Lanjutan kelicinan puluhan tahun Setya Novanto

Hanya sehari setelah Setya Novanto ditetapkan jadi tersangka kasus korupsi oleh KPK, Partai Golkar langsung menyatakan akan mendukung Presiden Joko Widodo untuk pemilihan presiden 2019. Dia juga tidak mundur, dari Ketua Umum Golkar dan Ketua DPR.

Ini baru Setya Novanto.
***

Nama Setya Novanto pertama kali saya dengar lebih 20-an tahun lalu. Waktu itu, masih masa Tempo sebelum bredel, seorang teman yang sering meliput ke Golkar mengambarkan dia sebagai orang dekat keluarga Suharto. ‘Dia ngurusin uang,” begitulah kata kawan itu.

Lebih dari 22 tahun berlalu, setiap nama Setyo Novanto muncul, citra ‘uang’ itu sudah melekat.
Pernah menjabat wakil bendahara -bisa dibayangkan betapa penting dan ‘basah’ posisi itu- dia naik jadi Bendahara Umum, Ketua Umum Golkar -partai terbesar kedua lewat Pemilu 2014- dan Ketua DPR di negara terbesar keempat dunia.

Dan perjalanannya kariernya itu dicapai penuh lika-liku, naik-turun. Jadi ketika ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi KTP elektronik oleh KPK, belum pasti bakal selesai. Memang selama ini, hanya segelintir tersangka KPK yang akhirnya bisa bebas.

Tapi tersangkanya Setya Novanto.

Politisi kawakan ini, menurut dakwaan jaksa KPK, mendapat jatah anggaran e-KTP sebesar Rp574,2 miliar atau 11% dari nilai total proyek e-KTP, yang mencapai hampir Rp6 triliun. “Oh man, setengah triliun…”
***

Kesaktian SN sudah dimulai ketika dia sempat terlibat kasus pengalihan hak piutang PT Bank Bali kepada Bank Dagang Negara tahun 1999, dengan kerguian negara ditaksir Rp900 miliar lebih. Dalam kasus itu, Bank Bali mentransfer dana Rp500 miliar kepada PT Era Giat Prima miliknya. Ini adalah masa-masa dia menjabat Bendahara Umum Partai Golkar, bisa diyakini itu bukan cuma untuk dia, dan penyidikan kasus itu belakangan di-SP3-kan atau dihentikan.

Bulan September 2015, sebagai Ketua DPR dia bertemu dengan Donald Trump yang sedang berkampanye untuk menjadi calon presiden Amerika Serikat. Usai pertemuan, SN –bersama kawan dekatnya, Fadli Zon, dari Partai Gerindra- diundang ke kampanye Trump. Berdiri di belakang Trump bersama para penggembira kubu Trump, dia kemudian diperkenalkan sebagai Ketua DPR Indonesia.

Mestinya ini tergolong pelanggaran etika serius -Ketua DPR dari negara keempat terbesar di dunia ‘jadi pendukung Donald Trump. Orang-orang heboh, media juga ramai memberitakan  tapi dia cuma kena sanksi ‘ecek-ecek’.

Mahkamah Kehormatan Dewan hanya memberi teguran. Kenapa? Karena SN menjawab ‘yes, highly’ ketika Trump bertanya kepadanya di depan umum: ‘Apakah orang Indonesia suka Trump?’

Lolos dari urusan Trump, dia terkena kasus yang dikenal dengan istilah ‘Papa Minta Saham’. Menteri ESDM, Sudirman Said, mengungkap rekaman pembicaraan antara Maroef Sjamsoeddin, Setya Novanto dan pengusaha Muhammad Riza Chalid. Setya waktu itu minta 11% saham Freeport dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo.

Heboh lagi.  MKD bersidang, tapi soalnya lebih ke legalitas rekaman sebagai barang bukti. Mutar-mutar tak terlalu jelas.

Dalam satu perjalanan petang hari ke Bintaro, saya dengan seorang kawan akrab membahas kasus itu dan kami berdua sepakat tekanan sudah terlalu berat dan SN bakal mundur dari Ketua DPR.

Tapi diperlukan kemarahan Presiden Jokowi, yang tidak biasanya, diungkapkan di depan umum.  

“Saya gak apa-apa dikatain presiden gila, presiden sarap, presiden koppig (keras kepala). Ndak apa-apa. ‎Tapi kalau sudah menyangkut wibawa mencatut meminta saham 11 persen itu yang saya gak mau! Gak bisa,” kata Jokowi dengan suara tinggi, pada pekan pertama Desember 2015.

