Teheran Dalam Stoples

12. Kingkong
Aku berada di tengah tanah lapang yang berdebu, duduk di atas ayunan membunuh jam istirahat. Khafsah sedang bermain kelereng dengan teman-teman lain dan aku sedang ingin bermalasan di atas ayunan. Siang tengah hari itu cukup terik walau hembusan angin cukup mendinginkan cuaca, dan aku merasa agak ngantuk, apalagi terayun-ayun dan tak banyak suara bising di sekitar ayunan.

Tiba-tiba beberapa anak perempuan dari kelas lain datang mendekat. Mungkin mereka juga ingin main ayunan, tapi aku belum lama di atas ayunan. Jadi kubiarkan mereka menunggu. Sambil berdiri di depan ayunan,  mereka menatap tajam ke arahku. Cara berdiri mereka tegang dengan mulut tertutup rapat. Aku merasa terganggu walau tidak mau begitu saja menyerah pada terror yang mereka sebar.

Kuhitung, mereka berlima. Kugoyang ayunan agak kencang untuk melawan tatapan sinis kelimanya. Mereka jelas memberi isyarat untuk mengusirku, bukan hanya dari ayunan yang sedang kunaiki, juga bukan dari halaman sekolah, atau dari kota Teheran. Tatapan sinis mereka mengirimkan pukulan untuk mengusirku ke luar dari negara mereka, menjauh dari kehidupan mereka agar aku kembali ke tempat asalku, yang tak pernah mereka ketahui dan tak ingin mereka ketahui.

Bukan hanya kulitku yang lebih gelap, tapi juga mataku tidak sebulat mereka. Aku juga tahu kalau wajahku tidak selonjong mereka. Aku bahkan berani mengakui bahwa aku tidak secantik mereka, tapi jelas kecantikan tidak cukup menjadi alasan untuk mengusir seseorang dari ayunan. Aku tahu kapan aku berhenti dari ayunan ini untuk berbagi dengan orang lain. Ayah, ibu, mengajarkan untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri. Dan keduanya bukan hanya mengajarkan tapi juga memberi contoh-contoh langsung.

Kelima anak perempuan itu tetap berdiri tanpa berkata apa pun. Kulihat beberapa anak perempuan lain mendekat ke arah ayunan, seperti sedang menanti sesuatu yang akan terjadi. Aku merasa semakin tidak nyaman jadi aku hentikan ayunan dan melihat ada celah di sebelah kiri antara kelima anak perempuan itu dengan kerumunan para penonton.

Kukuatkan hati dan berjalan ke arah celah untuk keluar dari lingkaran yang secara sengaja mereka bentuk. Walau aku tak melihat ke arah mereka, bisa kurasakan pandangan sinis mereka terus menikamku.

“Dasar budak Afghan,” kata seseorang ketika aku melewati celah itu.

Aku otomatis terhenti dan melihat ke arah sumber suara; seorang anak perempuan besar. Dia lebih tinggi dan lebih gemuk dari aku dan juga dibanding anak-anak yang lain.

Kufokuskan pandanganku ke arah kedua matanya. Pandangan yang dingin namun berani.
“Aku bukan orang Afghan.”

Dia malah mendekat. Ia membalas tatapanku lebih tajam lagi, mengirimkan kebencian. Aku membayangkan ummu yang sedang berdiri diam terpaku di depan ayahnya. Dan aku mau seperti ummu, tidak hanya terpaku begitu saja sampai mati. Anak perempuan di depanku ini agaknya merasa seperti sedang berkata kepada seluruh dunia dan menasbikah diri sebagai mahluk yang tak pernah salah. Anak perempuan angkuh. Dia kemudian mengisi ruang hening di antara kami berdua.

“Kau orang Afghan. Lihatlah kulit dan juga wajahmu. Kau tak seperti kami.”
“Kau juga tak seperti temanmu. Tubuhmu gendut.”
Kudengar tawa kecil dari sekitar kami. Muka anak perempuan itu memerah.
“Apaaaa?” teriaknya dengan suara yang lantang. Dia sepertinya sudah sama sekali kehilangan kesadaran. Aku malah semakin tenang karena merasa lebih gampang menghadapi orang yang sudah sama sekali tidak bisa mengendalikan diri.
“Iya, kau baru tahu kalau kau gendut. Di mana kau selama ini?”

Prakkk. Ia menamparku.

Terkejut dan reflexku menangkap tangan kanan yang menampar tadi dan menggigitnya di bagian pergelangan. Dia mencoba menarik, tapi gigitanku yang cukup kuat membuat dia menjadi melemah.

“Aduh… dasar anak anjing!” hardiknya keras. Aku melepaskan gigitanku, merasa sudah cukup memberi balasan  yang seimbang.

