Sebuah Kota Dengan Seribu Pretensi – I. Wibowo

Saya sudah berulangkali naik kereta api bawah tanah di Singapura yang bersih dan mengkilat itu, tetapi baru hari itu saya sadar. Sadar tentang suara pengumuman supaya para calon penumpang berdiri di belakang garis kuning. Pasti bukan suara wanita Singapura. Maksud saya bukan suara wanita dengan aksen Singapura. Pasti seorang native speaker, entah Inggris, Australia, atau Amerika. Begitu bagus, dan begitu mengalun.

Dalam hati saya bertanya mengapa harus native speaker? Di Hong Kong, yang juga punya tujuan serupa ; menginternasional, sama sekali tidak memakai suara native speaker. Jelas suara wanita Hong Kong dengan bahasa Inggris beraksen Hong Kong. Saya menduga ada perasaan malu pada pengelola kereta api di Singapura. Tapi malu karena apa? Kalau memang keadaannya memang begitu, mengapa harus malu?

Masalah bahasa Inggris memang sangat sensitif di Singapura. Dua tahun lalu (1999) Lee Kuan Yew pernah bicara di depan parlemen, mengeluhkan soal bahasa Inggris yang dipakai oleh orang Singapura. Ia sama sekali tidak suka mendengar orang bicara Singlish ; Singaporean English. Inilah bahasa Inggris dengan campuran aksen dan tata-bahasa Cina dan Melayu. Kata-katanya memang kata-kata Inggris, tapi selebihnya hampir semua dicampuri oleh elemen non-Inggris.

Menariknya, acara TV paling populer di Singapura adalah acara TV yang pakai bahasa Singlish itu. Chua Pu Kuang, nama acara itu. Orang Singapura sungguh menikmati acara yang isinya mirip Srimulat. Mereka bisa tertawa terbahak-bahak dan terpingkal-pingkal. Ungkapan-ungkapan yang dipakai oleh si aktor nampaknya sungguh pas bagi telinga orang Singapura.

Tetapi celaka. Seminggu sesudah Lee Kuan Yew mengeluhkan kemerosotanbahasa Inggris itu, acara TV Chua Pu Kuangdihentikan!

PM Goh Chok Tong ikut mengambil prakarsa. Semua orang kecewa, sekaligus heran. Ketika acara TV itu mengalami restorasi, orang semakin kecewa karena Chua Pu Kuang sekarang sudah bicara dengan standard English. Belum sampai ke level British English memang, tapi sekurang-kurangnya ia tidak bicara Singlish lagi. (Nah, kalau anda ke Singapura sempatkan untuk nonton acara TV terkenal ini.)

Boston di Asia Tenggara
Tahun 2000 lalu PM Goh Chok Tong, dalam rangka Singapore 21, mengungkapkan visinya tentang S Singapura. Singapura, katanya, akan dijadikan Boston in Southeast Asia. Jadi sebuah kota di sebelah Timur Laut Amerika yang isinya cuma universitas, termasuk Universitas Harvard dan Massachusetts
Institute of Technology. Ketika mengatakan visinya itu, PM Goh benar-benar menginginkan National University of Singapore (NUS) menjadi Universitas Harvard dan Nanyang Technology University (NTU) menjadi MIT.

Untuk tingkat Asia Tenggara sangat mungkin dua universitas itu akan menjadi institutsi pendidikan terkemuka. Kampus NUS megah dan indah, perpustakaannya besar, ruang kuliahnya ber-AC. Tetapi tidak pada tingkat Asia. Dalam sebuah survey yang diadakan majalah Asiaweek tahun 2000, NUS masih ada menduduki peringkat lima, di bawah tiga universitas di sebelah Asia Timur, University of Hong Kong, Tokyo University, dan Peking University.

