Parodi Surat Pembaca – Imron Supriyadi

Budi, salah seorang wartawan teman dekatku di Palembang, tiba-tiba uring-uringan. Dari wajahnya, sepertinya, kawanku itu benar-benar marah. Sekalipun gaya marah Budi memang tidak seperti marahnya seorang redaktur kepada Kepala Humas, yang lalai memberi amplop seusai jumpa pers. Marahnya Budi biasanya terlihat biasa-biasa saja, sama seperti marah-marah sebelumnya.

Semula, aku tidak mau tahu dengan sikap Budi. Aku tahu persis cara marah Budi. Paling-paling beberapa menit. Sudah itu sudah. Menit ini kesal, maka beberapa menit kemudian sudah kembali normal. Seperti marahnya orang yang antri di depan WC hanya lantaran kebelet buang air besar. Marahnya hanya ketika menahan ledakan bom isi perut saja. Setelah dapat giliran, maka sekeluarnya dari WC pasti akan lebih ramah.

Tapi aku merasa marahnya Budi terasa agak lain. Biasanya dia marah meledak-ledak, mencaci-maki, membanting pintu, menghantam meja, tapi matanya tetap lembut mengalirkan kesegaran hidup. Kali ini sorot matanya memerah dan amat tajam menusuk ke ulu hati orang-orang, dan dia juga lebih banyak diam daripada mencaci-maki. Dia menutup pintu seperti biasa, dia menggeser kursi seperti seorang pembersih yang mau menyapu kolong meja, dia juga tak banyak cakap seperti biasanya. Terus aku sempat pula mendengar dia menyatakan ”aku sedang marah,” dan bukannya mencaci maki sumber kemarahan.

Aku yakin ini marah serius, dan aku yakin dia bisa mencabik-cabik jantung dan hati si sumber kemarahan dengan matanya yang tajam dan liar itu. Jadi aku harus mencari tahu sumber kekesalan Budi -sekaligus mencegah sebuah pembunuhan dan mencegah Budi menghabiskan tahun-tahunnya di penjara. Mataku tertancap pada sebuah nama Budi di dalam kolom surat pembaca, lengkap dengan identitasnya. Dari gaya bahasanya, aku makin yakin komentar itu kiriman Budi, teman dekatku itu.

Aku tercenung heran. Gaya bahasa sebagus itu kok masuk dalam surat pembaca. Isinya pun bagus, menurutku. Ia menyimpulkan konflik politik antara DPR dan Presiden dengan menohok. “Era euphoria yang ditinggalkan kepemimpinan Habibie benar-benar cuma menjadi wajah dari praktek demokrasi jaman city-state orang-orang Yunani pada abad ke lima Sebelum Masehi. Bedanya orang Yunani berdebat untuk kepentingan rakyat, sedang di Indonesia, di abad 21, legislatif dan eksekutif berdebat hanya untuk berdebat. Tak ada yang substantif, atau tepatnya asal omong keras…” begitulah salah satu paragrafnya. Aku bingung ; masak sih Budi serendah itu menghargai tulisannya –yang cukup lumayan bagus– jadi surat pembaca. Bukannya surat pembaca tak bernilai, tapi jelas motif surat pembaca lebih pribadi, sedangkan dalam tulisan Budi aku menangkap motif kepentingan demokratisasi, kepentingan khalayak umum.

Nggak mungkin, pikirku. “Atau jangan-jangan…,” aku mulai menerka-nerka.
Begitu aku ketemu, langsung aku tembak. “Tulisanmu bagus.”
“Itulah, Coi, yang namanya taik kucing!”, balasnya tanpa meledak-ledak. Sorot matanya yang memerah tajam ia lempar ke samping -tentu dia tidak mau membunuh seorang teman dekatnya.

