Hasil sementara: Cicak 1 Buaya 0

Liston P. Siregar

1. Kapolri dan akhirat
Kalau Kepala Kepolisian Republik Indonesia -siapapun dia- membantah tidak ada rekayasa dalam penyidikan Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, memang begitulah seharusnya. Kalau Kepala Kepolisian itu, Jenderal Bambang Hendarso Danuri, antara lain mempertahankan keyakinannya dengan : “Dunia akhirat taruhannya…”1 mestinya dia mundur untuk membangun masjid, gereja, klenteng, atau kuil di kampungnya. Walau memang disumpah di bawah kitab suci agama, jelas tak ada hubungan antara jabatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dengan dunia akhirat.

Dari 45 pasal dalam UU Kepolisian, yang disebut adalah peraturan disiplin anggota kepolisian, kode etik profesi dan anggota kepolisian tunduk pada kekuasaan peradilan umum. Walau ada kata agama (‘hormat-menghormati antar pemeluk agama’) dalam peraturan disiplin, tetap saja pertanggungjawaban polisi bukan di dunia akhirat, tapi di depan Komisi Kode Etik Profesi, dan Kapolri bertanggungjawab kepada Presiden.

Selasa lepas tengah malam 10 November, Kejaksaan Agung mengembalikan berkas perkara pidana tersangka Chandra M Hamzah ke polisi untuk dilengkapi lagi 2, dan logikanya seluruh keyakinan Kapolri di depan Komisi III DPR menjadi semakin rapuh. Disebut semakin karena sebelum pengembalian berkas saja sudah langsung dibantah banyak orang, termasuk oleh mantan istri Chandra Hamzah yang kini tinggal di Amerika. Pengembalian berkas ini ditempuh Kejaksaan Agung -sebutlah secara kebetulan- setelah Tim Pencari Fakta, TPF, kasus Bibit Chandra menyampaikan kesimpulan sementara kepada Presiden, yang langsung meminta agar Kapolri dan Jaksa Agung mempelajari kesimpulan sementara itu.

Berkas Bibit Samad Rianto sendiri belum ada beritanya, jadi mestinya dianggap sudah lengkap atau mungkin masih menunggu besarnya gelombang tekanan berikut dalam kasus Bibit dan Chandra. Dalam kesimpulan sementaranya yang disampaikan kepada Presiden, TPF menyebutkan fakta dan proses hukum yang dimiliki Polri tidak cukup untuk menjadi bukti tindak pidana korupsi, penyuapan maupun pemerasan dalam kasus Bibit dan Chandra 3. Artinya TPF tidak memisahkan Bibit dan Chandra, walau cuma berkas Chandra yang dikembalikan.

Faktanya adalah usai bertemu presiden, Jaksa Agung Hendarman Supanji langsung menggelar rapat yang kemudian memutuskan berkas perkara Chandra M. Hamzah masih belum lengkap. Paling tidak ada satu langkah yang sudah diambil sebagai tindak lanjut dari pertemuan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Reaksi polisi atas pengembalian berkas ini -dan konsekuensinya- tentu jadi urusan polisi, biarpun Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung yang sering dituding-tuding melakukan rekayasa melemahkan KPK.

2. Presiden jaga image
Ketika rekaman pembicaraan dengan Anggodo Wijaya -adik buron tersangka Anggori Wijaya- dengan berbagai pihak diputar dalam sidang Mahkamah Konstitusi, Selasa 3 November 2009, terdengar antara lain “RI 1 kan suratnya sudah dikirim” atau “tapi yang RI 1 itu penting… nggak wani dia ngancam.”3 Dan dari sejak 2004 sampai sekarang, RI 1 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Sebenarnya yang dibantah sebagai pencatutan nama RI 1 -apapun kelak akhir dari kehebohan hukum KPK, polisi, dan Anggodo pastilah tak bakal ada verifikasi pencatutan tersebut- sering disebut-sebut di sejumlah media jauh hari sebelum MK belum memutar rekamannya.

