda itu. Di telinganya, walau tidak ada anting tapi bekas tindikan jelas terlihat, dan telinga kirinya bolong besar mungkin bekas anting anak-anak rocker seperti yang biasa nongkrong di ujung gang kampung sebelah. Di bawah lengannya menyembul tato bergambar sejenis batik. Pak RW mengerenyitkan dahinya.

Ah sudahlah jangan berpikir yang tidak-tidak, pikirnya.

Sebulan kemudian beberapa orang warga berkumpul di rumah Pak RW.

“Wah ngga jelas kelakuan anak itu, Pak,” kata Pak Seno, yang rumahnya persis di sebelah kiri rumah Bu Mini.

“Tiap pagi jam 3 dia sudah keluar rumah dan baru balik jam 4 sore, terus dia ngga keluar-keluar kamar sampai jam 8 malam. Eh terus pergi lagi dan baru balik jam 11 malem.”

Ternyata Pak Seno, yang juga pensiunan, cukup rajin memperhatikan tetangga barunya.

Ajat, si Hansip, manggut-manggut mengiyakan; “Iye bener Pak, tiap ari ane liat die begitu… belon subuh ude jalan. Terus ngilang mulu Pak, kagak pernah nyampur ame warga. Pidahan dari mane sih?”

Bu RW nyeletuk: “Dari itu noh… daerah kumuh yang di Tanjung Priok!”
“Pasti die maling, Pak RW.”
“Jangan-jangan dagang shabu, Pak.”

Waduh makin kisruh nih, pikir Pak RW sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Rapat RW tidak resmi itupun akhirnya memutuskan untuk membuntuti si pemuda mencurigakan untuk membuktikan segala sangkaan mereka.

Malam itu, Ajat bersama seorang warga, Gobang, bersembunyi di dekat rumah Bu Mini. Belum lagi matahari menampakkan semburat merahnya, si pemuda sudah bergegas meninggalkan rumah. Dengan sigap ia melompat ke omprengan di ujung gang.

Ajat dan Gobang, tersandung-sandung meraih motornya dan mulai membuntuti pemuda itu. Sampai di terminal bis, pemuda itu berganti lagi dengan bis yang menuju Tanjung Priok. Makin berdebar hati kedua mata-mata kampung asri itu. Ditempelnya terus pantat bis tua itu sampai ke sebuah daerah yang tidak mereka kenal lagi.

Si pemuda turun lalu mulai berjalan ke sebuah jalan. Langkahnya agak terburu-buru, setengah berlari, seperti orang yang terlambat. Pemuda itu berhenti sesampainya di depan sebuah rumah yang dari dalamnya mengepul aroma harum.

Perut Ajat dan Gobang berbunyi. Lapar. Mereka saling pandang. Heran.

Dengan sigap si pemuda itu melompat ke sebuah mobil carry yang bagian belakangnya dimodifikasi menjadi etalase.

Dijalankannya mobil itu sambil berteriak ke mikrofon: “Roti! Roti!”