Balada Sebuah Puskesmas – Liston P Siregar

Tiga kali berkunjung, baru aku tahu sumber kekacauannya. Memang benar, seharusnya dokternya ditambah, yang lebih gesit, yang lebih perduli, yang lebih ramah. Tapi itu gagasan besar yang butuh usaha besar.

Percayalah, menambah dokter butuh perjalanan panjang, dan semangat panjang pula. Jika tak percaya, baiklah, kita coba telusuri. Yang paling awal adalah usulan dokter kepala puskesmas –dengan argumentasi kuat, dan bila mungkin didukung dengan data hasil survey kecil– ke Direktorat Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan.

Jelas berlebihan jika hari itu juga usulan dibaca bapak direktur. Yakinlah, bapak direktur tak hanya mengurus puskesmas saja. Kalaupun memang hanya mengurusi puskesmas, hitung saja ada berapa ribu puskesmas di seluruh negeri. Rasanya wajar saja bila usulan penambahan dokter di sebuah puskesmas di ibukota bukan prioritas utama. Pasti lebih penting sebuah puskesmas di sebuah kampung di kaki gunung yang kehabisan garam oralit, misalnya. Atau sebuah gedung puskesmas di pulau terpencil, yang ambruk diterjang badai.

Tapi baiklah, kita sepakat satu minggu kemudian bapak direktur membaca usulan itu dan –sesuai wataknya yang tak suka menunda pekerjaan– segera menghubungi dokter kepala puskesmas. Esoknya ada rapat khusus di kantor Direktorat Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan, membahas usul penambahan dokter di sebuah puskesmas di ibukota negara.

Mungkin saja usul itu dinilai tak beralasan, membesar-besarkan masalah. ”Kenapa perlu tambahan dokter,” tanya bapak direktur, misalnya. ”Apa tidak bisa waktu layanan saja diperpanjang.” Maka kepala puskesmas, yang sudah siap dengan jumlah rata-rata pasien per-hari, maju ke depan, mencoret-coret di whiteboard, menjelaskan perkara sebenarnya.

Ini kan musim inspeksi mendadak dan turun ke bawah. Maka bapak direktur menentukan hari sidak –seminggu setelah rapat– yang menurut catatan dokter kepala puskesmas adalah hari yang paling banyak pasien.

”Saya sudah mengerti soalnya, dan akan segera saya sampaikan pada bapak menteri,” kata bapak direktur, mengangguk-anggukan kepala ketika berkeliling puskesmas. Tiba di kantor, segera ia –yang tak biasa menunda pekerjaan– perintahkan sekretarisnya menghubungi sekretaris bapak menteri.

Yakinlah bahwa urusan bapak menteri jauh lebih banyak. Artinya, kalau dalam agenda bapak direktur usul penambahan dokter di sebuah puskesmas di ibukota negeri ada di urutan lima, maka dalam agenda bapak menteri soal itu –paling sedikit– di urutan enam.

Tapi kita sepakat lagi, minggu berikutnya bapak direktur dipanggil bapak menteri untuk menjelaskan masalahnya.

Tidak, bapak menteri tak perlu turun ke bawah. ”Itu gunanya delegasi wewenang dan tanggung-jawab,” gumam bapak menteri pelan, setelah bapak direktur ke luar ruangan. Ia buka map berisi usulan itu, menconteng ‘v’ tanda setuju, dan membubuhkan paraf di kanan atas map. Ia letakkan map itu bersama puluhan map lain, sebelum diambil sekretarisnya.

Lantas –memang ini usaha yang butuh waktu dan semangat panjang– bapak menteri –yang sadar betul ia berurusan dengan soal kesehatan masyarakat– boleh saja langsung setuju. Namun tak berarti esok sudah ada seorang baru di puskesmas yang tamat fakultas kedokteran, bersuara lembut, senyum ramah, dan gesit.