Berhasil pancinganku. Berarti, surat pembaca itu yang menjadi sumber kemarahan Budi. Tapi kenapa mesti marah. Aku pancing lagi dia.
“Tulisan ini opini, bukan surat pembaca. Eh, tahunya dimuat jadi surat pembaca. Tai kucing nian!” Suaranya mulai naik satu oktaf, tapi mata yang merah dan tajam itu tetap tidak dia arahkan padaku. Artinya tidak ada masalah kalau aku teruskan penyelidikanku ; dia tidak mungkin akan membunuhku dengan sorot matanya.
Aku lepaskan tawaku. “Ya kalau tulisanmu tidak laik jadi opini, sudah baguslah dimuat jadi surat pembaca!”
“Alaah, semua sudah tahu, Coi. Mana ada Surat pembaca sepanjang itu. Tulisanku itu ukuran opini, bukan surat pembaca! Lagi pula, di ujung kiri atas juga sudah jelas, aku tulis, Opini, bukan Surat pembaca. Masak sih, redakturnya nggak baca!”
“Ya, protes saja ke sana! Tanyakan, kenapa tulisanmu jadi surat pembaca”.

Budi terdiam. Aku menangkap getaran rasa malu Budi pagi itu. Dia tampaknya merasa singkuh, tak enak hati, kalau sampai harus memprotes tulisannya. Aku bayangkan dia memprotes, berhasil, lantas pulang dari aksi protes dia dapat 35 ribu perak, sebagai honor tulisan opini, bukan surat pembaca yang gratisan. Dan Budi memang tidak sampai protes. Mungkin kalau dia protes, mukanya pasti digambar oleh redaktur opini seharga 35 ribu perak. Syukurlah Budi bukan wajah 35 ribu-an.

Tapi aku tahu soal itu masih mengganjalnya. Beberapa hari kemudian matanya masih merah dan masih tajam, walau tidak liar lagi. Dia tampak sudah sepenuhnya bisa mengendalikan sorot mata itu. Aku pun lebih berani mengganggunya, “Ada Departemen Komunikasi dan Informasi di kabinet baru, masa kau biarkan saja lewat. Tulislah.”
“Ah nanti dijadikan pula iklan ucapan selamat atas Menteri Komunikasi dan Informasi,” katanya sinis. Jadi masih ada yang mengganjal, cuma tak ada saluran.

Satu minggu kemudian, Budi bertemu dengan redaktur opini sumber masalah. Serunya, tak hanya si redaktur saja yang hadir, juga pemimpin redaksi. Acaranya seminar Kabinet Gotong Royong dan Kebebasan Pers. Semua petinggi pers, wartawan dan para kepala humas berserta antek-anteknya hadir lengkap. Dari awal aku langsung duduk menjauh dari Budi supaya bisa mengamatinya dengan cermat. Aku lihat dia gelisah terus, bukannya memperhatikan pembicara di depan. Dan ini membuat aku juga jadi tidak mendengar serius karena makin serius mengamati Budi.

Usai rehat kopi, Aku terus menguntit ulah Budi. Matanya masih merah dan tajam, tapi aku sudah amat yakin dia bisa mengendalikannya tanpa harus mencabik-cabik jantung dan hati si redaktur opini. Ia terus mengincar gerak-gerik redaktur. Namanya redaktur tidak bermutu, begitulah kesanku, dia nempel terus sama pemimpin redaksi. Ini tipe redaktur tukang jilat. Acara seminar di luar kantor malah nempel sama pemimpin redaksi, bukannya ngobrol sama orang-orang lain. Akupun jadi agak paham kenapa opini Budi terdampar jadi surat pembaca. Kebodohan akan selalu menghasilkan penjilatan dan kekeliruan, atau penjilatan dan kekeliruan akan selalu menghasilkan kebodohan. Yang manapun sama saja, dan si redaktur opini ini adalah salah satu bukti nyatanya, yang hidup, bernafas, dan berkeringat bau tengik.

Budi makin gelisah, karena si redaktur tak lepas dari pemimpin redaksi. Si redaktur bodoh itu –pengamatanku sudah membuat aku berani menyimpulkan dia memang bodoh dan tolol– terus ngobrol dan tertawa lebar kalau pemimpin redaksinya tertawa. Tak ada kesan kalau redaktur menyadari kesalahan sedikitpun, sementara puluhan wartawan yang hadir di seminar itu sudah mendengar masalah Budi akibat kebodohan redaktur itu. “Ya, itu sama persis dengan monyet yang tidak bisa membedakan mana cermin dan mana loyang,” kata seorang teman.

