Air Wangi Gunung Kapur – Yayak Kencrit

Diajak aku suatu hari, tahun 1987, oleh Syeh Cempe Lawuwarta, seorang seniman jalanan, bekas anak buah Bengkel Teater, untuk menengok gurunya yang juga lagi ketitipan seorang kawan yang tergegar jiwanya akibat tekanan selama aktivitas kerja sosial politiknya di Lombok. Aku turuti saja.

Menuju Pacitan selewat Wonogiri, mulailah kami memasuki daerah perbukitan kapur. Lepas dari jalan aspal, mulai masuk jalan tanah atau batu. Bayangkan ketidaknyamanannya, karena pantat tak pernah nempel nyenyak di jok mobil. Tanganpun tak pernah lepas dari pegangan pengaman, bila tak mau kepala terbentur atap. Goyang sana, goyang sini.

Hanya beberapa tempat hijau. Daerah yang berpenduduk ditandai dengan tanaman singkong dan jagung atau ladang-ladang kering. Meski tampak beberapa ternak, kebanyakan lebih sering menunjukkan sebentuk kehidupan yang berat. Selebihnya tanah coklat dan batu kapur. Di beberapa tempat agak terhibur melihat pohon-pohon jati mulai berbunga. Meski naik mobil, melelahkan benar perjalanan itu. Selalu terheran heran : kok ada manusia mau hidup di daerah seperti ini.

Sesekali, kami sengaja menghentikan perjalanan. Menghela rasa bosan. Diantara rombongan, kamipun mulai beraksi saban berhenti, masuk ke semak-semak diantara bebatuan, naik ke perbukitan: berburu bonsai. Benar juga. Cukup banyak kita temukan jenis tanaman unik dengan bentuk yang unik pula. Sengon, Beringin, Jambu batu, Asam. Terlintas ajaran alam: tetap survive mengejar matahari.

Kegembiraan dan surprise menemukan banyak bonsai, seketika hilang ketika Lawu bilang bahwa perjalanan baru separohnya. Seterusnya panas. Kiri kanan batu kapur, batu kapur, dan batu kapur. Lalu aku pilih tutup mata. Lebih indah sensasi di kepala. Mobil terus jalan, tapi waktu seperti berhenti. Terjaga aku kemudian ditepis Lawu ketika sudah mendekati tempat tujuan.

Wah, Oase
Kelapa, nangka, sawo, jambu, pala, kayu manis, mangga, pisang, asam, ubi jalar, singkong, ubi rambat, sayur mayur. Ayam, kambing, bebek, sapi.

Kami turun dari mobil. Panas terus terik. Kami naik ke halaman rumah yang terletak di atas bukit. Tangga batu tertata rapi. Tampak sebagai hasil kerja keras dari tangan yang terlatih menggarap batu setengah marmer. Bagaimana dan berapa lama mengerjakan itu semua?
Dalam antara bidang-bidang terasering, tampak kandang-kandang ternak. Ribut di dalamnya, tanda banyak kehidupan. Belai angin mulai terasa.

Lengket keringat yang mengalir deras selama perjalanan bagai tersapu seketika. Matahari terasa malu-malu menembus rindang pepohonan. Senyum –mulai tampak akan siap meledak jadi tawa– dari semua wajah anggota rombongan. Yakin, kita akan dapat air minum.

Namun jangan bayangkan kerimbunan macam Kebun Raya Bogor. Ada yang aneh disitu. Lain dari yang lain. Rata-rata tanaman, pendek ukurannya. Hasil cangkok atau stek atau kenapa? Sawo yang rimbun berbuah, tinggal petik sejangkauan tangan. Juga mangga. Juga jambu. Juga buah2 dan pohon lainnya.

Naik anak tangga terakhir, memasuki halaman rumah yang lumayan luas. Hijau. Warna-warni. Taman penuh bunga dan Bonsai. Halaman tanah tak berumput itu bersih. Ada garis-garus bekas sapuan sapu lidi, di atas tanah lembab bekas siraman. Seperti garis sapuan pendeta Zen di potret-potret kuil Jepang.

Bunga Kuning, bunga putih, bunga merah. Bonsai beringin, asam, dan lainnya, tertata rapi. Dalam rak-rak bambu, tergantung-rangung atau nancap di tanah. Atau, terletak anggun di atas batu. Di sepanjang teritis genteng, tergantung serenteng bonsai dan tanaman rambat. Semua pot untuk bonsai serta bunga itu terbuat dari karet bekas ban luar mobil. Berbagai bentuk, berbagai besaran. Unik, apik, menarik. Tentu hasil kerajinan dari tangan seorang seniman kreatif, pikirku. Siapa? Aku mulai penasaran, melanjutkan rasa kagumku sebelumnya.