Masih perlu koordinasi dengan walikota karena puskesmas menumpang di kantor kecamatan. ”Bicarakan juga tambahan ruang puskesmas,” pesan bapak menteri pada bapak direktur yang akan mewakili Departemen Kesehatan dalam rapat koordinasi dengan dewan kota -taruhlah berlangsung seminggu kemudian.

Rapat boleh saja berjalan mulus, tapi usul tambahan dokter harus masuk ke Badan Perencanan Pembangunan Nasional dulu untuk disesuaikan dengan anggaran tahun mendatang. Dokter apa yang mau bertugas di sebuah puskesmas tanpa bayaran sepeserpun. Orang kaya apa pula yang mau beramal membayar rutin gaji bulanan seorang dokter puskesmas –kan lebih baik untuk anggaran pengobatan keluarga di klinik spesialis atau untuk premi asuransi kesehatan kelas satu.

Pasti sekali, Bappenas tak hanya mengurus soal penambahan dokter pada sebuah puskesmas ibukota. Sebutlah, jika dalam agenda bapak direktur usulan itu berada di urutan lima, dan dalam agenda bapak menteri –paling tidak– di urutan enam, maka dalam agenda bapak Ketua Bappenas –paling bagus– di urutan tujuh.

Mungkin saja pada saat yang bersamaaan Departmen Luar Negeri atau Departemen Pertahanan juga mengusulkan tambahan aparat, dengan alasan yang tidak kalah kuatnya.

Sampai di Bappenas, tak bisa lagi main asal sepakat menentukan satu minggu. Menghitung ratusan miliar dan mencocokan dengan puluhan ribu rencana pos pengeluaran, adalah pekerjaan raksasa yang butuh kecermatan tinggi –walaupun berakibat sedikit lamban.

Tapi, yakinlah, usul tambahan dokter di sebuah puskesmas di ibukota akan segera direaliasasikan –tentu jika anggaran tahun mendatang memungkinkan. Jadi, langsung saja, beberapa lama kemudian…

Ada penerimaan dokter puskesmas -pastilah ada ribuan dokter yang mengajukan lamaran–, lantas seleksi, penataran doktrin kesehatan masyarakat, dan job training sebelum tugas penuh –mudah-mudahan dokter gesit yang terampil, plus syukur-sykur dengan suara lembut dan senyum ramah.

Hanya saja –memang agak berlebihan– mungkin saja ketika dokter baru itu mulai maka sudah diperlukan lagi tambahan dokter lainnya. Perjalanan panjang, dan semangat panjang, kembali harus ditempuh.

Jangan gagasan besar
Jadi, walau aku tahu dokternya kurang, segera aku buang gagasan besar itu, sambil mencoba-coba mencari-cari jalan keluar lainnya yang tidak tergolong gagasan besar.

Sykurlah, kemarin dulu –ketika datang ke puskesmas untuk ketiga kalinya– aku bisa temukan satu kelemahan yang tampaknya bisa diatasi tanpa perlu gagasan besar ; penambahan dokter.

Aku menemukannya karena kemarin jatuh pada hari Senin, ketika semua pegawai negeri wajib ikut apel bendera.

Begini persisnya. Belajar dari pengalaman sebelumnya, aku sudah rencanakan tiba di puskesmas pukul setengah sembilan. Puskesmas, tak beda dengan kantor kecamatan dan kantor negara lainnya. Buka resmi memang pukul delapan pagi, kenyataan urusan lain. Buktinya, pada kunjungan kedua aku tiba di tempat itu pukul delapan kurang dua menit dan menunggu bengong sampai pukul delapan lewat tiga puluh enam menit.

Sedang waktu kunjungan pertama, aku datang pukul sembilan lewat lima belas menit, mendapat nomor antrian 32 dan bertemu dokter pukul sebelas lewat dua puluh dua –persis, karena aku memang selalu melirik arlojiku.

Jadi untuk kunjungan ketiga, aku yakin kalau sekitar pukul setengah sembilan sudah tepat. Tak perlu menunggu loket buka terlalu lama, tapi juga tak mendapat nomor antrian puluhan.

