Riswijk 17


Taufiq Ismail (1966) Djakarta Dalam Puisi Indonesia

Malam itu kami duduk di beranda, bulanpun ada
Lalu lintas terasa hingar, deru deram sebentar-sebentar
Memanjang kawat telepon di antara tiang yang merentang

Redup temaram dalam garis-garis coretan hitam
Dengung karet beca, lewat lubang selokan tua
Tiba-tiba di langit membusur titik cahaya
Di celah deretan menyusur cemara hospital
Kami sama berdiri. “Bulan aurnoetika-kah kini?”
Benda-benda angkasa itu meluncur pelahan
Dalam busur lengkung di langit barat
Lewat atas atap, lewat pucuk cemara hospital
Seraya ke bumi ini memberi cahaya sinyal
Kami sama terdiam, sama menatap cahaya yang main
Sebuah transistor menyanyikan tema jazz “Summertime”
Busur cahaya itu makin melengkung
Di atas gedung menyentuh bayang bangunan
Melintas sebuah majelis yang tengah bersidang
Yang masih bergumul bagi kebebasan
Dan masalah-masalah kelaparan serta kemiskinan
Sementara benda angkasa ini menunjuk ke bulan
Dan menyelusuri rimba belantara teknologi
Majelis ini mencoba lagi mengeja kata demoikrasi
Mulai menuliskan lengkung huruf ‘d’ dari demokrasi itu

Di langit pun membusur garis cahaya
Menerangi bumi ini, mulanya temaram, lalu makin terang

Anak-anak berlasan tahun berlarian riang
Di atas runtuhan slogan, menginjkak potret-potret pemujaan
Berkejaran dalam main bandit dan lakokn
Menyusuri trotoar, tembok-tembok kota dan jalan raya
Menggeledahi gedung-gedung birokrasi dan mengiringi mereka
Ke luar. Berjalanlah mereka. Kawanan serigala
Yang khianat dan kini dipisahkan dari pimpinannya
Sesekali dia meraung pendek. Meratapi langitnya makin senja.

Meratapi bulan merah, pohon-pohon pinus lama
Dari dulu daerah perburuannya. Meraungi betina-betinanya
Dari lantai pualam menengadah lah dia ke angkasa
Angkasa yang kini, lebih dari masalah “saya terharu”
Lebih dari masalah bintang-bintang astrologi
Angka-angka komputer, eksperimen dan presisi teknologi!
Dan di sini, orang bergulat melawan antilogika masih
Masalah empat kebebasan, masalah kurangnya proteina
Elektrifiksi dan cetak biru yang sia-sia
Seseorang berjalan lalu puluhan berjalan, ribuan
Di antara lontaran cakram-cakram api
Seperti sebagian gelombang lama, pelahan meninggi
Membentur seberang sana. Berhenti
Dan berteriak: Hei kau-kau yang di sana! Kalian!
Hei…kau

               ya : KAU!
***