Dia

Ani Mulyani

If you love someone more than anything, then distance only matters to the mind, not to the heart……(Anonymous)

Kulayangkan pandangan sesaat dari jendela pesawat ke laut lepas di Selat Makassar. Ssungguh indah, diantara kilang-kilang minyak yang bertebaran nuansa teknologi modern, masih dapat  kulihat birunya air laut.

Pagi itu untuk pertama kali aku menginjakkan kaki di tempat nan indah di ujung Timur Kalimantan. Di Balikpapan, kota kecil yang sebelumnya tak pernah masuk dalam mimpi wisataku, ternyata menjadi tempat yang bermakna besar buatku. Kuhabiskan 2 hari di kota itu namun kuserap kenangannya tak habis-habisnya. Rindu untuk kembali ke sana, rindu akan deru pesawat di atas langit Balikpapan, rindu aroma makanan laut bakarnya, dan, yang tak akan pernah kulupa, harum bunga sedap malam ketika kuinjakkan kaki di kediaman yang asri, di kediamannya. Kenangan yang tidak akan permah kulupa sepanjang hidup.
***

Di penghujung Mei 2006, sepenggal pesan singkat singgah di telepon genggamku dari nomor yang tidak kukenal, “Hallo, apa kabar, long time no see and no hear, apa kabar, kapan main ke Balikpapan?” Sepertinya aku mengenal si pengirim pesan pendek itu.

Walau ragu. kuputuskan menelepon si pemilik nomor. Suara dari seberang itu memang aku kenal. Ah, suara teman lama, kenalan lama yang sudah hampir 4 tahun tak bertemu.

Terakhir kukirim surat elektronik atau e-mail padanya memberitahu aku akan keluar dari tempat kerjaku dulu. Setelah email itu, aku telpon dia, dan dia menyambut baik keputusanku keluar dari kantor kami. Itulah komunikasi kami terakhir, sebelum pesan pendeknya tiba-tiba muncul.

Hubunganku dengannya, dulu, tak lebih dari hubungan kerja. Tapi aku mengaguminya sejak kami pernah bekerja-sama. Perbedaan usia, pendidikan, dan bidang pekerjaan agaknya tidak menghalangi kerja-sama itu. Aku sangat mengaguminya; jabatan serta pendidikan tinggi yang dipunyanya tidak membuatnya sombong. Dia merupakan pribadi sederhana. Sepertinya dia mengikuti ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk. Sampai suatu saat dia harus pindah tugas ke luar pulau dan kami pun jarang berkomunikasi.

Aku mencoba-coba menemukan e-mail nya namun tidak berhasil. Tapi peribahasa lama rupanya tak lekang dimakan hujan. Pucuk dicinta ulam tiba, entah angin apa yang membuat dia mengirimkan pesan pendek, yang kemudian menjelma menjadi percakapan menyenangkan. Kesenangan dan keringanan percakapan itulah yang membuat kami sampai membahas dan mengatur pertemuan. Ya, akhirnya kami sepakat untuk bertemu.

Aku bersiap menyongsong akhir pekan yang sudah kuimpikan. Tentunya ini adalah akhir pekan yang berbeda dengan yang biasanya. Di tempat baru itu aku yakin akan menikmati suasana dan pemandangan baru dan, tentunya, kebersamaan.
***

Dua jam sudah aku duduk di pesawat, dan terdengar pengumuman pesawat akan segera mendarat di Bandara Sepinggan. Bandara bertaraf internasional di sebelah Timur Kalimantan itu, berada di pinggir pantai dan akrab dengan orang-orang di perusahaan minyak. Kulepas pandangan dari jendela ke laut lepas; ah, betapa indahnya, matahari pagi yang mulai menampakkan sinarnya. Bisa kulihat jelas kilang-kilang minyak bertebaran di tengah laut.

Pesawat mendarat dengan mulus di Sepinggan. Seperti orang kebingungan ditengah kerumunan. aku mencarinya. Segera kulihat dia melambaikan tangan. Lega mengalir karena dia menjemputku. Kami berjabat tangan, menanyakan kabar masing-masing dan berpelukan seperti layaknya teman lama yang sudah lama tak bersua.

“Yuk, kita naik ke mobil,” dia membantuku membawa tas, masuk ke mobil SUV-nya. Aku menatap wajahnya dalam-dalam; tidak percaya bertemu dengannya. Sudah 3 tahun lebih aku tidak bertemu, dan tidak banyak yang berubah. Dia tetap seperti dulu, ramah dan sederhana. Hanya saja kali ini wajahnya kelihatan berseri-seri. Mungkin dia memang sudah menanti-nanti kedatanganku. Begitulah harapku.

“Gimana, perjalanan tadi? Kamu pasti capek ya. Mau jalan-jalan dulu atau langsung melihat rumah dan tempat kerjaku?” tanyanya. Aku sedikit gugup.

“Ehmm, boleh kita jalan-jalan dulu, sekalian pengen beli oleh-oleh,” ujarku tersenyum. Kami mampir ke tempat oleh-oleh khas Kalimantan. Dia membelikan sejumlah cendera mata.

