Ibuku Perempuan Perkasa – Eliakim Sitorus

Hari masih pagi, keramaian jalanan di ibu kota memaksa aku harus konsentrasi, Rabu 8 September 2004. 

Aku sedang mengenderai sepeda motor, dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja. Persis di depan kantor Dewan Pimpinan Daerah  Partai Golkar DKI Jakarta, saya merasa telpon selular di dalam saku bergetar. Kalau getarannya hanya sejenak, cuma pesan yang masuk tapi getarannya berlangsung agak lama, berarti ada panggilan.

Saya menepi ke pinggir jalan di bawah rel kereta api sekitar stasiun Cikini.

Menerima panggilan: ”Halo ito, nunga lamu gawat sahit ni oma*,” suara kakak perempuanku Nurhaini Sitorus dari Pematang Siantar. Dia mengabarkan bahwa penyakit ibuku sudah genting. Kujawab singkat: ”Oh ya, nanti kubel ito ya, aku masih di perjalanan.” Aku sudah tahu, bahwa sejak dua hari lalu ibu sudah opname di RS Vita Insani, Jalan Merdeka, Pematangsiantar.

Foto 1Setiba di kantor segera aku dihubungi ito lagi: “Halo ito, mama sudah menghembuskan nafas terakhir lima menit lalu.”

Maka, gelaplah…
***

Saya  pernah cek ke ibu saya, kenapa namanya Emmelia. Dia hanya berucap: “yah begitulah dikasih ompung*-mu”. Lantas karena orang Batak, punya marga, maka nama lengkapnya menjadi Emmelia boru Manurung.

Lahir di Kampung Lumban Nahor Sibuntuon, Toba, tahun 1932, ibu adalah anak kedua dari lima bersaudara. Abangnya paling tua -tulang* saya- merantu ke perkebunan teh di Sidamanik awal tahun 1952, ketika masih muda belia. Kemudian bapak mengikuti tulang untuk bekerja sebagai buruh di perkebunan teh, yang semula dibuka oleh kolonial Belanda. Baru ibu menyusul bapak ke sana tahun 1954.

Ibuku tidak pernah bersekolah, tapi tidak buta huruf. Dia belajar secara otodidak untuk mengenal huruf dan angka, sehingga kelak bisa berdagang ayam. Dia pintar berhitung. Dia bisa membaca karena sering berlatih membaca buku nyanyian gereja dan Bibel (Alkitab).

Kenapa ibu tidak bersekolah? Lantaran ompung tidak punya biaya yang cukup, sehingga hanya tulang yang sempat belajar hingga ke sekolah lanjutan. Ompung doliku atau kakek lekas meninggal dunia ketika mama masih kecil. Ompung borulah atau nenek yang meneruskan pembiayaan kelima anaknya.

Ibu anak kedua. Adiknya yang perempuan -yang kami panggil tante atau Inangbaju- Erika br Manrung adalah seorang biarawati Katolik, dengan nama Suster Aquila. Adiknya laki-laki bernama Oberlin Manurung, juga seorang rahib Gereja Katolik, hidup membiara, bernama Pastor Hilarius.

Sedangkan adik mama paling bungsu, Tante Limoria br Manurung menikah dengan Sihombing, dan dialah satu-satunya yang masih hidup saat kutulis kisah ini.  Empat orang ito dan angkang*-nya sudah meninggal dunia.
***

Teman-teman segera mengerumuni saya yang duduk lemas di kursi. Seorang kawan melihat saya menerima telpon dari kakak yang memberitahu meninggalnya ibu. Dia melihat saya menangis, lalu saya beritahu bahwa ibu meninggal dunia 10 menit yang lalu.  

Mereka menyampaikan turut berdukacita, ada yang memeluk ada yang hanya menyalam.

Ini menguatkan saya, yang harus berfikir cepat bagaimana caranya harus segera terbang ke Medan dan kemudian meneruskan perjalanan darat ke Sidamanik untuk hadir di rumah orangtua. Yang pertama saya telpon adalah istri di rumah, meminta menyiapkan diri sebab harus segera pulang kampung. Yang kedua adik saya, sebab pesan abang ipar dari Pematangsiantar agar semua keluarga dekat menunggu kedatangan saya untuk merundingkan tanggal pemakaman. Yang ketiga kakak ipar di Tangerang.

Dengan secepat kilat teman di kantor memesankan dua buah tiket Jakarta-Medan, untuk saya dan istri. Saat itu juga saya balik ke rumah.

Setelah diskusi dengan adik, kakak, dan juga istri, maka kami sepakati dua buah tiket yang sudah di tangan adalah untuk saya dan adik dulu, sedang istri-istri dan anak-anak bisa menyusul pesawat sore atau malam maupun besok pagi. Dengan segera kami menuju bandara Soekarno- Hatta. Saya dari Cipinang adik dari Bekasi.