Dan Bulan September, RI 1 mengeluarkan surat peraturan untuk menunjuk 3 pimpinan KPK yang baru atau seminggu setelah Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian. Peraturan ini dikritik banyak pihak karena masih ada 2 pimpinan KPK lain, Haryono Umar dan M Jasin. Apalagi ketika Ketua KPK, Antasari Azhar. dijadikan tersangka dalam dugaan pembunuhan. tidak diperlukan penunjukan pimpinan KPK baru. Jadi jika Antasari Azhar kelak tidak bersalah, dia sempat dengan gampang duduk lagi ke jabatannya, namun setelah ada peraturan presiden maka Antasari, Bibit, Chandra -kalaupun tidak bersalah- sudah tak akan mudah untuk kembali ke jabatannya.

Setelah mengeluarkan peraturan menunjuk 3 pimpinan KPK yang baru, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk Tim Pencari Fakta, TPF, untuk memverifikasi proses dari kasus yang menimpa Bibit dan Chandra, yang ditangguhkan penahanannya oleh polisi. Rekomendasi dari TPF ini yang sedang ditunggu presiden. Walau tak perlu ada tindakan yang diambil berdasarkan rekomendasi, paling tidak RI 1 bisa mengaku menampung aspirasi masyarakat yang sejak Oktober menentang penahanan Bibit dan Chandra dengan membentuk Tim Pencari Fakta, sekitar satu setengah bulan sejak kontroversi penahanan keduanya.

Kronologi penerimaan keseimpulan sementara TPF, pemanggilan Kaplori, Kejagung, dan Menkopolkam, yang disusul dengan pengembalian berkas perkara Chandra bisa menunjukkan reaksi cepat presiden. Namun pada saat yang sama jelas bisa juga dilihat sebagai reaksi biasa-biasa saja karena baru ditempuh setelah gerakan satu juta di Facebook di akhir Oktober menggelembung. Beberapa hari sebelum penangguhan penahanan Bibit dan Candra, petisi di Facebookers Peduli Keadilan-Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mencapai sekitar 200.000. Sementara itu sejumlah tokoh masyarakat secara terbuka juga menyatakan dukungan kepada Bibit dan Chandra, antara lain mantan Wakil ketua KPK Erry Riyana dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asidiqi 5.

Dan gerakan ini semakin membesar. Saat aksi unjuk rasa di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu 8 November, tercatat sudah 1 juta 81 ribu atau lebih dari target awal satu juta, Dan ribuan orang berani muncul ke jalanan untuk mendukung KPK, antara lain membawa foto Anggodo Wijoyo yang mengenakan seragam polisi 6. Para facebookers ini sempat pula ribut dengan Ervan Brimob -yang mengenakan seragam Brigade Mobil- yang waktu itu kira-kira menulis -facebooknya kini sudah raib- kalau polisi tidak membutuhkan masyarakat dan hidup Kepolisian RI: makan cicak-cicak itu.

Ratusan orang langsung mengecamnya, sampai ada yang protes resmi ke atasan Ervan Brimob di Palembang. Setelah sempat minta maaf kepada seluruh warga Indonesia di facebooknya, Ervan Brimob pun menghilang dari situs jejaring sosial itu. Dan pernyataan Ervan Brimob kira-kira bersamaan dengan upaya Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring, dan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri, untuk meminta media massa tidak menggunakan istilah cicak dan buaya, yang disebut-sebut oleh Kepala Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian RI, Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji. “Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya,” kata Susno Duadji merujuk KPK yang menyadap pembicaraan telepon yang melibatkan aparat Kepolisian dan Kejaksaan Agungi 7.

Susno Duadji sendiri, bersama Wakil Jaksa Agung, A.H. Ritonga -yang diduga disebut dalam rekaman pembicaraan Anggodo- sudah mengundurkan diri. Jelas mundurnya kedua pejabat tinggi itu bukan ujung dari kasus penyidikan, penetapan sebagai tersangka, penahanan, dan penangguhan penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Namun masih belum jelas seperti apa ujungnya itu kelak.

Yang juga jelas, untuk sementara Cicak-Buaya: 1-0.
***
1. Tempo 8 November, 06.22 WIB
2. Kompas 10 November, 00.24 WIB
3. Kompas 9 November 19.19 WIB
4. R adio Elshinta, 3 November
5. Metro TV, 8 November
6. BBCIndonesia.com, 31 Oktober 13.13. GMT
7. Majalah Tempo, 06 Juli 2009