Kesahihan survei itu memang masih dapat dipertanyakan, tetapi ada masalah besar dengan ‘a NUS’ (demikianlah teman-teman Indonesia kalau ngledek), yaitu tidak ada staf pengajar yang bertahan lama, sehingga tidak mungkin menghasilkan seorang guru besar yang tangguh, yang menjadi andalan universitas. Staf pengajar hanya bertahan 3-5 tahun, lalu pergi. Catatan lainnya, 50% staf pengajar NUS dari luar negeri.

Singapura selama beberapa bulan terakhir ini digemparkan oleh acara TV lain yang berjudul Mr. Kiasu. Saya belum sempat menontonnya, tetapi iklannya digelar di setiap pangkalan bus. Kata ‘ kiasu’ dalam bahasa Hokkien berarti ‘takut rugi.’ Nah, bukalah buku panduan tentang Singapura yang diterbitkan
oleh Lonely Planet. Dikatakan di situ bahwa ciri khas orang Singapur adalah ‘kiasu’ itu tadi.

Manusia Singapur, misalnya, kalau masuk bus kota tidak ragu-ragu untuk menyikut sesamanya. Masalahnya tempat duduk kosong memang tidak banyak. Berebut, tidak mau rugi. Untuk mengatasi ini Pemerintah Singapura tahun 2000 lalu menerbitkan stiker-stiker yang dipasang di bus dan di pangkalan bus: ‘Let’s move with courtesy.’ Seperti biasanya, Pemerintah sangat peduli tentang perilaku warganya.

Agaknya cara bertindak orang Singapur sudah sedemikian mengkuawatirkansehingga pemerintah perlu turun tangan dan mendirikan National Courtesy Concil, yang mengatur agar warga Singapur
berkelakuan sopan.

Koran The Times –lupa persis tahunnya, tapi jelas ketika saya masih di London pada tahun 1996– pernah memuat sebuah cerita tentang orang Singapur yang sangat berkaitan dengan kiasu. Katanya, awas kalau tamu Singapura menginap di hotel. Menurut observasi si pengarang, tamu-tamu dari
Singapura tidak ragu-ragu membawa serta handuk, sprei, selimut, dan sebagainya waktu mereka meninggalkan kamar hotel!

Peradaban Dunia Ketiga
Lee Kuan Yew memberi judul kepada jilid II dari memoarnya ; From Third World to First World. Lee memang patut berbangga mengenai kemajuan-kemajuan material yang dicapai oleh Singapura. Tapi, seorang Singapura yang baru pulang dari belajar di negara manca selama empat tahun membantah pernyataan Lee itu. Dalam surat yang ditulis kepada koran Today pada Bulan Mei 2001, ia mengatakan bahwa penduduk Singapura masih bermental orang Third World.

Masya Allah! Ia menjejer sejumlah indikator yang menurut pendapatnya tidak mengalami perubahan selama empat tahun ia pergi ke manca negara, semuanya masih pada taraf Third World.

Acara TV Mr. Kiasu mungkin bertujuan untuk mendidik rakyat Singapura supaya meninggalkan perilaku-perilaku yang tidak beradab itu. Pemerintah menambahnya lagi dengan berbagai acara seni. Singapura akhir-akhir ini rutin menyelenggarakan acara yang mengarah kepada seni: Singapore International Film Festival dan Singapore International Arts Festival. Tahun ini dimulai dengan Singapore International Jazz Festival. Sementara ini Pemerintah sedang mempersiapkan sebuah Singapore Performing Arts Centre yang terbesar di seluruh Asia Tenggara, yang akan menandingi gedung opera di Sydney! Selesainya tahun 2002.

Kegiatan kesenian memang seakan-akan diledakkan di Singapura. Tapi sekali lagi, semua itu oleh pemerintah. Pemerintah lah yang memutuskan bahwa orang Singapura sudah waktunya butuh seni. Tapi orang Singapuranya sendiri tidak tanggap terhadap inisiatif dari pemerintahnya.