Bagaimanapun kesabaran ada batasnya, begitulah kata orang bijak, dan aku lihat Budi meranjak ke meja depan. Kemarahan sudah hampir meledak, matanya semakin membulat merah dan tetap tajam -seperti bola api yang mau terlontar dari ketapel. Dengan gerakan halus aku mendekat juga sambil membawa salah satu makalah. Aku duduk tak terlalu jauh, supaya bisa mendengar dialog mereka, namun tidak terlalu dekat supaya tidak kentara. Ini ilmu spion Melayu jaman Orde Lama, tapi ternyata masih mujarab juga karena Budi, redaktur bodoh penjilat, dan pemimpin redaksi tampaknya tak merasakan pengamatanku.

“Oi, kamu Bud?” Sapa sang redaktur dengan wajah tanpa dosa -orang-orang bodoh yang selalu merasa naïf tapi tolol.
“Ya siapa lagi, memang aku,” Budi menanggapi dingin.
“Bagus tulisanmu yang minggu lalu itu,” tukas sang redaktur memuji.

Aku angkat kepalaku dari makalah yang sedang pura-pura kubaca dan terlihat seluruh permukaan wajah Budi merah menahan loncatan aliran darahnya naik ke kepala mau meledak. Budi makin marah, aku yakin.
“Sorry, aku harus potong tulisanmu, makanya aku jadikan saja surat pembaca, bukan opini.”
“Tapi gaya dan kualitasnya masih opini, atau kalau mau dibuat surat pembaca, minta ijin dululah,” kata Budi, jelas-jelas menantang. Aku tak tahu lagi apa yang sedang aku baca dan aku siap-siap melompat ke arah mereka untuk mencegah pembunuhan, persisnya untuk menyelamatkan masa depan seorang teman -aku tak keberatan si redaktur opini itu mati, tapi biarlah orang lain yang mencincangnya. Suara Budi benar-benar sudah matang untuk terjun ke medan perang sekalipun.

“Saya minta maaf, dik. Tulisanmu bukan masuk dalam artikel, tapi masuk di surat pembaca,” pemimpin redaksi masuk menenangkan ketegangan.

Budi berkerut kening. Aku yakin mata Budi berkata ‘Bodoh kali kau!’
“Sekali lagi, kami minta maaf, dik,” kata pemimpin redaksi, tenang tapi otoritatif. Aku intip si redaktur sudah diam saja mengamini apa kata pemimpin redaksinya. Dasar bodoh, pikirku sambil merenggangkan kembali persiapanku untuk menarik Budi keluar dari insiden pembunuhan.
“Sebenarnya, tulisan itu sudah mau masuk ke opini…,” kata si redaktur, tapi belum selesai ia sudah dipotong sama Pemimpin Redaksi.
“Bung Budi kan tahu, sejak beberapa harian ibukota cetak jarak jauh di Palembang, tiras kita menurun. Jadi perlu mengurangi pengeluaran dana operasional, makanya ada kebijakan untuk mengalihkan opini ke surat pembaca. Tulisan Bung Budi dimuat, tetapi dalam surat pembaca. Nggak apa-apa kan? Selama dimuatkan pesannya sampai kepada pembaca. Saya pikir, itu yang lebih esensial. Bukan begitu, Bung?”

Budi mengerutkan kening, tapi tetap dingin. ”Itu persoalan intern perusahaan anda, yang mungkin saya bisa mengerti jika sebelumnya dijelaskan. Persoalan sekarang ini adalah kesemena-menaan mengubah opini menjadi surat pembaca. Kalau sejak awal saya diberitahu, pasti saya akan menolak perubahan itu, dan itu hak saya, hak seorang penulis. Kalau anda bekerja di bidang pers, pertama-tama anda harus memahami hal itu atau lebih baik buka kompleks pelacuran saja.”

Di dalam hati aku acungkan keempat jempolku untuk Budi, sambil tersenyum ikut menikmati kemenangan Budi. Para pemimpin redaksi dan redaktur memang orang-orang yang perlu diberi pelajaran bahwa kekuasaan pada akhirnya di tangan penulis, bukan di tangan redaktur atau pemimpin redaksi. Kekuasaan bukan pada lembaran 35 ribu perak, tapi sepenuhnya berada pada sisi kreatifitas.