Namun kemarahannya sepertinya meningkat. Dengan tangannya yang besar dia malah mendorongku dan ketika aku hampir tejatuh, dijambaknya rambutku. Aku tak menyangka dia masih akan menyerangku dan untuk mengurangi rasa sakit maka kubiarkan kepalaku ikut tertarik. Kulihat lengannya yang besar dan karena kulitnya yang cukup gelap jadi tampak seperti tangan kingkong. Kutahan rasa sakit, agar tak terlihat lemah di hadapannya dan di hadapan anak-anak perempuan lain. Beberapa aku dengar berkomentar: “biar dia tahu siapa kita,” kata salah seorang dari kompolotannya yang tadi menatap sinis kepadaku.

Terdengar juga tawa-tawa kecil yang sepertinya gembira mendapatkan tontonan gratis yang tidak biasa di lapangan sekolah.

“Sakitkan?”
“Tidak kingkong,” kuatur suaraku senormal mungkin menyembunyikan rasa sakit.

Dia malah terdiam dan tak mengerti apa kukatakan. Kurasakan jambakannya melemah, mungkin karena bingung. 

“Kau bodoh, kau kingkong besar yang bodoh,” tegasku pelan dan jelas dengan setengah berteriak agar dia mengerti.

Dan ya dia mengerti. Dicengkram rambutku semakin kuat. Aku tak tahan lagi, dan berteriak meminta tolong. Aku butuh pertolongan tapi tak akan kudapat dari kerumunan anak-anak perempuan yang hanya menonton. Mereka tertawa dan sambil ngobrol, ada yang setuju kalau aku orang Afghan dan ada yang malah mengatakan aku dari Afrika. Ada juga yang menyarankan supaya si kingkong menarik rambutku lebih keras lagi

Tiba-tiba Khafsah menyeruak dari antara kerumunan dan mencengkram tangan kingkong sambil meludah ke mukanya. Kingkong terkejut dan mundur ke belakang. Aku jatuh terduduk, menahan sisa-sisa rasa sakit.

Walau badan Khafsah jauh lebih kecil, dia malah mendekati kingkong dan menendang tulang keringnya. Kingkong kesakitan mengangkat kakinya dan Khafsah meludahi dia lagi, tepat di dahi antara kedua matanya. “Kawanku bukan orang Afghan,” tegasnya. Khafsah kemudian memandangi semua anak perempuan yang mengerubuti kami dan mengulang, “Kawanku bukan orang Afghan.”

Semua diam tak ada yang berani menimpali Khafsah dan beberapa anak perempuan mulai pergi. Keempat teman kingkong tadi juga diam saja. 

Tapi kingkong semakin memuncak marahnya. Dia memukul punggung Khfasah dari belakng. Aku masih terduduk, antara kaget dan juga menahan rasa sakit. Kusaksikan kingkong sedang berkelahi dengan kera. Yang besar dan kuat melawan yang kecil dan lincah.

Berbalik dengan cepat, Khafsah menjambak rambutnya dan memegang leher kingkong dari belakang. Kingkong menendang-nendang tidak terkendali dan hanya mengenai udara hampa, sementara Khafsah seperti mengendalikan dia sepenuhnya. Memutar badan kingkong semaunya. Melihat Khahsaf yang begitu lincah dan berani, semangatku bangkit lagi dan aku berdiri.

“Ayooo Khafsah, kalahkan kingkong ini.”

Sambil tetap menjambak rambut kingkong dan memegang batang lehernya, Khafsah makah sempat tersenyum melihatku. Ia lalu berbalik sedikit berjoget dengan mengoyangkan pantatnya meledek kingkong yang kelelahan.

Tiba-tiba Khafsah tampak terkejut dan melepaskan jambakan. Aku cemas karena kingkong pasti akan membalas lagi dan memang begitu terlepas dari jambakan Khafsah, dia merasa mendapat kesempatan untuk menyerang balik.

Dia berlari dengan mata merah penuh kemarahan ingin mencengkram Khafsah, namun Khafsah dengan lincah mengelak. Kingkong berbalik, ingin menyerang lagi namun terhenti.

Seorang guru sudah berdiri di hadapan kami. Bertiga kami terdiam. Anak-anak perempuan lain bubar dengan cepat. Tinggal kami bertiga dengan guru berbalut kain hitam yang menatap kami satu per satu tanpa suara. Aku tidak pernah melihat guru ini, tapi aku bisa merasakan auranya yang kuat. Dia seorang guru yang berwibawa. Aku yakin tak aka nada murid yang berani melawanya.

Tak sadar aku mundur selangkah ke belakang dan bergeser sedikit ke kanan seperti bersembunyi di balik tubuh Khafsah yang lebih kecil yang pasti tak bisa menutup keberadaanku.