Tahun 2000 terjadi skandal yang memalukan. Seorang sutradara Singapura terkenal, Ong Keng Seng,
mementaskan sebuah teater avant garde di mana para pemainnya berasal dari berbagai negara di Asia, dan para pemain itu mengucapkan dialognya dalam bahasa masing-masing. Yang dipentaskan berjudul Desdmona, sebuah versi baru dari karya Shakespeare, Othello.

Apa reaksi orang Singapura? Mengritik, mengejek, dan mengumpat. Sampai pada akhirnya sang sutradara tak bisa menahan diri lagi. “Kalau orang Singapura tidak mau, saya tidak peduli!” Padahal pertunjukan Desdemonaini mendapat sambutan hangat di Tokyo, Berlin, Sydney.

Apresiasi seni orang Singapura tentu belum setaraf orang London, New York, atau bahkan Jakarta. Banyak pementasan seni atau pameran seni digelar di Kota Singaini, tetapi sebagian besar dari pengunjungnya adalah expatriates. Datangi saja pagelaran musik simfoni di Victoria Concert Hall yang antik dan menawan itu. Sebagian besar yang datang adalah orang bule dan orang Jepang –dan pernah
juga satu kali saya menemukan beberapa expatriates dari Indonesia.

Atau datangi pertunjukan jazz gratis setiap minggu ketiga di Chijmes, sebuah kebun di dalam sebuah bekas biara indah yang bergaya neo-gothik. Datangi juga Museum of Art di sebuah bekas biara. Yang bergerombol di sana, yang lalu lalang di sana, bukan penduduk lokal. Orang Singapurnya lebih suka
dengan seni-seni Kitsch.

Tapi, masalahnya sekali lagi: manusianya. Manusia-manusia Singapura yang terdiri tiga kelompok etnis –Cina, India, Melayu– cenderung menjadi manusia peniru. Yang dari Inggris, yang dari Amerika, yang dari Cina, yang dari India, yang dari Indonesia, yang dari entah mana lagi, ingin ditiru dan dijiplak habis-habisan. Ya, bahasanya, ya pendidikannya, ya keseniannya, ya pakaiannya, ya makanannya, dsb. Tetapi ada masalah besar: mereka tidak sanggup menjadi dirinya sendiri. Kumpulan dari pelbagai tiruan itu tetap saja berupa collectibles. Jadi yang ditimang-timang tapi bukan hasil cipta diri sendiri. Maka hasilnya berbagai macam keganjilan dan keanehan.

Bangsa Yang Ber-AC
Baru-baru ini saya baca sebuah buku yang ditulis oleh seorang Singapura keturunan India, George Sheridan. Judulnya ; Singapore: The Air-conditioned Nation, terbitan 2001. Judul ini mengingatkan saya akan komentar Gunawan Muhammad tahun lalu ketika di Singapura: “Singapura adalah mall yang diperluas.”

Memang mall yang satu bersambung dengan mall yang lain, semuanya serba ber-AC. Tapi yang mengejutkan dari buku ini adalah untuk pertama kalinya saya menemukan sebuah buku yang jujur dan terbuka membuat analisa tentang masyrakat Singapura. Mungkin ini buku yang berani terang-terangan mengritik Lee Kuan Yew secara terbuka.

Saya terkesan dengan komentarnya tentang peranan partai yang berkuasa sekarang, PAP, di bidang kebudayaan. “Under the PAP’ interventionist apporach to ethnicity, Singaporeans’ traditional Asian cultures are subject to regulation and remaking, rather than being allowed their natural expression
and evolution.”

Memang di Singapura semua diatur oleh pemerintah alias PAP, termasuk kebudayaan. Akibatnya parah bagi perkembangan indentitas kultural Singapore. Katanya lagi: “While artist at the margins ponder such
soul-searching issues, the message in the popular culture is that the West is the source of all that is modern and desirable. The result can be ridiculous and demeaning.”

Tinggal di Singapura memang sejuk, ada AC di mana-mana, tapi ternyata saya sering rindu sama kepengapan Jakarta. Rindu sama karakter Jakarta.
***