Dokter Zhivago

Boris Pasternak (alih bahasa Trisno Sumardjo), disalin dari terbitan Djambatan, Maret 1960.

Selama ia duduk di kereta api, bagi Yury seolah hanya kereta api yang berjalan, seolah waktu berhenti dan hari masih tengah siang saja.

Tapi sebetulanya sudah sore benar, keritka keretanya jalan pelan-pelan dari stasiun ke tengah khalayak ramai di Pelataran Smolensky.

Entah bagaimana sebenarnya, ataupun ingatan Yury teruruk oleh pengalaman dari tahun-tahun lainnya, tapi sewaktu ia kelak mengenangkannya kembali ia merasa bahwa khlayaka itu berkerumun di pasar hanyalah karena kebiasaan belaka, bahwa sudah tak ada alasan untuk berda di sana, sebab toko-toko di selubungi , bahkan tak dikunci , dan tak ada lagi yang dapat dibeli atau dijual dipelataran kotor yang tak ada orang menyapanya lagi.

Dan seolah telah dilihatnya lelaki perempuan tua, kurus, berpakaian patut, meringkuk di pinggir tembok-tembok yang berdiri bagai kecaman bisu kepada orang-orang yang lewat, sambil menawarkan apa yang tak diperlukan orang –bunga-bunga bikinan saringan kopi dengan tutup kaca dan peluit, pakaian malam dari tule hitam serta pakaian seragam dari kantor-kantor yang telah ditutup.

Mereka yang lebih sederhana, berdagang barang-barang yang lebih berfaedah, remah-remah runcing dari roti rangsuman yang hitam dan lohok, gelintiran gula kotor dan bungkusan tembakau kasar dari satu on yang dipotong separuh, tepat di atas etiket.

Sampai keji ini berkeliling di seluruh pasar, harganya naik tiap kali berganti tangan.

Kereta berbelok ke jalan cabang, Matahari yang sedang tenggelam ada di belakang. Di depan mereka seekor kuda berderap-derap, menarik kereta beban kosong yang memlonjak-lonjak. Ditimbulkannya semprotan-semprotan debu yang menyala dalam cahaya senja.

Akhirnya mereka mengejarnya, lalu berjalan lebih cepat. Yury heran melihat banyaknya surat kabar dan poster tua yang disobek dari tembok dan pagar, mengotori jalanan. Angin meniupnya ke satu arah, sedangkan kaki kuda, roda dan kaki manusia menyeretnya ke arah lain.

Mereka lewati beberapa simpangan di jalan dan nampaklah rumah Yury di pojok dua jalan cabang. Keretapun berhenti.

Yury menahan nafas, hatinya memukul bagai palu waktu ia ke luar, berjalan ke pintu depan, lantas membunyikan bel di dinding. Tak ada apa-apa. Ia mengebel lagi. Karena masih belum ada jawaban, iapun terus mengebel dengan selingan pendek-pendek, penuh gairah. Ia masih mengebel, ketika dilihatnya pintu dibuka Tonya yang berdiri untuk menahan pintu agar tetap terbuka. Hal yang tak tersangka-sangka ini membuat kedua-duanya bisu, hingga yang satu tak mendengar lainnya berseru. Tapi karena pintu yang tetap dibuka lebar oleh Tonya itu dengan sendirinya mengucap selamat datang dan hampir merupakan pelukan, merekapun segera sadar kembali dan berangkul-rangkulan. Sesaat kemudian keduanya bicara sekaligus.

“Pertama-tama, semua orang baik-baik saja?”
“Ya, ya jangan kuatir. Semua beres. Kutulis padamu banyak hal yang bukan-bukan, maaflah. Tapi kelak saja kita bicarakan itu. Mengapa tak berkirim telegram? Markel akan membawa barang-barangmu ke atas. Kuduga engkau kuatir, waktu Yegorovna tak membuka pindu. Dia ke dusun.”
“Kau lebih kurus. Tapi alangkah muda, dan manis pula! Tunggu sebentar, kubayar kereta.”