Eddo, kawanku lulusan UNPAD), tampak lagi jongkok mengerjakan sesuatu. Ah, memotong ban dan menjahitnya. Ia terkejut, tak mengira kami datang. Berdiri, kamipun berpelukan. Ia tampak lebih gemuk dari sebelumnya. Wajahnya cerah. Pandang matanya tak seliar sebelumnya. Mulai mau bertatap mata dan menjawab ketika ditanya. Meski masih belum banyak bicara, ia mulai kelihatan sehat.

Sebelum dia kami putuskan untuk mendapatkan terapi ke tempat ini, memang parah benar. Kerja untuk masyarakat Lombok membuat jiwanya tergoncang. Membantu menjadi penengah banyak konflik antara rakyat dengan aparat pemerintah menjadikannya sering berurusan dengan dwifungsi ABRI. Maksudku, serdadu yang sering beralih fungsi jadi centeng pengusaha, tuan tanah, atau aparat penindas, atau penyengsara rakyat. Acap kali dicap komunis, penghasut rakyat untuk berontak, organisator perlawanan rakyat dan seterusnya. Itu membuatnya tiba-tiba suatu hari menjadi liar, lepas sadar lalu mengamuk, atau takut dan mengira semua orang adalah intel atau tentara. Paranoia.

Dia lalu antar kami menemui Pak Iman, masuk ke rumah bambu yang lumayan besar, yang berdesain tradisionil dengan interior unik disana sini. Nyaman dan dingin di dalam. Ternyata Pak Iman tak ada. Lagi di kebun atau entah kemana. Hanya ibu disana, sedang masak. Kebetulan. Kami serahkanlah oleh oleh dari kota ; bahan masakan, gula, teh, kopi. Lalu kami berbincang di dapur, yang sekaligus jadi penyimpan bahan-bahan dasar pot dan alat-alat kerja. Semua tertata rapi.

Keluar dapur, mulai aku longak longok, selidak selidik. Tanya ini, tanya itu. Lawu, sabar menemaniku, menjawab segala tanya dan lengkap berceritera. Kami jalan ke kebun di belakang rumah. Terlihat ada larik larik rapi tanaman pendek, berdaun kecil, batang-batang menggelembung, mengisi beberapa bidang terasering berbatas batu yang ada di situ. Keseluruhannya luas juga. Dilingkupi keteduhan pohon buah atau pohon kayu di sudut-sudutnya. Kebun apa itu? Sayuran, bukan. Bebungaan, bukan. Lalu apa? Aku mendekat. Astaga.

Bonsai! Ribuan bonsai beberapa jenis pohon. Entah apa saja –kebanyakan memang beringin– terbagi dalam petak-petak menuruti umur dan jenis. Tumbuh subur tak lebih tinggi dari betis.

Aku sudah bilang dulu, bahwa tanah disitu ada karena bawaan air hujan atau angin. Di kebun begitu pula. Tak mungkin itu beringin tumbuh sebesar beringin di Alun-alun Solo, karena tanah di kebun itu cuma setebal 20 sentimeter saja. Juga di tempat lain. Palingan yang terdalam 1 meter. Baru disitulah pohon-pohon cangkokan atau stek atau bibitan ditanamkan atau berkembang sendiri.

Bersatu dengan salah satu bangunan kandang ternak, terletak di ujungnya kamar mandi dan sumur. Aku penasaran melongok kedalam sumur berdiameter 3 meter itu. Gelap. Tak kelihatan dasar airnya. Kutimba, berat benar air terbawa dari ember yang terpasang di kedua ujung tali karet ban. Bening air itu. Dan wangi. Kuminum sepuas-puasnya. Manis pula rasanya. Sumur apa pula ini.

Menurut ceritera Lawu ia ikut membantu penggalian sumur itu. Walau cuma di bagian terakhirnya. Bagian untuk lebih memperdalam genangan airnya saja menjadi 2 meter dalamnya. Dari atas sampai ke dasar 25 meteran. Dan keseluruhannya selesai dikerjakan selama 13 tahun

Awalnya dikerjakan sendirian oleh Pak Iman, tentu diantara cemoohan orang disekelilingnya. Gila, tidak waras, tak masuk akal, kurang kerjaan. Dengan ilmu yang dipunyainya –diantaranya kayu silang tiga– diyakininya bahwa di tempat itu mengalir deras air tanah. Bahkan ada sungai bawah tanah menuju laut selatan di seberang bukit.