Kingkong tampak agak gemetar, sepertinya dia sudah mengenal guru yang berada di hadapan kami.

“Anak penjual naan yang memulai.”
Kingkong bukan hanya bodoh tapi juga tukang fitnah, gerutuku dalam hati.

“Benarkah itu?” tanyanya kepada kami berdua
“Tidak,” jawabku spontan dan bergeser kembali ke kiri, ke luar dari balik badan Khafsah, yang diam membatu. Aku tahu Khafsah ketakutan, bukan kepada guru saja tapi lebih kepada ibunya di rumah. Mengenal ibu Khafsah yang tidak ingin putrinya hanya belajar dengan baik tanpa terlibat apa pun, aku bisa memahami ketakutan Khafsah.

Guru itu menatapku, dan tersenyum kecil. Mungkin dia tahu siapa aku: putri dari seorang ahli asing yang bekerja di sebuah perusahaan minyak internasional, yang memiliki mobil, supir, dan pembantu. Dia mungkin sadar sedang berhadapan dengan anak dari keluarga yang paling kaya di sekolahnya. Dikembalikannya tatapan ke arah Khafsah.

“Kau, kenapa kau berkelahi?”
“Karena membelaku,” potongku lagi. “Kingkong itu menjambakku.”
“Kingkong…” tanyanya heran.
“Ya… kingkong itu menyebutku Afghan,” aku semakin percaya diri sementara kingkong tampak semakin menyusut karena kebenaran terungkap perlahan-lahan.

Ibu guru itu menatapku kembali, kali ini tanpa senyum. Dia tidak mengatakan apapun selain memerintahkan kami bertiga mengikutinya. Kami masuk ke ruang guru dan disuruh berdiri di pojok ruangan menghadap ke dinding. Ketika masuk ke dalam ruangan, aku mencari ummu dengan ekor mataku, tapi dia tidak ada, sudah kembali ke kelas kami. Pasti dia mencari-cari aku dan Khafsah, dan apakah dia akan kecewa kalau mengetahui perkelahian dekat ayunan atau justru dia bangga jika mendengar kisah yang sebenarnya.

Aku tak tahu berapa lama kami dihukum berdiri. Kakiku sudah mulai sakit mengeras sedang kepalaku terasa berdenyut-denyut, campuran dari sisa jambakan dan keterkejutan serta kelelahan. Setelah lonceng pulang sekolah berbunyi, kami disuruh membersihkan ruang guru.

Aku melihat ummu pulang seolah-olah tidak mengenal aku dan Khfasah.

Guru berbalut kain hitam menunggu kami sambil menulis di mejanya. Aku sempat khawatir Ibu dan Ali akan menunggu lama, apalagi kalau Ghazali ikut. Guru yang menghukum kami sepertinya tidak perduli. Kukumpulkan keberanianku untuk mendekat ke mejanya.

“Ibu saya menunggu di luar, apakah saya boleh memberi tahu kalau saya pulang terlambat,” tanyaku.
“Kamu pulang sendirian. Saya sudah berbicara dengan ibumu,” katanya datar tanpa mengangkat matanya dan meneruskan pekerjaannya.

Kulanjutkan membereskan meja guru yang lain satu per satu. Khafsah menyapu, sedang kingkong kuintip cuma menggeser-geser buku dengan lamban di meja salah seorang guru tanpa bergerak ke meja lainnya. Kingkong yang bodoh, pemfitnah, dan pemalas, gerutuku.
Kami bertiga diam tak bersuara, juga ibu guru itu.

Setelah semua meja kubereskan –selain meja yang dipegang kingkong- aku mendekati Khafsah yang berdiri di pojok karena sudah selesai menyapu. Kami berpandangan: aku bingung dan Khafsah cemas. Saatnya aku memimpin, kutarik pelan tangannyan. Kami berjalan ke arah meja guru, aku di depan sedang Khafsah yang kali ini setengan bersembunyi di balik badanku.

“Kami sudah selesai bu.”

Kali ini dia mengangkat matanya dan memanggil kingkong: “Fatimah.” Akhirnya  kingkong yang bodoh, pemfitnah, dan pemalas punya nama juga.

“Saya tidak mau ada perkelahian lagi. Jika ada, akan saya beritahu kepada orang tua kalian,” katanya singkat dan menunjuk ke pintu ke luar. Aku lega, bukan karena takut pada ibu tapi lebih pada nasib Khafsah. Cepat kutarik lengan Khafsah dan setengah bergegas kami ke luar dari ruang guru. Sesampainya lapangan sekolah kami berlari secepat mungkin ke luar gerbang.

