Tanah Sejengkal Adalah Hidup – Yayak Kencrit

Dari seorang romo Jesuit yang pernah sibuk mendampingi orang-orang sial di tempat penampungan sampah di daerah Cilincing, Jakarta, aku dapat kabar ; “Pemulung sampah yang mencoba mempertahankan tanah bekas gunungan sampah sudah ada korban sekitar 10-an orang mati. Ditembak atau disiksa.” Wah serius, pikirku.

Meskipun gelandangan, mereka warga negeri yang mempunyai hak hidup sama dengan yang lain. Tak di bantu untuk memperbaiki taraf dan harkat hidupnya, malah diusir-usir, bahkan dibunuh. Soalnya, ternyata tak sederhana seperti kenaifan yang kubayangkan sebelumnya. Ada petinggi tulen waktu itu yang mendengar ada putaran duit milyaran rupiah setahunnya hanya dari mulung sampahnya manusia-manusia Jakarta –tapi pemulungnya dianggap binatang. Itu mangkanya dibentuklah Pasukan Mandiri ; orang-orang terlatih untuk ngurusi pemulung.

Ingatkah bahwa suatu kali Kompas pernah membuat laporan seri khusus di tengah 19080-an? Kiriman orang-orang berseragam merah atau oranye itu kemudian –tak lebih– merebut wilayah dan lahan pulungan. Kerja mereka cuma ngutip hasil jual sampah kerja keras pemulung-pemulung asli. Itu kerja keras benaran. Pemulung asli yang sudah bertahun-tahun memulung sampah –entah senjak kapan– yang meratakan beberapa wilayah, membangun gubuk-gubuk sederhana, mencangkuli, dan menancapinya dengan berbagai tanaman. Pisang, kacang panjang, singkong, pepaya.

Tanaman-tanaman masa pendek dan bukan tanaman kayu. Bertahun-tahun mereka bekerja. Memetik hasilnya dan menjualnya untuk menutupi kebutuhan hidup yang sederhana. Ditambah hasil pulungan, dikirimnya ke desa asal. Beberapa disisihkan untuk menghidupi koperasi yang mereka dirikan bagi sesama pemulung. Begitulah seterusnya.

Beberapa tempat disekitar buangan sampah jadi hijau. Rimbun dengan tanaman-tanaman, juga berkeliatan ternak-ternak. Ini membuktikan kemampuan survival untuk hidup di belantara Jakarta. Patut diacungkan jempol, mestinya. Ketenangan yang tiba-tiba diusik. Tanah yang mereka apik-apik untuk menyambung hidup, tiba-tiba masuk masterplan DKI sebagai kompleks real estate. Belum lagi datang ide Pasukan Mandiri.

Waktu itu ibu negara, mendiang Tien Soeharto, sampai datang meresmikan dan dan berpose sebagai tokoh agung dalam potret-potret koran. Para pemulung bertahan, dengan tegas menolak beberapa kebijakan konsep Pasukan Mandiri termasuk penyerahan upeti berjuta rupiah perhari. Karena pembangkangan itulah mereka diserbu. Dengan kekerasan. Pakai buldoser dan bedil. Lalu sepuluh orang itu mati. Tak terhitung yang luka dan hilang.Kuingat, memang sempat menjadi berita koran. Sebentar, terus hilang dan dilupakan. Huh, cuman kabar tentang gelandangan.

Lantas dimana Pak Jahid? Ia ternyata bagian dari beberapa orang yang dituakan dikalangan masyarakat pemulung di Jakarta. Kubilang dengan istilah masyarakat karena memang kelompok manusia yang memilih hidup dengan profesi itu ada banyak nian.

Bulan April lalu menurut seorang kawan di PBHI Jakarta –yang sekarang mendampingi dan membantu mereka untuk melawan keras import sampah asal Eropa– ada sekitar 400 ribu nyawa yang mengandalkan dan menggantungkan hidup dari sampah. Pak Jahid dituakan karena dianuti hampir seluruh omongan dan pemikirannya. Diteladani sikapnya, dituruti hampir seluruh lakunya.

Ia tak pernah bersekolah formal, meski bisa baca tulis, entah belajar dari mana. Lahir di jaman Belanda, di dusun Cikarang dekat Cirebon, bertahan hidup dengan melakukan apa saja. Termasuk menyamar menjadi orang gila dan mengantarnya melihat dunia. Ia menyeludup ke dalam kapal, sampai ke Amerika.

Tak banyak cingcong –asyik benar istilah ini– diajaknya segerombolan orang menyerbu tanah bantaran rel kereta api. Dari Timur Bekasi sampai ke Barat. Juga tanah-tanah pinggiran rel ke arah Bogor. Yang aku tahu pasti –dan mungkin pernah dilihat banyak orang– adalah di balik tembok di dekat stasiun KA Senen. Pak Jahid bilang, kalau kau beli kacang panjang semeteran dan sayur mayur segar di pasar Senen dan Kramatjati, itulah hasil kerja pasukannya.

Sedikit demi sedikit. Tapi maju terus. Merambat, sesuai kemampuan masing-masing penggarap. Hijau sudah sampai berkilometer di tanah pinggiran rel kereta api. Tak ada yang terganggu. Tanah yang sebelumnya penuh perdu, rerumputan dan alang-alang menjadi tanah produktif dan menghidupi. Sudah beberapa gelandangan Jakarta berubah profesi menjadi petani? Mereka telah ikut andil mengisi darah segar dan sehat bagi sebagian jutaan orang Jakarta lewat sayur mayur dan bunga. Sejumlah kampung di beberapa wilayah DKI juga jadi sasaran serbuan mereka. Bekerjasama dengan penduduk setempat, dimintanya tanah-tanah pinggir pagar yang terbebas dari beton untuk digarap. Aku tahu, sampai ke perumahan di Depok juga.