Cuma kemarin itu hari Senin, ketika semua orang ikut apel bendera. Jadi semua rencanaku, –yang sudah disesuaikan dengan rapi berdasarkan dua pengalaman buruk sebelumnya– tak berjalan sesuai harapan.

Artinya aku kembali terjebak dalam antrian karena puskesmas baru mulai beroperasi seusai upacara bendera. Padahal menunggu antrian di loket itulah salah satu masalahnya.

Orang-orang transparan di ibukota
Baiklah aku cerita tentang puskesmas itu. Jelas tak semua penduduk ibukota mampu datang ke klinik spesialis dengan ruang tunggu sejuk berAC dan resepsionis yang cantik.

Ke puskesmas yang kumaksud –di salah satu kecamatan di ibukota– berduyun-duyun orang yang tak mampu ke klinik spesialis datang mengadukan sakitnya, dan berharap sembuh dengan membayar tiga ratus perak.

Itulah mereka yang tinggal di gang sempit di antara dua jalan besar, di barisan gubuk tepi sungai, di barak konstruksi jalan layang, di gubuk pembangunan apartemen, di barisan kardus sepanjang rel kereta api, di kompleks pelacuran, di seberang sungai, di kumpulan rumah susun, di rumah-rumah tua yang terlantar, di mushola, di sekeliling kolam air mancur, di dalam taman-taman umum, di pelataran parkir pusat pasar, di kompleks perumahan pegawai pemerintah kelas lima, maupun di rumah-rumah kontrakan berukuran enam kali tujuh meter.

Itulah mereka-mereka yang tinggal di kawasan transparan, yang terlihat nyata oleh orang yang lalu-lalang.

Dengan keragaman itu, antrian di loket puskesmas persis seperti gado-gado. Ada seorang ibu setengah baya yang bangun tidur –siapa pula yang bisa menunda sakit– masih dengan rambut acak-acakan, daster kebesaran, dan wajah meringis.

Tiga baris di depanku adalah seorang ibu muda yang sepertinya baru pulang mengantar anaknya ke sekolah dasar negeri, satu blok dari puskesmas. Ia menunggu gelisah –terus menerus melirik ke loket dan ke belakang –karena waktunya memang sempit; antara mengantar anak dan menyiapkan santap siang keluarga.

Jauh di depan di urutan kedua, berdiri seorang bapak tua berambut putih. Ia -tampaknya seperti seorang pensiunan pegawai negeri– menggunakan pantalon hitam rapih dengan hem putih bergaris-garis coklat. Berdiri tenang di garis antrian, berkali-kali ia melirik ke belakang, mengerutkan dahi sambil menaikkan gagang kaca-matanya yang tebal. Agaknya ia mau periksa mata.

Tadi malam sebelum tidur istrinya sudah menyiapkan pakaiannya, menyiapkan uang receh pas untuk ongkos bisnya, membangunkan pukul enam pagi, menyeduh kopi lebih awal dari biasa, melepasnya di depan pintu pukul tujuh persis. Dan ia –yang sudah menyusun kalimat-kalimat yang akan disampaikan pada dokter-berhasil merebut urutan kedua berkat jasa besar istrinya.

Tapi ia masih kalah dengan si mbok berkebaya biru dengan keranjang belanjaan, yang berdiri tegak di urutan pertama. Si mbok –yang sudah melimpahkan tugas menyiapkan sarapan pada putri sulungnya– baru saja usai belanja dari pasar pagi di seberang stasiun.

Sayang aku tak bisa menduga-duga penyakit apa gerangan yang menimpanya. Gembrot memang, tapi masih dalam batas wajar, berdiri tegak tanpa wajah meringis.

Sedang dua ibu di urutan tengah, menggendong bayi masing-masing, adalah hasil nyata kampanye kesehatan masyarakat. Aku yakin keduanya bertetangga, janjian pergi bareng ke puskesmas setelah mencocokkan kalender pemeriksaan bayi –sudah tiba waktunya untuk kembali menimbang bayi.