Begitu di jalanan, kami berpegangan tangan. Walau hening tak bersuara sama sekali, aku sepertinya mendengarkan hati kami berdua sedang berbicara. Dua orang sahabat yang saling membantu sedang berbicara dari hati ke hati tanpa menggunakan mulut dan akal.

Kusempatkan melihat ke belakang dan aku tak melihat Fatimah ke luar dari gerbang sekolah. Apakah dia masih tetap berada di ruang guru? Tak kuupayakan untuk mencari jawabannya. Berjalan berdua dengan hati lega dan penuh kemenangan bersama Khafsah membuat rasa sakit di kaki dan denyut di kepala menghilang total.

Baru saja aku menikmati kelegaan, tiga berandalan yang dulu pernah menyakiti Ali terlihat di depan. Mereka berdiri seperti menutup kaki lima di depan kami. Debaran jantungku mengeras dan rasa lelah muncul. Aku sepertinya tak kuat lagi untuk menghadapi perkelahian lain, tapi ketiga anak berandalan di depan itu jelas tak akan aku biarkan seenaknya merendahkan aku dan Khafsah. Dengan sisa-sisa tenaga akau kulawan mreeka.

Kahfsah terasa memelankan langahnya. Kubalas tatapan mereka sambil ikut memelankan jalan. Aku mengarah ke arah ruang tersisa di sebelah kiri si kribo. Aku tidak akan memperdulikan jika mereka mengejek tapi akan membalas jika mereka memulai memukul atau menjambak. Serangan lisan akan kubiarkan tapi serangan fisik akan kubalas, tekadku di dalam hati. Semakin dekat, terasa debaran jantungku semakin besar. Aku tidak takut, tapi siang itu emosi dan energiku rasanya sudah habis terkuras.

Semakin mendekat aku terus menatap mereka, tapi sorot mata kribo dan temannya tidak negatif, amat berbeda dengan mata kingkong dan keempat temanya ketika aku berada di ayunan. Juga berbeda dibanding ketika aku pertama kali bertemu mereka. Maka kulembutkan tatapan mataku walau tetap mengarah kea rah ketiganya. 

Kribo kemudian bergeser ketika kami sudah tiba di celah ruang kosong. Aku agak heran, tapi kuteruskan berjalan seolah-olah tidak ada yang terjadi. Khafsah hanya mengikut dari belakang sambil memegang tanganku. Setelah beberapa meter, aku berbalik melihat ketiga anak berandalan itu. Mereka masih menatapku, sama seperti tadi: bukan tatapan yang bermusuhan.
Aku tersenyum dan kupegang erat tangan Khafsah. Dia juga tersenyum. Kami berpisah di persimpangan dan masing-masing berlari ke arah tujuanya.

Setibanya di rumah, ibu menyambut tersenyum riang.
“Kenapa tidak bilang ibu kalau kamu dapat giliran membersihkan ruang guru hari ini.”
“Lupa ibu, tapi kata bu guru dia sudah mengatakan kepada ibu.”
“Ya, setelah ibu di sana. Tak mengapa. Tentu kamu membersihkan ruang itu dengan rapi kan?”
“Ya bu,” dan aku langsung naik ke atas dan masuk ke dalam kamar. Di depan cermin aku perhatikan bagian rambut yang tadi dijambak si kingkong. Tak ada bekasnya dan rasa sakit juga sudah hilang sama sekali. Bagaimana dengan bekas gigitanku di tangannya, apakah masih ada atau sudah hilang juga? Tiba-tiba aku teringat bahwa aku menggigit tangan kingkong dan aku segera menggosok gigi.

Aku lega, guru tadi tidak memberitahukan soal perkelahian di sekolah kepada ibu sehingga Khafasah juga pasti selamat dari kemarahan ibunya, biarpun dia sebenarnya melalukan hal yang terpuji.

Ingin rasanya menceritakan keberanian dan kelincahan Khafsah kepada ayah, tapi mungkin biar saja kusimpan dulu dan suatu kelak bukan hanya kepada ayah dan ibu saja kusampaikan kisah keberanian sahabatku itu. Pada suat hari nanti akan aku sebarkan kisah itu ke seluruh jagat raya, termasuk tentang kebodohan dan kemalasan Fatimah.

Belakangan aku tahu guru yang rupanya wakil kepala sekolah itu adalah bibi langsung Fatimah.  Aku tertanya-tanya seandainya kalau yang memulai perkelahian bukan keponakannya apakah akan mendapat hukuman yang lebih keras. Entahlah, aku tak bisa menjawabnya langsung selain menduga: bahwa aku yang menjadi korban dan seseorang yang berniat tulus membantu seorang korban kekerasan justru mendapat hukuman yang sama dengan si pelaku kekerasan.
***
bersambung