Tanggal meninggalnya ibu saya, cukup gampang diingat, 8 September 2004, sebab sehari sebelumnya -7 September 2004- Munir meninggal dunia di pesawat dalam penerbangan dari Indonesia ke Belanda untuk studi lanjut. Hingga hari ini, masih ada upaya kawan-kawan pegiat hak asasi manusia yang melakukan berbagai aksi setiap menyambut hari kematian Munir. Dan iti menjadi momen melawan lupa buat saya, untuk mengingat hari perginya ibunda saya.

Saya sudah melakukan perjalanan ziarah ke Batu Malang, dan mengunjungi “Omah Munir”, museum untuk mengenang almarhum Munir, yang dikelola isterinya, Suciwati, selepas menghadiri Seminar Agama Agama yang diselenggarakan oleh Litbang PGI di Malang. Sebuah kunjungan penghormatan atas perjuangan Munir selama hidupnya, membela mereka yang tertindas hak asasinya.
***

Ayah yang hanya buruh perkebunan teh tentu saja tidak sanggup menyekolahkan kami berempat anak-anaknya bila hanya mengandalkan gaji dari perkebunan. Itulah sebabnya Ibu juga turut membanting tulang mencari uang dengan cara bertani maupun berdagang. Dan ibu memang benar-benar banting tulang.

Foto 2Untungnya ketika itu, buruh perkebunan masih diijinkan untuk memelihara ternak babi di areal tanah kosong milik kebun di emplasemen, yang dekat dengan perumahan.

Karena rajin, ibu mampu mengolah lahan kosong dan mendirikan kandang ternak babinya di areal berbukit. Kami anak-anaknya ikut membantu ibu untuk menanam ubi kayu, ubi jalar, pisang , dan sayur-sayuran. Ini menambah kas keluarga. Lalu di belakang rumah kami mendirikan kandang ayam. Kamipun memelihara ayam.

Pada hari-hari tertentu, Ibu pergi ke pasar membeli dan menjual ayam. Saya sudah lupa, hari apa saja hari pasar (kami sebut pekan) di Paneitonga, Tigabolon, Balata dan Tigadolok.

Untuk dua tempat pertama, ibu dan kawan-kawannya sesama pedagang ayam berjalan kaki dari rumah ke pasar. Mereka berangkat pagi sekali menjunjung beberapa ekor ayam untuk dijual, dan bila tidak laku akan akan dijunjung kembali sore harinya pulang ke rumah. Sungguh suatu pekerjaan yang sangat melelahkan.

Tapi ibu menjalaninya dengan senang. Jika hari Jumat tiba, maka kami akan semangat sebab hari pekan ada di Sarimatondang, di ibukota Kecamatan Sidamanik. Kami semua, anak-anak ibu, akan dengan senang hati membantu ibu mengikat kaki ayam dan mengantarkannya ke pasar.

Pada  awalnya saya malu jika dilihat kawan sebaya menjunjung keranjang rotan berisi ayam. Itu biasanya hanya dikerjakan oleh kaum perempuan saja. Tapi lama kelamaan, saya tidak merasa malu lagi, toh teman-teman satu sekolah di SD Negeri 3 Sarimatondang sudah pada tahu jika ibu adalah salah seorang pedagang ayam di pasar, setiap Jumat dan Minggu.

Hari Minggu memang ada juga pasar. Maklum saat itulah para buruh perkebunan libur dan “turun” dari afdeling ke ibu kota untuk membelanjakan uangnya. Ada dua kali gajian di kebun: gajian besar pada akhir bulan sedang gajian kecil tengah bulan. Adapun hari gajian adalah hari Sabtu.

Menjelang hari raya keagamaan, semisal Idul Fitri dan Natal, merupakan “musim panen” para pedagang ayam. Sebelumnya kami sudah persiapkan ayam kecil yang kami beli dari pasar untuk dipelihara di rumah yang dibesarkan untuk menyongsong hari raya. Dan, harga pun akan dinaikkan sedikit, sebab begitulah hukum pasar: barang langka dan pembeli bertambah maka harga  naik. Sebaliknya jika suplai ayam banyak dan pembeli sedikit, terpaksa harga kami turunkan.

Biar untung sedikit tak masalah karena yang penting modal yang kecil tadi bisa bergerak. Memelihara ayam yang kita beli di pasar banyak risikonya. Beda dengan ayam yang dipelihara sejak penetasan, yang lebih terjamin kesehatannya. Itulah ilmu peternakan yang aku dapat dari kehidupan nyata di rumah.

Dalam bidang pertanian lebih seru lagi.

Pada mulanya ayah-ibu menyewa lahan orang untuk dikerjakan, terutama sawah. Kami menanam padi. Saya lupa persentase sewa yang harus dibayar kepada pemilik. Dalam Bahasa Batak Toba disebut “mamola pinang”, yang artinya menyewa.  Namun kemudian, mereka membeli sepetak sawah. Ada yang dibeli gadai dan kami yang mengelola. Tentu hasilnya untuk kami semua. Namun pada waktu berikutnya ibu membeli sawah ‘pate’, artinya yang dibayar lunas dan bukan sehingga menjadi sah milik kami. Pada tahun-tahun berikutnya orang tua saya juga membeli lahan kering untuk ditanami nenas dan cengkeh.

