Sembilan Juta Sepeda

Liston P. Siregar

There are nine million bicycles in Beijing
That’s a fact
Mike Batt dan Katie Melua

Beijing berjanji kualitas udaranya akan memenuhi standard Badan Kesehatan Dunia, WHO, saat Olimpiade Agustus. Itu tekad 2002, tapi sampai 8 Juli lalu –sebulan persis menjelang Olimpiade— polusi udara masih rata-rata 6 hingga 7 kali dari standard WHO, walau Beijing tetap yakin dengan targetnya. Caranya, semua pekerjaan bangunan ditutup, produksi pabrik-pabrik dihentikan, dan mobil non-angkutan umum digilir. Hampir dipastikan kualitas udara Beijing akan membaik, tapi mungkin sepanjang Olimpiade saja. Setelah itu kembali ke polusi lama karena tampaknya yang penting adalah pertumbuhan ekonomi –dan ada ekonom yang memperkirakan ekonomi Cina akan melewati Amerika Serikat Tahun 2035 nanti. Jadi, mungkin, kenapa rupanya kalau kualitas udara tak memenuhi standard WHO? Toh Olimpiade sudah selesai. ***
Antara tahun 1976 dan 1977 di Medan, saya mengayuh sepeda ke sekolah; setiap hari selama hampir 2 tahunan, pastinya kelas 3 SMP sudah tidak naik seepda lagi. Waktu itu abang sulung saya sudah punya SIM dan punya motor maka abang tengah yang duduk di goncengan. Sementara saya mulai enggan untuk menumpang keluarga dokter di dekat rumah yang punya mobil, yang menjadi tumpangan selama SD. Sepeda menjadi semacam titik awal kemandirian. Saya lupa kenapa berhenti, walau banyak yang masih terkenang. Pagi-pagi, ketika belum satupun orang rumah yang berangkat –bapak dan mamak naik Vespa, kedua abang bergoncengan Yamaha bebek– saya sudah meluncur dengan sepeda perempuan yang tidak berpalang, peninggalan tante saya. Meluncur karena dari teras di depan rumah ada turunan dari semen, supaya motor tak diparkir di halaman tapi masuk naik ke dalam rumah. Turunan itu amat membantu untuk memulai kayuhan. Walau masih bertenaga dan belum dihantam terik sinar matahari, perjalanan pagi sebenarnya tidaklah enak. Sepi tak berkawan. Pulangnya banyak teman, tapi masih terkenang kuat Johny Sihotang yang menjadi teman setia menuju arah yang sama sebelum berpisah di satu titik kira-kira sekitar 15 menit sisa perjalanan. Sekali-sekali saya bertemu kedua abang maupun teman abang, jadi ditariklah saya. Dan turunan pagi yang sudah menjadi tanjakan siang tetap saja nikmat. Kayuhan kuat terakhir dan tuntaslah perjalanan. Di Semarang, sekitar 3 tahun saya bersepeda, sampai tamat kuliah. Urusannya lebih menghemat. Waktu itu angkot 100 perak sekali jalan –dan tak ada tiket borongan– ditambah hampir setiap hari main basket. Artinya 400 perak per hari untuk bolak balik dari tempat kos ke kampus. Maka digonceng Honda GL 125 Mas Dar –anak Semarang asli yang tahu tempat jual sepeda bekas— saya membeli sepeda 10.000 perak. Warnanya hijau tua, berpalang, dan hanya satu gigi –kalau istilah keren sekarang fixed gear. Tanpa rincian hitungan, saya yakin sepeda itu cepat balik modalnya karena hanya sekali-sekali saja saya tak mengayuh. Rada berat rasanya mengayuh untuk berangkat kuliah siang hari selepas bangun tidur. Selebihnya mengayuhlah demi ngirit. Jelas penghematan tak sampai ke orang tua di Medan, karena saya mau menikmati uang ekstra untuk nonton atau bersenang-senang lain. Dan April 2008 saya buka dengan bersepeda di London. Alasannya rumit, tak terlalu pasti, dan saling bercampur baur. Harga minyak yang meroket membuat istri saya tak keberatan membeli sepeda diskon BH buatan Spanyol dengan 3 gigi depan dan 7 gigi belakang. Di katalog, sepeda milik saya itu jenis city road,; ban tidak setipis untuk balapan juga tak setebal off road. Misi awalnya adalah belanja ke supermarket sekaligus mendorong putri saya bersepeda ke sekolah. Hasilnya, menurut istri saya, penggunaan bensin menurun. Ada juga urusan sok akrab lingkungan. Dengan dentuman berita pemanasan global yang semakin bertubi-tubi, agak terserap juga prinsip ‘setiap orang bisa membantu pengurangan emisi karbon.’ Mengayuhlah saya untuk jarak-jarak yang masih masuk dalam daya jangkau sepeda sambil pelan-pelan berkembang sekitar 6 mil atau sekitar 9 kilometer, jarak dari rumah ke kantor. Ikut juga numpang alasan sok sehat. Disebut sok karena memang masih dipertanyakan apakah setelah bersepeda badan semakin sehat atau malah tubuh semakin lelah. Soalnya nafas tetap saja terasa mau putus di tanjakan, apalagi ketika angin keras berhembus. Tapi berpeluh setiba di kantor, mandi, dan kemudian duduk di depan komputer terasa jauh lebih segar, daripada cuma jalan dari stasiun ke kantor dan langsung duduk di depan komputer. Bisa jadi alasannya sebenarnya adalah segar, bukan sehat. ***