Yegorovna pergi mencari tepung. Semua bujang lainnya sudah disuruh pergi. Sekarang hanya tinggal seorang gadis, Nyusha, belum kau kenal, ia menjaga Sasha; tak ada oranglain. Tiap orang sudah diberi tahu, kau akan datang, semua ingin bertemu kau, Gordon, Dudorov, tiap mereka.

“Sasha apa kabarnya?”
“Berkat Tuhan baik. Ia baru bangun. Kalau kau tidak baru datang dari kereta api, sedang ada typhus dimana-mana, kita boleh segera melihatnya.
“Ayah di rumah?”
“Tak ada yang menulis padamu? Ia di dewan kota dari pagi sampai malam, ia ketuanya. Ya percayalah! Kereta suda dibayar? Markel! Markel!”

Mereka berdiri di tengah jalan dengan kopor kayu dan tas Yury yang merintangi jalan; orang-orang yang lewatpun berhenti dan melihat mereka dari kepala sampai kaki, memandangi kereta yang sedang melepaskan diri dari tepi trotoar serta pintu depan yang terbuka lebar, guna menyaksikan apa akan terjadi.

Tapi Markel dengan rompi di atas kemeja kapasnya dan dengan pil jurukunci di tangan, sedang lari dari gerbang untuk menyambut majikan mudanya, sambil berseru-seru :

“Allah Yang Maha Kuasa, itulah Yurochka! Wah itulah buah hati kita sendiri! Yury Andreyevich, cahaya mataku, jadi tak kamu lupakan kami, kami yang tiap hari berdoa untukmu! Kamu hormati kamu, kamu pulang! Kalian mau apa?” tukasnya pada para penonton. “Apa yang luar biasa? Enyah! Mengapa melotot?”
“Apa kabar Markel!?” Yury memeluknya. “Pakailah picimu, keledai. Apa kabar? Bagaimana istrimu? Dan anak-anak?”
“Bagaimana lagi? Mereka tumbuh, berkah Ilahi. Soal kabar dapat kamu lihat sendiri, sewaktu kamu pergi berbuat yang jaya, kamipun sibuk. Semua kacau melarat, setanpun tak mampu memilih, jalanan kotor, atap tiris, perut kosong macam di bulan Puasa, dan semua ini tanpa anexasi atau pajak.”*
“Aku keluhkan pada Yury Andreyevich tentang kau, Markel Yurochka, ia selalu begitu. Aku tak betah omong kosong macam itu. Semuanya untuk kepentinganmu, disangkanya kau suka itu, akibat merekalah ia setajam itu. Baik, baiklah, Markel, jangan berbantahan denganku, kukenal kau. Kau tak dikenal orang, Markel. SUdah waktunya kau belajar berpikir sehat sedikit. Jangan membual pada kami, seolah kami tukang warung!”

Merekapun masuk. Markel mengangkut bayrang-barang Yury ke dalam, mengunci pintu depan di belakangnya dan bicara lagi secara akrab.

“Antonina Alexandrovna marah, kamu dengar ucapannya. Selalu begitu. Katanya, batinmu hitam melulu. Markel, macam pipa perapian ini. Sekarang, ujarnya, tiap anak kecil barangkali bahkan tiap monyet atau anjing timangan tahu apa soalnya. Itu tentu benar, tapi meskipun begitu, Yurochka, percaya atau tidak, orang yang tahu telah melihat buku itu, buku Tukang Batu** seratus empat puluh tahun buku itu letaknya di bawah batu, tapi sekarang –inilah pendapatuku yang sudah kupertimbangkan Yurochka– kami telah kena tipu. Tapi aku tak boleh omong; lihatlah Antonina Alexandrovna geleng-geleng kepala kepadaku.”
“Tak heran. Cukup Markel. Letakkan barang-barang itu dan sekian sajalah, Kalau Yury Andreyevich perlu apa-apa, ia akan memanggilmu.

***
*Damai tanpa anexasi atau pajak adalah semboyan kaum sosialis kiri
** Buku Tukang Batu, yakni Para Protokol Kaum Tua-tua Zion.