Di depan Budi, baik si redaktur bodoh dan pemimpin redaksi -yang terkena pukulan KO itu– seperti tak ada harganya. Aku pikir tema seminar Kabinet Gotong Royong dan Kebebasan Pers sebaiknya diganti dengan Kekuasaan 35 Ribu Perak Atau Kemurnian Kreatifitas. Pembicara utama si pemimpin redaksi, dan penanggap utama Budi, lantas redaktur opini cukup jadi notulen -karena dia tak punya otak selain bebas buta huruf. Aku penyelanggaranya sajalah.

Kotbah Budi tentang hak penulis betul-betul menohok keduanya. Memang tak jelas apakah karena keduanya benar-benar sudah sadar akan kesalahan cara pandang mereka atau cuma sekedar takur sama Budi. Maklumlah Budi sudah tergolong wartawan senior, yang di atas kertas bisa mengguncang dengan berita-berita investigasinya. Dan pengaruh Budi bukan hanya lokal Palembang tapi juga nasional, karena dia sering jadi tempat bertanya dari para petinggi pers raksasa di Jakarta. Bahkan semua orang tahu ketika pegiat Article 19 dari London dan Human Rights Watch dari New York datang ke Palembang, Budilah orang pertama yang mereka temui untuk mengumpulkan pelor, sebelum menyerang habis para pejabat sipil dan militer dalam soal pengekangan pers dan intimidasi terhadap wartawan.

Wajar kalau aku meragukan apakah redaktur goblok dan pemimpin redaksi memang memakan bulat-bulat inti pernyataan Budi atau cuma karena sekedar takut. Aku intip keduanya terdiam persis seperti anak kelas tiga SD yang dimarahi Kepala Sekolah karena tertangkap basah mengintip WC anak perempuan. Takut, tapi sekaligus mengakui kesalahan dan juga menyadari kalau kesalahan mereka itu tergolong hina. Si redaktur takut dicopot dari jabatannya, si pemimpin redaksi takut kalau setoran bulanan dari pengelola judi toto gelap diungkap Budi. Bisa jadi persoalan perut semata, bukan persoalan idealisme –yang aku yakin menurut mereka tidak mengenyangkan selain bikin hidup jadi amat rumit. Makanya milih amplop saja, celutuk si redaktur mantap suatu saat ketika pernah aku lihat berbagi amplop dengan reporternya di balik pintu kamar mandi.

“Sekarang begini saja. Bapak Budi menulis lagi saja. Dan kami berjanji, akan memuatnya di kolom artikel. Saya menjamin. Sedang yang sudah sempat termuat jadi surat pembaca, kita anggap kesalahan tehnis saja. Itu kita anggap opini dan usai seminar kita ke kantor bersama-sama menyelesaikannya,” kata pemimpin redaksi –yang biasa disuap– mau menyuap. Aku terkekeh-kekeh di dalam hati dan tak sabaran memanggil Bapak Budi begitu nanti bertemu dengan Budi selepas adegan spektakuler ini. Budi diam saja, berbalik meninggalkan keduanya.
Aku putuskan untuk melepas pengamatan atas Bapak Budi, tapi tetap menempel redaktur dan Pemimpin Redaksi. Tanpa malu-malu lagi aku pakai gaya intel jaman Orde Baru yang provokatif, duduk persis di samping mereka berdua. Kotbah Budi tadi membuat aku sepertinya sudah siap juga melabrak mereka, mungkin aku akan memilih tema Pengaruh Toto Gelap Terhadap Pemberitaan. Sekali saja mereka menyapaku -entah itu cuma sekedar selamat siang– maka aku akan keluarkan kotbahku, yang aku yakin tak kalah meyakinkan dengan kotbah Budi tadi. Tapi keduanya diam membatu sampai seminar selesai.

“Kemana tadi Pak Budi,” tanya si pemimpn redaksi celingak-celinguk seusai seminar. Sementara aku masih menunggu sapaan mereka untuk melancarkan kotbahku, yang sudah semakin matang karena aku pikirkan sepanjang seminar.
“Mungkin Budi langsung ke kantor Pak, menyelesaikan honor surat pembaca kemarin.” Si redaktur ini memang betul-betul otak amplop dan cara pandang 35 ribu perak dianggapnya benar-benar ampuh untuk Budi.

Pemimpin Redaksi hanya manggut-manggut, nggak jelas antara mengerti atau tidak. Ia tampaknya kecewa juga, karena kalau surat pembaca masih dibayar, apa gunanya mengalihkan opini ke surat pembaca. Keduanya langsung meluncur ke kantor, mengharap bertemu Budi dan semua persoalan selesai hari itu juga.