Sepekan lebih kemudian Setya Novanto mundur dari jabatan Ketua DPR. Seolah-olah bakal hancur, dia juga dipanggil Kejaksaan Agung untuk diperiksa dalam kasus ‘permufakatan jahat’. Tapi kasus itu mengendap tak jelas.

Cuma namanya juga Setya Novanto.
***

Tak sampai setahun, Setya Novanto kembali ke kursi Ketua DPR. Alasan resminya, MK mengabulkan gugatan SN bahwa penyadapan hanya bisa dilakukan oleh penegak hukum. Pada 30 November 2016, dia pun kemudian direhabilitasi.

Sepekan sebelum balik menjabat Ketua DPR, dia makan sore di Istana Negara bersama Presiden Joko Widodo, yang dulu marah-marah karena ‘kelembagaan presiden’ dicatut untuk minta saham Freeport.  Makan sore bersama inilah semacam stempel dukungan Jokowi atas SN untuk kembali memimpin DPR. Dan memang tak ada rintangan bagi SN di DPR.

Dukungan itu adalah bayaran untuk dukungan Golkar atas Presiden Joko Wiodo. Bulan Mei tahun 2016, Jokowi membukat Munas Luar Biasa di Nusa Dua, Bali. Waktu itu SN menyatakan dukungan Golkar untuk Jokowi dalam pilpres 2019 mendatang.

Dan sehari dinyatakan tersangka oleh KPK, Golkar menegaskan kembali dukungan tersebut.

Ini memang Setya Novanto tulen.
***

Jelas banyak kalkulasi politik dari kubu Presiden Joko Widodo. Kekalahan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Pilkada DKI Jakarta, April lalu, bakal membuat para pendukung setia Jokowi tidak akan mengulang ‘kesalahan’ yang sama. Apapun akan dilakukan oleh kubu Jokowi agar terpilih kembali tahun 2019 nanti, terlepas dari apapun motif untuk kemenangan itu –dari menjamin kelangsungan pemerintahan bersih, kesinambungan pembangungan prasarana, maupun kelanggengan jabatan para relawan.

Ketika Pansus DPR untuk Hak Angket semakin menggila dalam manuvernya untuk melemakan KPK, muncul tekanan agar Presiden Joko Widodo menyatakan sikap yang tegas mendukung KPK. Akhirnya pernyataan itu ke luar, ‘mendukung KPK yang kuat’ tapi tak sampai mengkritik Pansus Angket yang –bayangkan betapa kacaunya logikanya- bertemu dengan para terpidana koruptor untuk meminta masukan tentang KPK.

Pansus DPR itu sendiri terbentuk setelah salah seorang tersangka kasus e-KTP, Miryam S Haryani, menyebutkan keterlibatan SN dan beberapa angota DPR lainnya. Karena KPK menolak mengungkap pemeriksaan atas Miryam, maka DPR memilih berupaya memperlemah KPK dengan Pansus Hak Angket.

Upaya yang ternyata tidak atau belum melemahkan KPK, yang tetap saja menetapkan SN sebagai tersangka.

Itu tadi, namanya juga Setya Novanto.
***

Sejauh ini hanya segelintir tersangka saja yang bisa lolos dari KPK, salah satunya adalah Komjen Polisi Budi Gunawan. Dalam kasus tingkat tinggi itu,Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto,yang terlempar sedang Komjen Budi Gunawan gagal jadi Kapolri tapi tak sempat diperiksa. Ganti pimpinan KPK, kasusnya menjadi tak jelas.

Setya Novanto mungkin tak akan mampu menggeser pimpinan KPK saat ini, Agus Rahardjo, yang mengumumkan langsung penetapan SN sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP. Cuma melihat rekam jejak SN selama ini, dan manuver mendukung Jokowi untuk terpilih kembali di Pilpres 2019, suka tidak suka ada peluang dia bakal lolos.

Sekitar tiga pekan lalu, seorang kenalan -sesepuh komunitas+- dari Jakarta berkunjung ke London. Kami ngobrol sana-sini, membahas banyak hal. Salah satu sarannya, yang saya patuhi, jangan terlalu keras mengkritik Presiden Joko Widodo karena kita sedang menghadapi para pengusaha hitam.

Saya masih ingat sarannya, cuma sekarang jadi tertanya-tanya ‘apa gunanya presiden bersih sementara pengusaha hitam yang berkuasa’.

Tapi langsung saya jawab sendiri pula –karena patuh pada saran kenalan tadi- mana mungkin lima tahun bisa membereskan di Indonesia: puluhan tahun saja belum bisa membereskan seorang Setya Novanto.
***