Perjalanan Doa – Ilham Wahyudi

seorang dermawan yang mendatangi markas besar duka lara tidak pernah terkejut kala menemukan gelas kering kerontang; dibukanya kran penutup wadah, dan mengalirlah apa yang patut dan mesti mengalir. Dia tidak takut kering? 

tanah kering yang merindukan benih itu tak sekalipun mengada-ngada ketika melayangkan doa ke langit terik; direntangkannya tangan dan kakinya selebar mungkin supaya rumput ilalang yang semaput itu menyiapkan wadah terbaiknya. Kenapa bukan dia?

dia yang percaya kekasihnya tentu tidak akan berhenti hanya karena hari sudah malam dan jalan tampak begitu gelap; dibacanya peta sungguh-sungguh supaya tidak keliru kelak dia sampai pada terang. Itukah orang-orang yang selamat? 

doaku pun begitu.
***
Akasia 11CT

Misal 

Seperti bahasa 
yang tak terucapkan
yang kemudian 
menjadi kata-kata 
dalam puisi. 

Serupa rindu
yang mendesak keluar
yang berubah
menjadi rintih 
tangisan.

Seumpama lapar
yang tak terpenuhi
yang larut berlarut
menjadi keroncongan
dentang berdentang.

Tapi kau tahu, kasih
bahwa bahasa, rindu
juga lapar, sungguh
hanya misal belaka.
***
DeKopi

Melati

Putih yang lekat itu apa benar kau curi dari pengembara bercadar di gurun? Atau hanya kepura-puraan agar semua yang tahir-kudus layak semat pada tamsilmu? Pahamkah kau, gelar Puspa Bangsa sebenarnya ialah hadiah rakyat kami kepadamu, dan puan-puan jelita riang belaka bila kami memanggil mereka Yasmin. Sungguh, jika kau pirsa, pastilah engkau rida anak cucumu kami rawat di halaman rumah. Bahkan dalam sarat upacara sakral, kelopakmu bertabur di kepala sang mempelai. Dan tidak pula percuma, darah semerbak yang kau percikkan anggun betul menempel di tengkuk kami. Kini, masih pantaskah terbit ragu semampang asmamu kondang bergema?

Ilham Waghyudi. Lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia salah seorang Fuqara di Amirat Sumatera Timur, dan seorang tukang mabuk. Puisi-puisinya sering ditolak redaksi. Buku kumpulan puisinya “Pertanyaan yang Menyelinap” akan segera terbit.