Smaradina Muda Mangin 2 – Syam Asinar Radjam

Lalu Beriring Angin
Bersamaku, Mangin menembus pekat aspal yang mulai berkabut. Mengejar 32 km di depan. Yang aku paham Mangin, mengejar sepasang mata yang satu malam sebelumnya melupakan dia tentang keindahan bintang. Secara eksplisit dia pernah kelepasan omongan tentang ini. Mangin mengendus keindahan, terbawa riung angin yang meriapkan rambut tak akrab sisir nya.

Bergantian lampu dekat jauh menyentuh marka dan rambu, berpendar fluoresenct. Beriringan berberapa kendaraan dengan arah lampu beradu arah. Kadang ketika jalur aspal bersisian dengan jalur kereta api aku merasa berkejaran dengan kereta menuju batubara yang kosong.

Mangin malam itu, yang aku paham bukan hendak menemui raut gadis malam sebelumnya semata. Adalah mungkin semacam penebusan dosa, dua tahun alpa dia mendorong gerakan himpunan mahasiswa jurusan. Tak ada pertanyaan yang harus dijawab atas kealpaan tersebut. Bukan karena wabah weberian yang bersimaharajalela, yang kemudian melumpuhkan semangat mengorganisir komponen-komponen masyarakat sipil atau individu sekalipun. Liberalism. Semua hanya persoalan pilihan.

“Butuh banyak energi untuk berpijak di dua kaki yang terkadang terlihat berjauhan,” Aku pernah menasehatinya demikian.

Mungkin pula Mangin mengejar angan, toh kenyataan seringkali tak terpegang,…

Waktu itu, sebelum Mangin memilih, dia teringat kampungnya. Semula dianggapnya jauh dari kenistaan metropolis, tanpa polusi dan dekadensi moral. 1870, Prabumulih (dalam dunia perminyakan disebut juga Komplek Palembang Selatan), tempat pertama kali minyak ditemukan di daerah tersebut oleh bangsa Belanda, pada rembesan puncak antiklin di Kampong Minyak ketika sedang melakukankan pemetaan geologi. Mangin keliru, ternyata dibelakang rumah; adalah Sungai Kelekar, situs hidup sebuah pengrusakan.

Sesaat Mangin sadar, bahwa dia lahir dan dibesarkan di sebuah komunitas korban tambang minyak. Mungkin bukan cuma Mangin yang memiliki sungai di belakang rumah tapi tak sedetik dia menceburkan diri berenang. Padahal semua tetua tahu bahwa tersebutlah Pangkalan Rusa, pemandian khusus kaum laki-laki. Dan Pangkalan Hup, konon sebagai pemandian untuk kaum perempuan. Tetua mengingatkan pula bahwa selalu ada media komunikasi, bukan hanya pertemuan hari ke hari di pangkalan ketika waktu mandi, tapi juga pertemuan minggu ke minggu di kalangan yang mempertemukan pedagang dan pembeli yang tidak hanya datang dari kawasan dekat tetapi juga dari banyak anak sungai lain, Ogan bahkan Musi. Tahun ke tahun seluruh penduduk bertemu dalam pesta nanggok bedusun, untuk menangkap ikan.

Semuanya tak ditemukan Mangin dalam potret masa kecilnya, karena guhong, sungai, atau batanghari, telah tecampur minyak mentah dan air terproduksi dan tak jarang pula sludge.

Bisa jadi ketika dia mengingat tentang kampungnya adalah kali pertama muncul kebingungan atas sebuah pilihan. Mencoba menuju beberapa arah, mencari kawan-kawan berdiskusi. Tak ada kawan mahasiswa yang saat itu berhasil ditemui untuk berdiskusi tentang Kelekar. Semuanya melihat sebagai kewajaran. Semua – yang ditemui – mungkin mengidap dan terjangkit syndrom NIMBY’s . Tidak juga aku. Bukan karena kami memiliki ketertarikan dan isi kepala yang berbeda. Aku hanyalah temannya yang justru kebanyakan menjadi pendengar setianya. Aku tak bisa banyak membantu, toh akupun sedang belajar dari dia.

Dulu, sering kuperhatikan Mangin tepekur. Merasa obrolannya mungkin dianggap sampah.

“Toh, tak semua sampah itu bisa dimusnahkan begitu saja, Mangin,” Aku mencoba membangkitkan semangatnya.

“Contoh saja, plastik dikonsumsi masyarakat Indonesia mencapai satu juta setengah ton. Taruhlah, tujuh kilogram per kapita termasuk jenis sampah yang tak bisa dilebur dalam tanah. Berasal dari delapan ratusan pabrik pembuatan produk mengandung bahan plastik. Plastik memang sebuah kemasan atau bahan yang disukai konsumen. Ringan untuk dibawa, tahan perubahan alam. Tak gampang terurai. Disalahkan adalah konsumen, karena menghasilkan sampah domestik. Tak ada padahal upaya penarikan kembali atas sampah plastik oleh perusahaan. Kecuali untuk beberapa kasus,” Aku memaparkan bahan bacaanku yang baru selesai dibaca di komputer Mangin sendiri.

“Dan sampah juga adalah sebuah hukum alam, atas setiap aktivitas yang dilakukan insani. Tinja, urine, keringat, bau mulut. Tanaman meluruhkan daun-daun tua, menumpukkan seresa, selanjutnya adalah pekerjaan mikro-organisme. Semuanya termanfaat sebagai penopang daur hidup bumi,” Dia melengkapi bacaanku. Lalu aku lihat dia tertawa. Lepas.

Obrolannya dianggap sampah? Mungkin iya. Karena obrolan seperti ini biasanya muncul pada kaum urban, kaum marginal yang langsung bersentuhan dengan masalah. Tapi Mangin, muncul dari kelas apa? Tak paham, karena tak pernah dia menerima raport. Atau bad file di recycle bin komputer beberapa orang yang diajak berdiskusi tak pernah di buang secara permanen.

“Jangan terlalu dianggap sulit,” Ujarku. “Cobalah untuk zikir, fikir dan ikhtiar dan tak terlalu banyak pelesir”

Aku merasa Mangin di boncengan motorku dalam diam. Mungkin, mencoba melupakan kenangan di belakang. Kondisi material saat kini sudah lumayan. Terlihat cahaya di ujung terowongan. Matahari menembus kanopi pagi, aku pakai bahasa Mangin.

Kami menerobos angin. Panas siang telah usai. Sisa matahari menguap di aspal hitam. Jacket Softball New York Yankees, yang membungkus tubuhnya memang mempan melawan dingin di dadanya yang tipis. Tapi angin berkemampuan menyelusup jeans bolong Mangin. Salah dia sendiri. Aku sudah mengingatkan resiko perjalanan sebelum dia merayuku minta diantar.

“Telah lama aku kedinginan, entah berapa masa. Mengejar hangat yang telah separuh jalan. Dinda,..” Tiba-tiba saja Mangin mendesis. Kuat dan memancingku untuk tertawa.

Dinda, -dia telah sempat menghafal dan melafaskan nama itu beberapa kali malam sebelumnya– yang disamarkan dengan ‘Kuntum Pembangkangan’ setelah investigasi kecil mengenai anak perempuan ini kepada teman-teman.

“Kebut, Cek .” Mangin memerintahku di belakang setir. Berlanjut pada ledekan bahwa katanya aku sayang dengan speedometer.

Abu rokok melayang, sempat terlihat nyala kemerahan, hilang menjauhi laju sepeda motor. Menghisap uap air. Berlalu beriring angin.
***

bersambung