Dan kami sempatkan berjalan keliling kota Balikpapan hari itu; sambil menyusuri pantai, menyantap hidangan laut, dan ngobrol. Akhirnya kami tiba di kediamannya yang asri, dan di sana sudah ada rangkaian bunga untuk menyambut kedatanganku. Aku tidak pernah menyangka  dia seromantis itu. “Welcome to Balikpapan” sebaris ucapan di kartu. Ah sungguh manis.

“Itu untuk kamu,” dia tersenyum.

Aku tertanya-tanya di dalam hati apakah dia menyukaiku, atau hanya bermain-main. Semacam harapan dan keraguan muncul bersamaan karena selama kurang lebih 3 tahun aku mengalami masa-masa kesepian. Kisah percintaanku tidak pernah lama dan selalu kandas tak berbekas dan aku belum menemukan lelaki yang pas di hatiku. Apakah dia yang akan mengisi hari-hariku nanti?

Kuhapus semua angan-anganku, kembali menatap bunga sedap malam itu dan mencium wanginya.

“Kamu suka?” tanyanya.
“Oh, tentu saja, terima kasih ya.”

Dia berjalan mendekati aku, memeluk, mencium pipi kiri dan kanan. Aku tertegun, pipiku memerah. Ada rasa bahagia dan juga kacau balau dengan sejumlah pertanyaan kembali mengambang. Kusingkirkan percampuran suasana hati dan kesadaran akalku. Lebih baik kunikmati keriangan dan keringanan dari obrolan kami berdua. Kami duduk di sofa dan bercerita banyak. Sudah lama tak berjumpa dan ringannya hatiku membuatku bercerita tentang semua yang kualami selama bertahun-tahun. Dia menepuk-nepuk pundakku.

Aku kembali bahagia dan sekaligus kacau balau. Ada sedikit kerinduan di hati. Matanya berbinar menatapku dalam-dalam, membuatku salah tingkah. Apakah aku sedang jatuh cinta? Aku memang sempat terpesona melihatnya ketika dia menjemput di bandara pagi tadi.

Kami mengobrol lepas dan tak terasa tibanya sore hari, yasng masih tetap indah. Dia ingin mengenalkan teman lelaki yang berkunjung ke rumahnya. Dia sempat bertanya; “aku bilang apa ya ke dia. Oh, ya, aku ingin mengenalkan kamu sebagai my fiancée,” ujarnya santai.

Mungkin dia bercanda, dan aku hanya tersenyum. “Terserah kamu.”

Dia kemudian pergi dan datang dengan temannya. Kami bertiga menghabiskan sore itu dengan lepas. Minum kopi sambil menatap indahnya pantai yang mengelilingi rumahnya. Ngobrol ke sana ke mari, banyak senyum yang memenuhi udara di atas kami.

Waktu itu, hari ulang tahunku masih beberapa hari lagi tapi kuputuskan untuk merayakan bersamanya. Aku segera harus kembali ke Jakarta dan aku ingin menambah keriangan di masa-masa bersama kami. Malam itu kami berdua makan malam di sebuah restoran Jepang untuk merayakan ulang tahunku, 4 hari lebih cepat. Aku merasakan tatapan matanya yang tajam memandangiku sepanjang makan malam itu.

Malam semakin jauh ketika kami pulang. Dia ke rumahnya dan aku ke hotel. Besok siang aku harus terbang kembali ke Jakarta.

Tapi malam itu aku tidak bisa tidur, gelisah membayangkan bahwa esok hari aku harus melepas kegembiraan bersamanya. Gelisah mereka-reka harapan dan keraguanku. Apakah memang dia menjadi pria yang akan mengisi detik-detik di hari depanku, atau dia hanya iseng. Tiba-tiba aku merasa sedih, akan berpisah ribuan kilometer walau sempat sirna ketika malam itu dia mengirmkan SMS selamat tidur. Aku tak mau selamat tidurnya hilang dan jatuh tertidur sambil menggenggam telepon genggam.

Keesokan harinya dia sudah menunggu di lobby hotel, siap mengantar ke bandara. Kami masih sempat makan siang sebelum akhirnya kembali berpelukan, mengucapkan selamat tinggal.

Pesawat lepas landas dan kutatap kembali riak-riak ombak Selat Makassar. Sebagian orang-orang mengatakan “spending a little good time sometimes worth a lot.” Aku baru saja membuktikannya.

Sejak itu kami rajin mengirimkan e-mail dan mencurahkan perasaan masing-masing. Jarak ribuan kilometer seakan tidak masalah. Kami sudah memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih.

Aku tahu dan juga sadar, seperti pengalaman percitaanku sebelumnya, bahwa kekasih tidaklah pasti menjadi getar-getar kegembiraan setiap detik. Tapi sudah tekadku mendatangkan semua yang indah, sama seperti awal perjumpaan kami, yang begitu indah.

Kutekadkan dan kuhadapi.
***
Jakarta, Januari 2008