Sepekan setelah bom di kereta bawah tanah dan bus di London, 7 Juli 2005, penjualan sepeda meningkat pesat. London Cycling Campaign mencatat kenaikan penjualan antara 10% hingga 30%. Salah satu toko –seperti dikutip BBC Online–mengaku menjual 15 sepeda per hari atau naik 5 kali lipat dalam waktu 2 pekan setelah bom London. Mereka yang masuk toko sepeda mengaku merasa lebih aman naik sepeda untuk berangkat dan pulang kerja. Tahun 2008, pengayuh sepeda semakin bertambah. Statistik Transport for London (TfL) mencatat jumlah pengayuh Maret 2008 meningkat 91%  dibanding tahun 2000, dan masih terus naik. Bahkan dari Maret 2007 hingga Maret 2008 –masa-masa ketika sepeda sudah populer– jumlah para pengayuh masih bertambah hampir 5%, dengan sekitar 480.000 perjalanan sepeda setiap harinya. Targetnya adalah peningkatan 400% pada tahun 2005 atau setara dengan 5% dari total lalu lintas. Di London sudah disusun London Network untuk jalur sepeda dari satu ujung kota ke ujung lain dengan jarak total 500 kilometer dan akan mencapai 900 kilometer Tahun 2010 nanti –walau tetap saja akan ada jalur sepeda yang tiba-tiba raib di ujung jalan karena jalan-jalan sempit London tak mungkin diperlebar lagi. Ada peta lengkap jalur sepeda di London –dikirim gratis oleh TfL— dengan pilihan jalan raya, jalan sepi, atau lewat taman dan trotoar yang berbagi dengan pejalan kaki. Juga ada 9 perintah TfL, antara lain taksi yang merapat tiba-tiba untuk naik turun penumpang atau kenderaan yang belok kiri tanpa lampu petunjuk. London seperti sedang jatuh cinta sama sepeda, walau pernah ada perusahaan yang melarang karyawannya bersepeda ke kantor. Pertengahan 2007, Jacobs Engineering Group –yang justru menjadi konsultan TfL untuk angkutan yang berkesinambungan— mengirim email ke seluruh karyawan agar menggunakan mobil atau angkutan umum dengan alasan keamanan. Para karyawan hanya boleh naik sepeda jika memang jadi tuntutan pekerjaan, seperti untuk survey di kawasan tepi sungai. Jacobs dikecam orang, tapi sebenarnya kekuatirannya beralasan. Salah satu hal yang masih menghambat sejumlah orang turun ke jalan dengan sepeda memang urusan keselamatan, walau jumlah kecelakaan sepeda turun terus. Tahun 2006, tercatat 19 pengayuh sepeda mati dalam kecelakaan di London, dan turun menjadi 15 tahun berikutnya. Jika dihitung dari proporsinya, jauh lebih kecil karena jumlah perjalanan sepeda yang meningkat pesat. Dan para pegiat sepeda –bersama dengan pemerintah— menekankan manfaatnya jauh lebih tinggi dari resiko. Singkatnya, manfaat sudah pasti didapat, sedang resiko masih tergantung nasib sial dan kewaspadaan Bagaimanapun semakin banyaknya gerombolan sepeda agaknya membuat kekuatan tawar menawar makin tinggi pula. Pagi hari jam berangkat kantor –juga jam pulangnya— bisa terlihat sepeda lalu lalang hampir di semua jalan London dan tidak didominasi para kurir lagi. Di jaman mayoritas kurir sepeda, ada semacam perseteruan antara pengayuh sepeda –yang melaju kilat dengan menyusup ke setiap celah lalu lintas— dengan kurir sepeda motor, mobil barang, dan taksi. Tapi dominasi para kurir sudah dikalahkan oleh pengayuh yang –sebutlah– alon-alon asal klakon walau tak sedikit yang bergaya pembalap Tour de France. ***
There are nine million bicycles in Beijing
That’s a fact
It’s a thing we can’t deny
Like the fact that I will love you till I die.
Lagu Nine Million Bicycles dari Mike Batt dan Katie Melua itu tidak ada urusan dengan kampanye sepeda. Tapi jumlah sepeda dalam lagu itu bukan sekedar karangan. Memang diperkirakan ada 9 juta sepeda di Beijing, yang berpenduduk legal 17 juta plus 3 juta pekerja migran. Jadi kira-kira 2 sepeda untuk seorang penduduk Beijing. Angka itu membuat Beijing tetap merupakan ibukota dunia yang paling bersepeda, walau banyak yang menduga sebagian dari 9 juta sepeda itu tinggal nongkrong doang, atau dipakai saat akhir pekan di kawasan wisata. Sebenarnya bersamaan dengan Olimpiade 2008, pemerintah kota Beijing menggelar kampanye sepeda dengan jalur khusus sepeda yang akan dipertahankan seusai Olimpiade. Namun kecenderungan di lapangan agak berbeda. Pertama, penjualan sepeda di dalam negeri Cina –yang merupakan eksportir sepeda terbesar ke 100 negara dengan total produksi hampir 50 juta sepeda tahun lalu–  turun dari rata-rata 40 juta menjadi 20 hingga 25 juta. Yang kedua, sepanjang Tahun 2006 –seperti ditulis The Daily Telegraph— Beijing mencatat rata-rata penjualan 1.000 unit mobil per hari. Mobil semakin berdesak-desakan di Beijing sampai selama Olimpiade harus ditempuh giliran mobil berdasarkan plat nomor ganjil dan genap supaya hanya setengah dari 3 juta mobil di Cina yang membuang emisi karbon –atau setengah dari buangan emisi kenderaan non angkutan umum. Mobil perlahan-lahan mulai mengejar sepeda. Beijing memang masih merupakan ibukota dengan sepeda terpadat di dunia, namun trendnya justru melawan kenaikan lalu lintas sepeda di sejumlah negara maju. Tragisnya, Beijing –yang makin dekat ke status negara maju– seperti sedang membuang kearifan lokal yang justru ditiru orang.
***