Catatan Tak Selesai

‘Orang Hutan’ Kamarada, Eks Falintil
Selma Hayek

Di atas Pajero Putih 14XXX TLS
Dili hujan rintik-rintik ketika Makikit menemuiku di tempat kerjaku dengan Pajero bernomor polisi 14XXX, milik mamanya. Malam ini salah seorang Komandan FDTL meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas di dekat rumahku.

Di belakang kemudi, Makikit sempat sibuk menghubungi beberapa Komandan FDTL dan kawan-kawan hutannya untuk mengabarkan berita duka itu. Tak ada kekuatiran yang tampak di wajah maupun kata-kata yang keluar dari mulutnya: datar saja.

Malam ini malam kedua Teluk Dili berombak tinggi. Di pinggiran Teluk Dili itulah, kami berdua sempat berhenti untuk membeli stok makanan dan kebutuhan sehari-hari lainnya.

”Orang Hutan belanja di kota”, ejekku ketika melihatnya sibuk memilih Sunsilk dan Lux. Ternyata mantan orang hutan juga ingin terlihat cantik seperti Sophia Latjuba, batinku tertawa. Di budaya macho masyarakat Timor Lorosa’e, bagiku masih merasa janggal dan sekaligus senang melihat Makikit menjunjung keranjang dan mengisinya dengan ayam potong, Bimoli, Lux, Sunsilk, beras, Pepsodent.

”19 Desember 2003. Tadi malam, kami hanya makan sayur nangka dari halaman belakang. Benar, Aku tak ada uang. Lumayan, malam ini ada ayam potong. Baik-baik ke Mama, pastilah Aku aman dan bisa makan. Malev sibuk dengan Angin menato lengan kirinya dengan wajah Che Guevara. Mulai jam 23.00 hingga 03.00 rumah hanya diterangi lilin dan Padi, Slank, Iwan Fals, Ebiet G Ade dan lagu-lagu yang kami tulis sendiri. Tertanda, M

Makikit yang kukenal hingga tanggal ini adalah sosok yang pasang surut. Kalimat-kalimat yang terangkai dalam ceritanya adalah kepercayaan diri tanpa rasa optimis, dengan intonasi rendah. Kalimat yang Ia lontarkan tinggi-tinggi hanyalah ”dengarkan Aku dulu!”, setiap kali Aku atau kawan lain memotong ceritanya.

”Ya, Aku intelejen. Ini sumbangsihku untuk negaraku tanpa gaji. Aku hormati posisimu dan kawan-kawan aktivis yang tak berduit. Eh, kalian lebih baik dari Aku karena kalian masih terima gaji, sementara Aku. Lihat, Aku lebih gembel begini! Aku tidak akan mencelakakan kalian dengan pekerjaanku. Masa transisi akan membawa kami ke mana?”. Tertanda, M.

Benarkah, kamarada? Apakah kau murni hanya meneruskan perkawanan ini tanpa mengikutsertakan pekerjaanmu sebagai intelejen? Bagaimana kami bisa melihat konsistensimu, sementara kau selalu mendengarkan analisa-analisa kritis kami terhadap para petinggi di pemerintahan, termasuk kekerasan negara yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang kamu komandoi? Apakah kau tidak pernah setor informasi dari obrolan kita malam-malam ditemani tuak sabu? Jujurkah kau?
Lihat, Adik Malev dipukul keras oleh adikmu sang komandan tanpa penyelidikan awal yang jelas. Lihat kekecewaan Malev, pedulikah kau? Akh, kau hanya diam tanpa ada niatan mempercakapkan persoalan ini dengan Malev: kau menghindar! Bagaimana juga dengan dua orang yang tinggal di Lahane yang hilang empat hari dan ditemukan babak belur di Kantor Kepolisian Comoro?
Lihat, kau suburkan kekerasan, kau bangga kekerasan yang kau lakukan. Lupakah kau akan rintihan bunda ketika anak perempuannya diperkosa Tentara Indonesia? Lupakah kau berapa kamarada hilang dan mati diberondong peluru tanpa mata di Santa Cruz? Lupakah cerita tentang laki-lakiku yang hilang diculik Tentara Indonesia?
”20 Desember 2003. Akh mereka perusuh-perusuh yang tidak mendukung Pemerintah. Jadi, pukul aja tho. Entah berapa kali kugunakan popor pistolku untuk menghantam kepala orang-orang yang dianggap membahayakan keamanan. Entah berapa kali, kutamparkan telapak tanganku dan kuhantamkan dengkulku kepada muka-muka bangsat itu”. Tertanda, M.
”Aku larang seseorang yang pernah kuhabiskan malam bersamanya untuk datang ke rumah. Bahaya buat Aku, kelaki-lakianku. Soal perempuan, Aku lelaki yang bisa mengatur semua urusan dengan mudah. Entah dengan melarikan diri, keangkuhan, atau mendiamkan saja persoalan itu. Atau gampang saja, kuciptakan argumen-argumen yang membenarkan diriku”. M