Dulu kubilang juga, semua daerah disitu adalah melulu batu. Ditatah oleh pak Iman sepotong demi sepotong, sejengkal demi sejengkal, saat ke saat. Terus menerus. Pada tahun yang ke sepuluh, barulah dia bersyukur ; air muncrat membasahi tubuhnya. Tak cukup berhenti disitu. Diteruskannya kerjanya. Menyelam, menatah batu. Menyelam menatah batu. Disaat itulah Lawu datang berguru. Ikutlah dia belajar; menyelam, menatah batu. Menyelam, menatah batu.

Tak heran bila orang-orang menganggap pak Iman itu seorang sakti atau berilmu. Membayangkan kesabaran tinggi yang dibutuhkan selama kerja kerasnya dan keteguhan pada keyakinannya saja telah menawarkan kepandaian dan kesaktian. Apalagi mengerjakannya.

Lagipula terbukti bahwa di musim kemarau hanya sumur itu yang tak pernah kekeringan air. Orang-orang desa tetangga –bahkan orang luar kota– antri untuk menimbanya. Ada yang percaya air itu membawa berkah, menyimpan kesaktian. Dan semua orang memang bilang : air dari sumur itu memang manis dan wangi.

Sederhana itu indah
Sore tiba. Panas yang terus terik itu -selama aku disitu- tak terasakan. Segala cahaya disaring dedaunan sebelum menimpa kepala, mengiring kedatangan seseorang yang memanggul cangkul, dari arah bukit seberang. Itu dia Pak Iman.

Bertubuh kukuh, telanjang dada, rambut panjang sedikit ikal sampai di bawah pundak, berkumis tipis. Kutaksir berumur setengah baya. Tengah 50-an. Mata tajam, tapi bersahabat tersenyum ke semua tamu. Menyangga tubuh yang tak terlalu tinggi, kaki kokohnya melangkah pasti, menuruni anak anak tangga batu. Berjalan ke arah kami. Mengulurkan tangan. “Selamat datang, selamat datang.”

Kami semua bersalaman, beberapa memperkenalkan diri. Tanganku yang kurus bersetangkap dengan telapak kasar dan keras, bersijabat kencang. Kemudian dia meminta diri untuk bebersih diri, setelah menyimpan cangkul mengkilat yang tajam diasah kerja. Dia persilahkan kami menunggu, dan minta Lawu mengantar kami masuk ke ruang tamu.

Ruang tamu itu sekitar 6 kali 7 meteran persegi. Menempel di dinding gedek bambu, rentengan kursi kayu dan bambu berbagai bentuk, dengan meja-meja kecil didepannya. Tak ada TV atau radio, seperti biasanya masyarakat kota menata ruang tamu. Hanya beberapa lampu minyak tergantung di tiang rumah. Dan satu yang terbesar dengan kemasan antik tergantung anggun di tengah ruang. Tak ada listrik disitu –dan tak perlu, pikirku.

Disuatu sudut amben tua dari galaran –bambu yang dipecah tumbuk– tampak mengkilat tanda kerap di duduki atau ditiduri. Lantai tanah padat dan bersih, membuat ruangan terasa dingin dan nyaman. Di dinding atas rentengan kursi itu tergantung beberapa lukisan cat minyak kanvas. Tepat berhadapan dengan pintu masuk, tergantung lukisan abstrak, penuk lekuk, bagai ornamen ajaib dengan warna-warna campuran. Pekat, mendalam. Seperti mandala. “Itu gambar pak Iman”, terang Lawu. Dia ternyata melukis juga, sesekali. Dalam nada yang sama, beberapa gambar Lawu mendampinginya.

Hmm, kenapa tidak. Mengatur rasa, membersihkan pikiran, mencipta bentuk2 baru. mengurai harapan.
Muncul kemudian Pak Iman. Berkain lurik terbuka, merangkapi kaos putih tua, bersarung, memakai sandal ban buatan sendiri. Rambutnya dibiarkan terurai lepas, mengkilat seusai keramas. Duduk di kursi, tepat di bawah lukisannya.

Tampak seketika bagai kesatuan bumi langit. Ia memang pantas digurui. Kesederhanaan, kesungguhan dan perhatian menyeluruh pada hal-hal sekecil apapun. Keyakinan untuk terus survive dengan cara hidup seperti itu, meskipun tak harus kaya raya, telah terbuktikan bahwa dengan menjual beberapa bonsai pilihannya, bisa menjaga hidupnya untuk beberapa tahun. Hidup sederhana, yang indah.

***