Pangeran Jawa Atawa Jagger Melayu 7 – Bramantyo Prijosusilo

Di dalam kafe, udara terasa hangat lagi. Meja-meja kecil dikerubuti para pelangan yang duduk sambil berbincang-bincang. Sepintas, terlihat bahwa mereka terdiri dari berbagai ras, berbagai bangsa. Ada yang berwajah Arab, ada yang berkulit hitam, ada yang Cina, ada yang bule, ada yang berperawakan kecil ada yang besar, pria dan wanita. Sanca rupanya satu-satunya bayi di dalam kafe itu. Udara hangat di café itu sesak dengan asap rokok. Jagger mengendus-endus, mengharapkan ada bau ganja di situ, namun tidak ada. Beberapa orang berdiri memberi tempat duduk kepada Elaine dan Sanca, dan Keith segera memesan tiga cangkir kopi dan satu piring kecil berisi beberapa potong kue di kounter yang sesak dikelilingi orang-orang yang berdiri. Jadi beginilah kafe di London, pikir Jagger.

Ternyata, di dalam kafe tidak senyaman yang dibayangkan Elaine semula. Apalagi asap rokok yang tebal, terasa mengganggu pernafasan. Dia mengkhawatirkan kesehatan Sanca, sebab dia tau bahwa merokok secara pasif sama atau lebih berbahaya daripada merokok langsung, apalagi bagi anak-anak yang masih sangat sensitif. Cepat-cepat mereka meminum kopi dan menghabiskan kue yang memang enak itu, lalu bergegas mereka keluar lagi, menyelamatkan Sanca dari kepulan asap rokok yang pekat. Di luar, cuaca telah berubah. Masih dingin, dan angin masih kencang, namun langit telah bertambah cerah, dan matahari bersinar terang emas. Matahari musim panas yang dingin karena salah musim itu tinggi, padahal waktu sudah pula menginjak pukul lima sore. Flat Elaine, ternyata tidak jauh dari kafe itu. Tak lama Keith sudah membuka pintu bagasi dan mengeluarkan koper-koper bawaan Elaine dan Jagger.

“Ini rumah kita, Jagger!, itu, nomor 35, yang pintu hijau!” kata Elaine kepada suaminya setelah Keith memarkir mobilnya di tepi jalan. Jagger melihat ke arah yang ditunjuk Elaine, dan di lihatnya sebuah rumah yang besar bertingkat tiga, dengan pintu hijau daun yang besar dan jendela-jendela kaca yang besar-besar pada setiap tingkatnya. Sejenak, Jagger berpikir bahwa seluruh bangunan rumah itu adalah rumah Elaine, namun segera dia ingat bahwa Elaine tinggal di sebuah flat kecil dengan satu kamar saja.

Ketika mereka menaiki anak tangga menuju ke pintu hijau, Jagger melihat bahwa di bagian bawah rumah itu juga ada jendela dan pintu, dan di samping pintu, terdapat lima bel rumah, nomor 35 A sampai E. Keith mengeluarkan kunci yang dibawanya dan segera mereka memasuki sebuah koridor panjang yang berujung tangga menuju ke atas. Lantai bertutup karpet berwarna kelabu kusam yang terlihat sudah tua dan kurang terawat. Bagian yang selalu terinjak kaki, telah menipis, terurai anyamannya di beberapa tempat.

Keith memimpin mereka semua naik ke lantai dua, dan membuka pintu masuk ke dalam flat milik Elaine.

“I put the heating on so that it would be warm. There has been a spell of chilly weather.”

Kata Keith, menjelaskan bahwa dia sudah memasang pemanas, dan kehangatannya menyambut kedatangan Elaine, kini dengan seorang suami dari tanah yang jauh, dan juga dengan seorang bayi, dengan nama eksotis.

Udara di dalam flat Elaine hangat, tidak seperti udara di koridor dan di tangga yang meski tidak sedingin udara yang di luar, terlalu dingin juga dirasa Jagger. Flat Elaine yang berlantai kayu itu kecil, namun teratur rapi. Ruang yang kecil itu di bagi dengan cerdas menjadi satu kamar mandi dan WC, satu kamar tidur, dan satu kamar tamu yang cukup besar, yang merangkap pula menjadi dapur, berupa kompor gas dan oven yang digandeng dengan tempat cuci piring, dengan lemari piring dan gelas serta kulkas di bawahnya, serta lemari piring dan gelas lain di atasnya. Satu sisi kamar tamu dan dapur itu berupa jendela-jendela kaca yang sangat lebar dan tinggi. Langit-langit di flat Elaine juga tinggi. Jagger termangu-mangu mengamati tempat tinggalnya yang baru, sementara Elaine segera masuk ke kamar tidur dan mengganti popok Sanca yang sudah basah.
***
bersambung