Kedua ibu rumah tangga muda itu memang sasaran utama kampanye pemeriksaan kesehatan rutin, dan keduanya tampak bangga menjadi bagian dari masyarakat sehat dunia –seperti tertulis di poster WHO yang ditempel di kiri atas loket antrian. “Amati perkembangan bayi anda ,” tulis poster berwarna hijau itu.

Di barisan paling belakang terlihat seorang anak muda dengan jins belel dan baju coklat. Bisa jadi ia pekerja bangunan jalan layang yang kehujanan semalaman penuh. Berdiri lunglai dengan wajah pucat, hening menatap tanah basah di depannya, tak peduli pada gadis berambut panjang di depannya –yang menurutku cukup layak untuk diajak ngobrol.

Kuduga si gadis berambut panjang bermata bulat hitam punya masalah dengan kulitnya. Mungkin ia butuh obat untuk jerawat di sebelah kiri hidungnya, atau ia menemukan bercak-bercak di punggungnya, atau setiap pagi ada helai-helai rambut gugur di bantal.

Tentu saja ia mungkin juga mengidap penyakit kronis, kanker payudara, misalnya, atau penyempitan pembuluh darah. Mungkin saja. Penyakit tidak memandang kaya miskin –kalau pengobatan memang iya.

Dua baris di belakangku persis, seorang pegawai negeri dengan lencana Korpri di dadanya sedang asyik membaca koran. Pulang dari puskesmas ia akan menghadap kepala bagian, menyerahkan surat sakit, menghirup kopi dingin di meja, dan pulang ke rumah. Apapun sakitnya, hari ini pastilah menyenangkan buatnya.

Dari kerutan di keningnya dan mata yang mengecil saat menelusuri huruf-huruf di koran, aku duga ia diserang sakit perut –karena kebanyakan makan ikan asin dengan sambal terasi. Itu sebenarnya bisa diatasi dengan sebutir tablet di kios rokok seharga lima puluh perak. Tapi aku tahu ia hanya pegawai negeri kebanyakan yang tak bakal rugi –dan juga tak akan merugikan negara– jika absen sehari atau lima hari sekalipun.

Aku sendiri segar bugar, tapi ibuku baru operasi katarak dan butuh obat paska operasi. Aku tak mau ibu terjebak dalam antrian yang menyebalkan ini, walau harus kembali adu argumentasi dengan dokter yang ngotot agar ibu diperiksa rutin juga. ”Saya kan harus tahu perkembangannya, bukan hanya menulis resep,” kata dokter itu judes, pekan lalu.

Padahal aku lihat sendiri waktu dan tenaganya sangat terbatas. Paling ia tanya apa keluhan –tanpa melihat ke arah pasien karena sibuk menulis buku laporan– memegang kening pasien –sambil menanyakan umur– menempatkan stetoskop pada dada pasien selama lima detik –tak perlu tidur terlentang– atau menyorot mata pasien dengan senter kecil, dan menulis resep. Beres.

Aku tak mau ibuku menunggu berjam-jam hanya untuk prosedur mekanis yang tak meyakinkan –apalagi dengan suara judes.

Sambil antri dengan tertib, aku cari-cari alasan lain atas ketidak-hadiran ibu, walau aku sebenarnya tak bisa berkonsentrasi karena berdiri di urutan ke delapan belas.

Jengkel karena arloji sudah pukul sembilan dua puluh empat –ada tujuh belas orang di depanku– dan loket masih belum buka. Kulihat ke belakang antrian mulai berbelok ke arah gerbang kantor kecamatan, dengan tambahan sebelas orang baru –dan akan makin bertambah panjang jika loket makin lama dibuka.

Padahal antrian hanya pembukaan. Dari loket, para pasien harus naik ke ruang tunggu di lantai dua, menunggu panggilan berdasarkan nomor urut. Dengan antrian dua puluh sembilan orang di loket, maka suasana di ruang tunggu nanti pasti makin kacau balau.