Kau takut, Makikit? Pertanyaan itu kulontarkan tepat di tatapan matanya. Lari bola matanya dan palingan mukanya, juga diamnya tak mampu menutupi ketakutannya. Aku sempat tertawa melihat kelakuannya, kok bisa seorang bersandang peluru, bergenggam pistol dan kekerasan, dan kepalan tangan diselimuti rasa takut.
Dua luapan sikap yang tanpa disadarinya muncul dari kelakuannya sehari-hari. Tak pernah Ia pikirkan kembali detik-detik yang Ia isi dengan wajah bingungnya, kata-kata yang tidak konsisten, dan kebanggaan yang berlebihan. Saat Makikit mengucapkan kalimat terakhirnya itu dan kutulis di secarik kertas, kudapatkan kepengecutan pada dirinya. Tak ada hati. Dia semata-mata hanya mengatakan, Tentara, kok dilawan, semboyan yang tepat untuk dirinya.
Menjelang Natal, tak kutemui lagi Makikit. Entah, terbang kemana. Langit biru Dili pun semakin gelap dengan hujan yang terus turun di siang hari. Ia terbangkan dirinya dengan pertanyaan dan persoalan untuk dirinya. Mengecewakan, sangat tak bertanggung jawab, kata Malev.
”Aku harus ke luar distrik, tiga hari”. M
”Malam ini Aku harus balik ke Dili, ada pencegatan di Baucau. Mobil rusak di Aileu, tangki minyak bocor. Aku butuh uang untuk membeli solar. Lumayan, dapat kucuran dana $40, gratis. Kuperintahkan adikku, sang komandan untuk menjaga kawan-kawan yang mabuk di salah satu tempat hiburan di pusat Kota Dili. Jam 05.00 Aku baru kembali”. M
***
Tak ada kabar apapun dari Makikit hingga usainya 2003. Tak ada. Siapapun tak bisa memberikan jawaban kemana, apa yang Ia lakukan, dan kondisinya.
”Aku persiapkan paspor. Aku ke Portugal dengan istriku. Aku tak bisa berkata apa-apa atas keputusan mama. Tak ada yang harus kubicarakan lagi dengan Pantai Kelapa, Pasir Putih, gunung-gunung atau hutan-hutan yang pernah memelukku”. Tertanda M.
Itu saja yang ada. Pulpenku tak lagi menulis. Di atas Sakura Tower catatanku berakhir di malam pergantian tahun di tengah pekik dan kilatan petasan yang menyeramkan di seluruh kota Dili. Ia telah pergi tanpa hati, justru dengan rasa takut dan angkuhnya, meninggalkan catatan dengan koma, entah kapan Ia selesaikan.
***
Dili, 4 Januari 04: Memoria Waktu dengan si Makikit.
Kutulis untuk Maun Mawi di Negeri Belanda dan petani `kecil Nini di L Palos.

Daftar Istilah:
FDTL: Forsa Defeca de Timor Lorosa’e (Perubahan dari Falintil)
Kamarada: Kawan seperjuangan, Komrade
Mane: laki-laki
Makikit: Burung Elang
Regiaun: wilayah (region, Bahasa Inggris)
Serveja: bir (Bahasa Portugis)
Sigaru: rokok
Tuak sabu: arak hasil penyulingan air enau. Kadar alkoholnya lebih tinggi dari tuak mutin.
Tuak mutin: arak hasil enau
Tiu: paman

TAGS :