Tapi mendekati kantor keduanya terkejut. Ratusan orang berteriak-teriak di depan kantor mereka, memajang spanduk protes. Salah satunya bertuliskan Aliansi Penulis Surat Pembaca Untuk Keadilan. Ratusan pengunjuk rasa adalah penulis surat pembaca. Mereka mau menuntut honor tulisan surat pembaca mereka, yang sudah beberapa kali dimuat.
“Surat pembaca tidak ada yang dibayar. Semuanya bohong!”, kata salah seorang pegawai koran untuk meredam amarah massa.
“Bohoooooong!” teriak pengujuk rasa.
“Buktinya, ada kawan kami yang dibayar. Maka kami juga minta bayar. Kalau tidak, maka kami juga akan mengirim surat pembaca lagi!” pekik seorang pengunjuk rasa yang membawa pengeras suara. Ternyata, para pengunjuk rasa mendengar sebuah berita radio yang menyatakan setiap karya tulis harus mendapat penghargaan sepantasnya, termasuk surat pembaca.

Pemimpin Redaksi dan si Redaktur kaget setengah mati. Selama tiga hari, keduanya dirawat di ICU, setelah serangan stroke akibat insiden surat pembaca. Tiga hari kemudian, setelah kedua tangan cukup kuat memencet keyboard komputer, keduanya membuat surat pembaca ke korannya sendiri.

Berhubung redaktur pengganti masih belum ditunjuk, maka redaktrur opini -yang bodoh dan penjilat tadi-memuat surat pembaca mereka sebagai opini, lengkap dengan foto mereka berdua berjas lengkap. Isinya –paling tidak menurutku dan menurut Budi yang sudah pulih kembali sambil terseyum-semyum– jelas tidak laik opini. “Menteri Kesehatan perlu mengupayakan penegakkan keadilan dan demokrasi di rumah sakit berkaitan dengan daripada sejumlah kamar mandi di rumah sakit yang sepatutnya mendapat perhatian kita bersama-sama untuk pembenahan yang lebih baik mengingat dampak daripada penyebaran bau air seni yang sejauh ini sudah memenuhi seluruh ruangan kamar mandi yang bersangkutan ,” begitulah tulis pemimpin redaksi. “Cuma bau kencing di toilet saja diributkan si tikus kapitalis busuk itu,” celutuk Budi.

Sedang si redaktur menulis tentang soal tagihan rumah sakit, yang tidak kena pajak pendapatan tapi kena potongan 4 persen karena pakai kartu kredit. “Tiga hari nggak masuk kerja, setorannya dimakan anak buahnya,” perkiraan Budi.

Semua wartawan mentertawakan opini yang bergaya surat pembaca itu. Ada juga pembaca yang mengirim surat pembaca mengomentari inflasi opini tadi tapi tidak dimuat, bukan karena tak ada ruang atau takut menyinggung redaktur dan pemimpin redaksi, tapi sekedar menghemat honor surat pembaca.

Tapi Koran itu sendiri masih saja terbit. Tirasnya tetap seperti biasa, iklan juga begitu. Setoran bulanan dari pengelola judi toto gelap, aku dengar-dengar, masih juga berjalan seperti biasa.
Budi sendiri sudah mengirim tulisan ke koran itu, dan semuanya masuk opini walau ada satu opini yang aku yakin seyakin-yakinnya kalau opini itu sebenarnya cerpen. Tapi Budi tidak marah. Matanya tidak merah menajam, juga tidak liar. Dia tidak pula mengeluarkan sumpah serapah, atau mencaci maki. Budi tetap tenang –walau sedikit dingin– waktu aku tanya. “Ah sudahlah redaktur bodoh itu memang tidak mengerti apa-apa. Nggak usah diperdulikan lagi. Yang penting dimuat, pesannya sampai” kata Budi, matanya tetap menatap ke halaman Koran yang sedang ia baca, tak diangkat ke arahku. Aku kaget.

Esoknya aku tahu kalau di koran itu –tak perlulah aku sebut namanya– honor cerpen 25 perak, sedangkan opini 35 ribu perak. Oh ya, surat pembaca sudah dihargai 10 ribu perak.
***

Demang Lebar Daun, 3 Agustus 2001