Osborne, SBY, Jokowi, dan media


Liston P Siregar

Niatnya menarik simpati, hasilnya menuai ejekan.  Begitulah pengalaman Menteri Keuangan Inggris, George Osborne.

Akhir Juni, semalam menjelang mengumumkan kajian ulang anggaran –yang dalam situasi perekonomian Inggris saat ini artinya: pemotongan tanggaran lebih lanjut- George Osborne difoto saat kerja hingga larut malam. Di meja kerjanya, di antara kertas-kertas serius, ada bungkus plastik untukk hamburger, kentang goreng, serta dua kaleng Diet Coke.

Foto itu disebar lewat Twitter untuk menunjukkan pada warga Inggris –yang sedang dicekik kesulitan keuangan-  bahwa Menteri Keuangan sama seperti kita-kita semua. Citra burger dan kentang goreng di Inggris masih melekat dengan makanan cepat dan tidak sehat tapi terjangkau –walau mulai bermunculan juga toko burger elite. Murah meriah lah. Pesannya, kira-kira, Pak Menteri yang mau mengumumkan pemotongan anggaran juga makan murah kok, bukan steak dengan sayur-sayuran segar plus anggur merah.

Untunglah rakyat–atau tepatnya media-  Inggris kritis dan menolak ‘tipuan’ para politisi. Mereka yakin foto itu akal-akalan petugas pengatur citra atau spin doctor-nya kantor Menteri Keuangan. Jadi diatur-atur lah biar dapat simpati dari warga biasa. Jadi sudut pandang media justru, kira-kiranya, ‘Geosge Osbourne sok miskin’.

Lebih parah lagi, hamburger itu bukan sembarangan tapi dari warung kelas atas, Byron, dan harga burger termurah di sana £6,75 atau sekitar Rp 100.000. Sedangkan burger yang biasanya, yang jadi santapan rakyat miskin, paling mahal £2 atau kalau di McDonald ada burger yang tak sampai £1, persisnya 99 Pence. Hancurlah upaya menarik simpati itu. Osbourne diejek segala lapisan. 
Mengatur citra memang gampang-gampang susah. Niat dan tujuan tak selalu sesuai dengan hasil. Tentu gampang pula menuduh media yang ‘nyinyir’.

‘Tragedi’ George Osborne itu teringat kembali ketika membaca berita open house Idul Fitri di Istana Negara, yang juga diramaikan penyandang cacat –yang di Indonesia sering dirujuk dengan difable, singkatan different ability atau kemampuan yang berbeda walau setiap manusia memiliki kemampuan berbeda. Seperti biasa ribuan antri di Istana Negara saat hari raya untuk mendapat kesempatan langka dan berharga: bersalaman langsung dengan Presiden SBY.

Wajar jika tak semua yang antri –baik penyandang cacat maupun bukan- bisa bersalaman dengan presiden. Bahwa Presiden SBY membuka Istana Negara untuk rakyat biasa tentu langkah yang baik, walau hasilnya tak selalu baik.

Ada media yang menurunkan: dari 800-an Penyandang Difabel Hanya Hanya 10 Yang Bertemu SBY. Bahkan ada yang lebih sengit: Sudah Gagal Bertemu SBY, Penyandang Disabilitas Juga Disepelekan. Yang muncul malah seolah-olah kurang perhatiannya Istana Negara kepada penyandang cacat, yang penantian selama berjam-jam menjadi sia-sia.

Mungkin karena menyadari keterbatasan waktu atau juga karena sudah jadi tabiat, Jokowi tetap blusukan saat Idul Fitri. Bedanya, Jokowi membagi ‘amplop’ atau beras maupun buku. Kawasan yang dikunjungi dapat dan yang tidak dikunjungi tidak dapat. Tak ada berita ‘miring’ tentang blusukan Jokowi –saat idul fitri maupun saat blusukan rutinnya.

Kenapa?

Paling gampang menyebut Jokowi sudah terlanjur menjadi pujaan media. Tak bakal ada berita yang mengkritik Jokowi. Saat Idul Fitri, ada rakyat Jakarta yang dapat amplop Rp40.000 dan ada yang cuma dapat Rp10.000 namun tak satupun media menyebut Jokowi tidak adil. Juga tidak ada –atau tidak saya temukan- satu media pun yang mengutip warga kampung tetangga yang marah-marah tidak kecipratan blusukan Jokowi.  Untuk Jokowi, bisa dibilang apa pun maksud dan tujuan, hasilnya pasti ‘baik’.

Media tampaknya memang berpihak mendukung total Jokowi.  Tapi hampir pasti penyebabnya karena Anda semua yang berpihak mendukung total Jokowi mengingat media cuma cermin dari agenda masyarakat.
***