Kursi di ruang tunggu hanya enam belas –empat kursi pada empat baris– sehingga belasan orang harus berdiri menyandar pada tembok sambil sesekali berjalan mondar-mandir melemaskan otot punggung.

Kelompok pengacau
Pada kunjungan ke dua dulu, ketika aku memegang nomor 32 selepas pukul sebelas, aku bersua dengan kelompok lain. Itulah saatnya kelompok ibu-ibu –yang usai menyelesaikan persiapan makan siang dan menjemput putra-putri mereka dari sekolah– tiba di puskesmas ini.

Putra-putri si sakit inilah yang menambah kekacauan di ruang tunggu. Seluruh sudut ruang tunggu mereka jelajahi, mengintip dari celah pintu ke ruang periksa, melompat-lompat di tangga, lari berkeliling menelusuri barisan kursi, main petak umpet, main lompat karet, atau main bola sepak dengan gawang tas sekolah.

Semuanya mereka lakukan di ruang tunggu berukuran delapan kali dua belas meter. Inilah gerombolan pengacau sesungguhnya.

Pada kunjungan kedua itu, ketika loket buka pukul delapan empat puluh enam, dan aku masih duduk bengong di ruang tunggu pukul sepuluh lewat dua puluh tiga, beberapa korban telah jatuh.

Aku masih ingat wajah anak perempuan kecil yang jatuh di tangga dengan kening berdarah. Pipi kakaknya –yang menuntun ia ke tangga– merah bara akibat tamparan keras si ibu, yang aku yakin menderita sakit kepala berat.

Siang terik itu semakin panas dengan tangis kedua anak itu, diselingi pekik suara si ibu yang bertarung dengan seorang anak muda yang bertahan pada ketertiban nomor urut.

”Salah sendiri, kenapa anaknya tidak dijaga,” ujar si pemuda menantang si ibu yang panik.
”Kau anak setan!” teriak si ibu dengan air mata mulai menetes.
Untunglah suster tak ragu-ragu mengambil putusan, tanpa bicara apapun ia tarik si ibu dengan putrinya masuk ke ruang periksa dokter.
”Tai anjing!” sumpah serapah anak muda itu, yang aku yakin juga menderita sakit kepala yang tak kalah beratnya.

Korban ringan lain adalah seorang putri kecil jatuh terpleset saat melompat tali karet dan terkilir di bawah mata kaki. Dia berteriak nangis. Lantas seorang anak laki pemain bola benjol kepala setelah berlari sekuat tenaga mengejar bola ke arah tembok tapi ternyata tak bisa menghentikan lajunya. “Brak,” dia tabrak telak dinding puskesmas.

Sedang korban materi, sebuah tas sekolah yang jatuh dari jendela di lantai dua ke genteng rumah sebelah. Si anak pemilik terisak-isak dan si ibu –yang agaknya tertekan oleh darah yang mengucur di depan matanya, dan tangis serta pekik suara di telinganya– tak sabar, mencubit si anak yang langsung ikut pula meramaikan koor tangisan siang itu.

Masih ada botol minuman yang pecah, tumpahan bubur dari seorang bayi yang dijejali makan oleh ibunya, genangan kencing seorang bayi lain, dan dahak kental seorang kakek yang tak kuat melihat darah.

”Ibu-ibu jaman sekarang memang tak bisa menjaga anak,” komentar seorang ibu di sampingku. Aku cuma melirik kosong, tak tau mau berkomentar apa karena aku bersimpati kepada korban-korban yang jatuh dan para ibu mereka. Dan aku yakin Tuhan tak mungkin hanya menawarkan satu jalan keluar untuk sebuah kekacauan besar seperti itu.

Aku ingat-ingat lagi perjalanan antri di loket yang baru buka pukul delapan lewat empat puluh enam sampai duduk di ruang tunggu menyaksikan korban-korban berjatuhan. Dan aku temukan bahwa arus perjalanan pasien tersendat-sendat. Memang, seperti yang kubilang hanya gagasan kecil, sumber masalah adalah penantian bergerombol.