Karena itulah, praktis tidak ada masa untuk berleha-leha: usai mengerjakan sawah untuk tanaman padi langsung selang seling dengan kacang tanah sementara lahan kering terus minta perhatian untuk disiangi tanaman apa saja. Sementara di rumah kami terus memelihara ternak babi dan ayam. Demikian kehidupan ayah dan ibu guna mendapatkan uang untuk membiayai kebutuhan rumah tangga, terutama uang sekolah kami anak-anaknya.
***

Sejak awal, saya sudah melihat dan merasakan bahwa ayah tidak punya sikap bias jender. Apa saja yang bisa dikerjakan setelah pulang dari kerja -baik di kebun atau di pabrik- akan dia kerjakan di rumah, termasuk menanak makanan ternak babi dan ayam. Kerja sama ayah dan ibu menurut saya cukup baik. Prihatin akan kenyataan sehari-hari seperti itulah yang membuat kenapa saya menjadi ‘amat patuh’ kepada orang tua.

Sering kali terjadi, teman-teman sebaya asyik main bola di tanah lapang tapi saya tidak bisa ikut karena harus melakukan pekerjaan di rumah, seperti memberi makan babi dan ayam atau malah pergi ke sawah dan ladang yang jaraknya lumayan jauh dari rumah. Walaupun saya anak ketiga, tetapi saya merasa tidak bisa membiarkan abang dan kakak perempuan saja yang bekerja membantu orang tua di rumah. Apa saja yang bisa saya kerjakan akan saya kerjakan tanpa diperintah, semampu saya.

Pada masa peceklik air irigasi di persawahan kami Sirumbu, saya menemani ayah untuk menjaga air malam hari. Dingin dan gelap kami tahankan. Menjelang lewat tengah malam, baru kami pulang walau pun kadang belum semua petak sawah berisi air.

Di sawah ada dangau kecil untuk tempat duduk rehat. Di situlah kami memasak air untuk membuat kopi.  

Pada kali lain, masih menjelang pukul 10.00 malam, petak sawah kami sudah terisi karena tidak banyak saingan lain untuk berbagi air dari salurannya. Jadi kami sudah bisa pulang ke rumah lebih cepat. Saya sebenarnya tidak dipaksa untuk ikut, tapi hanya karena merasa kasihan kepada ayah dan ibu saja maka merelakan diri ikut begadang menjaga air di sawah. Saya pikir lebih baiklah saya yang menemani bapak menjaga air agar ibu bisa istirahat di rumah.

Biasanya setelah panen padi yang ikut saya jaga itu, saya akan mendapat hadiah baju baru dan  celana  atau sepatu. Itu mungkin soal kecil sekarang tapi ketika saya masih duduk di SMP antara tahun 1972–1974, celana panjang  saya cuma satu yang berwarna putih. Celana yang dibeli karena wajib dipakai saat upacara naik sidi di gereja itu menjadi celana kebanggaan saya.

Ibu saya sangat baik dan juga perkasa.

Dia selalu berusaha memenuhi keperluan kami, walau pun untuk itu dia harus bekerja keras. Keadaan ekonomi kami memang amat sangat sederhana.  Selain bekerja di ladang dan sawah, dia juga jual-beli ayam pada hari-hari pekan. Ibu ikut pula beternak ayam  sekedarnya di belakang rumah. Untunglah bapak selalu membantu setiap kali pulang dari pekerjaan. Meskipun kebanyakan kaum bapak di pemukiman buruh suka ke lapo (kedai) tuak, ayahku amat berbeda: dia tidak suka ke lapo. Bila ada keinginan minum tuak, kami membeli dari lapo untuk dinimum di rumah saat makan malam.

Sudah lama ayah saya sakit-sakitan. Sedangkan ibu setahu saya jarang.

Tetapi takdir berkata lain, ibu dipanggil Tuhan lebih dahulu daripada bapak.

Ibu beristirahat untuk selamanya dari kerja kerasnya di dunia pada Rabu 8 September 2004, sedangkan bapak baru dipanggil Tuhan Allah ke sisi-Nya sekitar delapan tahun kemudian: Senin 28 Mei 2012 pada usia 84 tahun kurang sebulan.
***

*. Halo ito, nunga lamu gawat sahit ni oma = Halo ito (panggilan saudara silang jenis kelamin) sudah semakin gawat sakitnya mamak
*. Tulang = paman
*. Ompung doli/Ompung boru = kakek/nenek
*. Angkan = kakak atau abang

Eliakim Sitorus, Tamat dari Universitas Sumatera Utara Medan, melanjutkan S2 ke Universitas Satyawacana Salatiga dan lalu lalang sebagai pegiat pemberdayaan masyarakat dan penyelesaian konflik.