Yang ditangani memang tanah tak seberapa luas. Menghitungnya sederhana. Pinggiran pagar paling cuma selebar 20 sampai 50an cm. Tapi panjangnya tak terkira. Mereka memang tak rakus benar, karena sadar keterbatasan tenaga dan kemampuan. Diserahkannya kembali pengurusan olah tanah di pagar-pagar orang kepada pemiliknya apabila diminta, atau sudah beberapa kali dipetik hasilnya. Ada yang memang diteruskan, tapi lebih banyak yang kembali terlantar seperti semula. Sayang. Tapi tak semua penyerbuan tanah orang, sedamai seperti dongeng diatas. Di beberapa kebun karet negara –yang sudah tak produktif– seperti di Cibubur misalnya, melahirkan ceritera panas seperti halnya didaerah pembuangan sampah di Jakarta Utara. Meski tak ada korban jiwa, tetapi ada keributan. Pohon Karet ditanam berjarak 3-5 meter. Ketika tumbuh membesar, melulu rerumputanlah disekitarnya. Mereka menilai ini pemborosan dan penghinaan alam semesta!
Maka diserbulah. Puluhan orang terlibat, sangking luas dan menantangnya kebun-kebun itu. Dalam waktu tak lama jadilah kebun berbagai tanaman pangan. Juga bebungaan. Ini dia! Ternyata mananam bunga menguntungkan juga. Hotel-hotel di Jakarta, atau meja-meja makan dan meja-meja tamu orang-orang kaya membutuhkan dengan rakus. Ingatkah ibu negara waktu itu, Tien Soeharto, melenggang di suatu selasar pendapa di Taman Mini, diatas taburan bunga melati sepanjang 300 meter? Dari para penggarap keras itulah sebagian datangnya.

Setelah beberapa tahun mereka menggarap dengan nyaman dan damai, tibalah malapetaka. Datang tiba-tiba segerombolan orang atas nama negara –tanpa ba, bi, bu– menggasak dan membabati tanaman-tanaman.b Tak peduli tanaman baru atau lama, sedang berbuah atau berbunga. Tebang, babat, cabut. injak-injak. Tak ada ampun.


Keruan saja petani-petani melawan. Ada hubungan batin petani dengan tanaman-tanaman mereka. Bisa dibayangkan rasa marah mereka bila ada orang lain memperlakukannya semena-mena. Tak heran kalau serentak pula mereka mengangkat golok, arit, pisau dan cangkul mencoba mempertahankan yang masih tersisa. Konon terjadi tawar menawar. Para klandistin itu akan pergi setelah masa panen tanaman terbanyak tiba. Tak ada koran yang memberitakan. Bisa jadi karena cuma perkara para beberapa gelandangan atau penganggur. Sebuah cerita biasa. Bisa jadi karena memang tidak sedramatis peristiwa di Cimacan, atau Petrus, atau Peristiwa Priok –yang marak hampir bersamaan waktu.

Tak ada yang membantu, dan kalahlah mereka. Menyingkir pergi. Peristiwa ini cuma jadi dongeng. Sedang kebun karet itu –baru kutahu kemarin ini– menjadi kompleks para jendral. Pantas saja Pak Djahid dan kawan-kawannya tak menyerah. Mereka mencari sasaran serbuan lain. Ini karena mereka tahu bahwa masih banyak orang dibelakang mereka yang antre menunggu ide dan arahan para pelopor.

Kali ini, dengan cara baik-baik mereka menawarkan diri menjadi juru kunci kuburan.. Ratusan jumlahnya di pinggiran Jakarta. Tak ada soal tidur di dalam salah satu cungkup makam, berdampingan dengan nisan, atau mendirikan gubuk sederhana dan murah dari bambu. Mereka pilih cungkup utama yang tak terawat, jadi tak pernah ditengok lagi. Asal ada tempat berteduh.

Tugas juru kunci membersihkan kuburan dikerjakan dengan penuh gembira. Mereka tanami bunga disekitar nisan, disapu dan disirami. Perempatan nisan-nisan ditanami sirsak, srikaya, atau bunga kamboja. Pagar kompleks makam juga ditanami sambil mereka titipkan hidupnya. Pisang, pepaya, alpukat, bambu, sirsak, srikaya, jambu, atau nangka. Ditanam berselang seling. Pot-pot cabe rawit, bergantungan di batang-batang pohon randu. Juga bergantungan di teritis-teritis cungkup makam. Beberapa pot sayur dan bunga mendampingi nisan. Mereka panen berurutan sesuai musim dan masa tanam. Asri jadinya kuburan itu. Dan hidup.

Dan tak ada protes. Pewaris nisan justru senang makam keluarga jadi bersih dan rapi. Bunga tabur mawar, kenanga, dan melati bisa dibeli. Para pewaris nisan berterimakasih, bahkan seringkali memberikan tips uang seusai ziarah. Aku mengenang ceritera hampir 12 tahun lalu. Kukira, beberapa tentu masih bertahan di makam-makam. Sampai sekarang.

Kuharap begitu. Inisiatif murni ini bahkan bisa ditularkan.
***