Maling dan Ustadz

Imron Supriyadi

Kabar pecahnya gerakan Warsidi memaksa ayah datang ke Metro. Tanpa diskusi panjang, ayah langsung menyuruhku keluar dari Metro.

“Alif, kamu harus pindah. Ayah tidak ingin, kamu terseret dalam kasus Warsidi sebab secara garis keturunan kita masih keluarga dekat dengan Warsidi,”tegas ayah saat kami berdua di dalam kamar.

Bayangan wajah Indah, Fani, Ferdi, dan anak-anak Genesiss silih berganti melintas di benak. Ada perasaan sedih yang seketika menyusup ke dalam bilik jantungku. Sebutir embun mengalir dari kelopak mataku. Ayah tidak menyadari yang sedang berkecamuk dalam batinku malam itu. Yang pasti besok aku harus meninggalkan Metro; ayah sengaja datang untuk menjemputku langsung.

Ayah mengenal dekat Warsidi ketika dia masih di Desa Sabrangrowo. Tanah yang kami tempati -yang kemudian ditinggal- hanya berjarak 20 meter dari rumah kelahiran Warsidi. Dan di desa itu orang saling mengenal, saling menyapa, saling membantu. Ayah adalah salah seorang saksi kehidupan Warsidi.

Pagi itu kami tak bisa langsung berangkat karena beberapa pusat pemberangkatan ke luar kota masih dijaga dan di sweping aparat. Ayah kuatir kalau kami terjerat sweping aparat. Jadi aku minta tolong Pak Santo untuk mengantar kami. Pak Santo bagi beberapa aparat di Kodim Metro sudah dikenal baik karena sebagai seorang pengusaha sesekali bertemu dengan Dandim Metro di beberapa acara resmi.

“Kamu akan diantar mobil aparat,” ujar Pak Santo usai menelpon Dandim untuk menjelaskan kedua kerabatnya -begitulah katanya kepada Dandim akan keluar dari Metro.
“Tapi, Bapak ikut kan?”tanyaku sedikit kuatir kalau-kalau di dalam perjalanan justru akan banyak pertanyaan yang bisa membawa petaka bagiku dan ayah.
“Kan dengan ayahmu? Apa saya perlu ikut?”
“Kalau tidak keberatan Pak”

Aku merasa lega saat Pak Santo bersedia masuk bersama kami ke dalam mobil aparat. Paling tidak Pak Santo bisa mencairkan ketegangan antara aku, ayah, dan aparat yang mengantar.

Kami dilepas di ujung Kota Metro, di Terminal 16 C. Pak Santo dan mobil aparat baru meninggalkan terminal setelah kami masuk ke dalam bis jurusan Rajabasa menuju Kotabumi, Lampung Utara. Di dalam bis, benakku dipenuhi dengan Indah, Fani, Ferdi, dan anak-anak Genesiss. Dalam suasana Metro yang masih genting, aku tidak bisa berpamitan pada mereka. Semua kutinggalkan begitu saja, tnpa pamitan dan tegur sapa. Aku hanya bisa berjanni di dalam hati kelak aku akan mendatangi mereka. ‘Itu tinggal persoalan waktu saja,’ yakinku

Kotabumu Kota baru
Untuk kali ketiga aku pindah tempat, untuk untuk tinggal maupun untuk sekolah. Dan Kotabumi tak pernah terlintas sebelumnya. Ibukota Kabupaten Lampung Utara ini sama sekali belum kukenal, baik secara geografis maupun watak masyarakatnya. Di Kotabumi aku tinggal bersama Pak Arifin, adik kandung ibu. Pamanku ini tinggal di Kotabumi sejak tahuun 1985. Setelah menamatkan gelar sarjanan muda di IKIP Semarang, dia bersama  20 temannya mendapat ikatan dinas untuk mengabdikan diri ke Lampung Utara. Sebagian ada di daerah Liwa, Mesuji, dan Way Abung.

Suasana Kotabumi terasa lebih maju dibanding daerah lain. Selain sebagai ibukota kabupaten, Kotabumi juga banyak dihuni kaum pendatang. Dan seperti biasa, akulturasi budaya antar etnis di biasanya akan membangkitkan dinamika sebuah kota. Aku cukup bersyukur tinggal di daerah yang tidak terlalu tertinggal dari komunikasi dengan kemajuan zaman.

Di Kotabumi, aku banyak belajar masak dan berternak ikan. Setiap pagi aku ikut bangun membantu bibiku menyiapkan  sarapan. Kalau paman dan bibi berangkat ngajar ke sekolah, maka aku dan Laras –adik bibi– yang mengasuh kedua keponakanku, Dian dan Tiyok. Keduanya selalu dalam belian kami.

Dian dan Tiyok mempunyai watak berbeda. Dian yang masih duduk di kelas 1 SD selalu gelagapan kalau bangunnya kesiangan. Sedang Tiyok, yang masih berumur 3 tahun, tampak lebih tenang dan suka menipu Laras kalau sedang disuap. Setelah makanan masuk ke dalam mulutnya, dia kemudian berlari ke depan rumah dan nasi di dalam mulutnya dikeluarkan. Setelah itu dia kembali ke ruang tengah untuk minta disuap lagi. Laras bisa dia tipu, tapi aku tidak. Setiap menyuap dia, aku juga ikut berlari ke depan dan diapun harus mengunyah da menelan habis.

Mengantar Dian ke sekolah menjadi salah satu tugasku dan kadang Tiyok ingin ikut, jadi sering aku juga harus menggendong Tiyok. Aku melakukannya dengan penuh kasih sayang, sambul mengenang hadits Rasul, Kullu Mauludin Yuuladu ‘alal Fitrah. Faabawahu, Yuhawwidaanihi, au Yuanashiroo nihi, au Yumajjisaanihi. (Semua bayi yang lahir dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanyalah yang akan membentuk, bayi itu apakah akan menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi).

Dian dan Tiyok pelan-pelan menjadi bagian hidupku. Aku sadar kalau aku anak tunggal, dan mungkin kesadaran itu yang membuat aku bisa membagi kasih sayang dengan anak-anak lain; Widi dan Cepry di Metro, Fani dan Ferdi di rumah Pak Win, serta Dian dan Tiyok di Kotabumi.
.***
bersambung