Mengatus arus
Lihatlah, jika pukul delapan loket sudah buka –jangan suruh pasien datang lebih siang karena sakit tak bisa ditunda- lantas suster siap memanggil pasien pada pukul delapan lewat satu menit –jangan menunggu orang berkumpul dulu di ruang tunggu– dan dokter siap bertugas pukul delapan lewat dua menit –ingatlah kembali doktrin kesehatan masyarakat. Jika itu yang terjadi, maka tidak akan terjadi kekacauan. Korban pun tak bakal jatuh.

Jadi, pukul delapan tepat si ibu gembrot yang pulang belanja tiba di depan loket dan mendapat potongan kertas bernomor ‘satu’. Ia naik ke lantai dua, dan persis ketika ia ingin duduk suster sudah berteriak ‘nomor satu’.

Pada saat itu –pukul delapan lewat dua menit– si bapak pensiunan tiba di depan loket dan mendapat potongan kertas bernomor ‘dua’. Ia naik ke ruang tunggu dan duduk tertib. Tapi baru saja ia mulai mengingat-ingat kalimat yang akan ia katakan pada dokter, suster sudah berteriak ‘nomor dua’.

Pada saat itu –pukul delapan lewat empat menit– sebutlah seorang bapak yang tangan kanannya luka ketika memperbaiki atap bocor, tiba di depan loket dan mendapat potongan kertas bernomor ‘tiga.’

Ia naik ke lantai dua, duduk –dan ketika akan meletakkan tangan di lengan kursi– suara suster terdengar kembali, ‘nomor tiga’. Pada saat itu –pukul delapan lewat enam menit– seorang tukang bakso yang kakinya tertumpah air mendidih, tiba di depan loket dan mendapat potongan kertas bernomor ’empat’…

Dengan arus lancar seperti itu, dan jam layanan yang lebih awal, maka tidak akan ada massa gelisah yang tidak terorganisir di ruang tunggu. Tidak akan ada tumpukan kejengkelan di ruang tunggu.

Dan tak akan ada juga balerina dan pemain bola yang berkumpul di ruang tunggu. Jadi yang mengganggu adalah kenyataan bahwa arus perjalanan pasien tersendat-sendat, dan layanan baru mulai pukul setengah sembilan lebih! Itulah sumber masalahnya.

Aku menemukan gagasan itu pada hari Senin, karena pegawai negari wajib ikut apel bendera –yang selesai sekitar pukul delapan tiga puluh. Lantas masih ada lagi pengisian absensi dan berkemas-kemas sekitar lima belas menit.

Pada jam itu –pada hari Senin– barisan pengantri mulai menumpuk, yang siap disusul dengan gerombolan pengacau sepulang sekolah nanti. Artinya kekacauan besar bakal terulang kembali. Aku mulai cemas sendiri membayangkan apa yang bakal terjadi tak lama lagi.

Aku tahu kalau upacara bendera adalah nasionalisme, aku juga tahu kalau penambahan dokter itu masalah besar.

Tapi sekedar usulan bekerja sesuai jam kerja rasanya bukan soal besar. Atau mungkin aku hanya membesar-besarkan masalah? ”Itu hanya kecelakaan pada suatu hari yang sial.”

Lagipula mungkin saja Bapak Direktur Kesehatan Masyarakat, Bapak Menteri Kesehatan, Bapak Ketua Bappenas, Bapak Walikota, dan bapak-bapak lainnya tak setuju dengan gagasan puskesmas yang bersaing dengan klinik pribadi.

”Ya memang begitulah pelayananan masyarakat, kalau tak terima jangan ke puskesmas,” mungkin begitulah pikiran mereka. Padahal jelas sekali aku amat ingin membawa ibuku ke klinik pribadi spesialis mata, di jalan seberang sana.
***