Pangeran Jawa Atawa Jagger Melayu 8 – Bramantyo Prijosusilo

Radiator pemanas udara yang menempel di dinding merupakan barang aneh bagi Jagger. Juga lantai kayu beech yang terang madu warnanya. Udara di dalam flat itu beraroma lain, bukan tak nyaman, namun asing bagi penciuman Jagger. Kamar mandi dengan bath-tub dan shower berada di dekat pintu masuk, yang bergandengan dengan pintu masuk ke satu-satunya kamar tidur pula. Jagger berjalan berkeliling, dari tempat tidur, ke kamar mandi, ke dapur dan ruang tamu, dan habislah ruang flat isterinya dia jelajahi sudah.

Ada yang tak nyaman di dalam hatinya. Apa? Mungkin, pikirnya, kenyataan bahwa rumah ini hanya mempunyai satu pintu keluar dan masuk. Kurang nyaman rasanya. Tak ada bagian depan dan bagian belakang rumah. Rasanya, ruang di dalam flat ini sempit dan menekan, biarpun langit-langitnya tinggi. Jagger mendongak mengamati hiasan ukiran sulur di langit-langit, mencari kelegaan hati dalam kebebasan pandangannya ke langit-lagit yang jauh di atas.

“The good thing about flats in these Victorian houses, is that they have lovely high ceilings!”

Keith, menjelaskan enaknya flat di bangunan model Victoria, karena langit-langitnya tinggi. Jagger mendengar namun tak menjawab. Dia masih merasa asing dan tidak sreg.

Sebetulnya flat Elaine adalah yang tergolong dianggap baik di London, merupakan sebagian kecil dari sebuah rumah tua, asli bergaya arsitektur zaman ratu Victoria di awal abad 20. Jagger merasa ada kesamaan dengan arsitektur kantor pos pusat di Jogja, bedanya ini rumah tinggal, yang sudah disekat-sekat jadi beberapa flat. Bayangannya menggapai ke masa lalu, sebelum rumah ini disekat-sekat jadi flat. Tentu saudagar kaya yang tinggal di rumah seperti ini, lamunnya. Mungkin seorang pedagang di India, atau di Singapura, atau pemilik perkebunan di Malaysia, dan hei, mungkin juga dulu rumah ini dihuni pengusaha perkebunan teh di Jawa Barat. Atau mungkin bahkan rumah ini dulu ditempati orang Inggris misterius yang meninggalkan nama kota kecil Glenmor di Jawa Timur.

Elaine keluar dari kamar, dengan Sanca yang sekarang mulai mengoceh girang. Keith menuang air panas untuk menyeduh teh. Jagger berpikir, bagaimana mungkin dia harus tinggal di dalam rumah sekecil ini, yang hanya memiliki satu pintu keluar masuk? Seperti hidup di dalam lemari! Sangat tak sreg rasanya di hati Jagger.

Di Jogja, dan di mana saja memungkinkan, Jagger punya kebiasaan bangun di tengah malam dan kencing. Selalu saja, dia berjalan ke luar rumah, di depan, atau di samping, atau di belakang, dan dia dengan sangat nikmatnya akan kencing di tanah, menggoyang pinggul membuat lingkaran-lingkaran yang baginya mempunyai arti dan rasa magis. Tanda-tanda lingkaran basah di tanah dari air kencing itu, baginya, merupakan sesuatu yang melindunginya dan rumahnya, dari mata-mata berniat jahat. Bagaimana kebiasaan yang menjadi bagian dari ritus pribadinya ini dapat diteruskan di sini? Tentu tidak mungkin. Di luar dingin bukan kepalang, apa lagi pada pukul tiga dini hari nanti!

Keith menghidangkan teh yang telah diberinya susu sapi.

“I heard you take a lot of sugar.”
“What?”
” How many sugars do you want in your tea?”
“Oh, one, two, it doesn’t matter.”
“Jagger usually takes three sugars, Keith, but in Indonesia people don’t take milk with their tea.”
“Oh, sorry, I have already put milk in all the cups.”
” It doesn’t matter, I like milk.”
“Three sugars? Watch out for diabetes, mate!”

Sanca duduk dipangkuan Elaine, meraih-raih ingin memegang cangkir panas yang dipegang ibunya. Jagger mengalihkan perhatian anaknya dengan bermain ci-lu-ba, dan Keith meletakkan cangkirnya, lalu berdiri dan merogoh saku celananya.

“Jagger, Elaine told me that you like a smoke. So I thought that I would score some hash to make a spliff to welcome you to London. Here, look, I got some good Moroccan!”

Keith mengeluarkan sepotong hashish Maroko dan meletakkannya di meja. Tak besar potongan itu, hanya sebesar jempol tangan Jagger. Tanpa bisa menahan rasa ingin taunya, Jagger memungut hashish itu.

“Is this Moroccan hashish?”
“Yeah, it is meant to be rather special. I haven’t tried it yet, mate.”
“You mean Moroccan from Maroko?”
“Ma-ro-ko, yeah, Insyalaaah. Is that how you say it?”
“Insya’alloh, not insyalaaah.”

Jagger membetulkan ucapan adik iparnya sambil mengangkat potongan hashish itu ke cuping hidungnya dan mengendusnya, lalu dia menarik nafas dalam-dalam, menghirup wanginya yang lembut. Belum pernah dia menemui hashish yang kuning emas dan harum lengket seperti itu.

“Ah, good, good. Maroko!”
“You get good Moroccan in Indonesia?”
“No, no. Never I try Moroccan. Only from Nepal, black, you know, tourist have hashish from Nepal sometime.”
“Well, try some Moroccan then. This is golden yellow, it is better than the brown stuff. Here’s some skins.”

Keith melemparkan benda serupa amplop kecil berwarna oranye, yang merupakan sebungkus kertas linting. Tetapi Jagger tak tau cara meracik hashish itu.

“Here, let me show you.”

Keith duduk, mengeluarkan geretan, mengacungkan tangannya kepada Jagger meminta potongan hashishnya.

“Oh, you burn it? Let me try!”

Keith memberikan koreknya kepada Jagger, lalu merogoh kantong bajunya dan menyodorkan pula sebungkus rokok.

“You burn it and mix it with cigarette, yes?”
“That’s right! You don’t need too much, this is meant to be strong stuff.”

Jagger membongkar tembakau dari sebatang rokok lalu memanggang ujung potongan hashish itu pada nyala api geretan gas yang dipeganginya di tangan kanan. Di putar-putarkannya potongan hashsish itu agar rata panasnya, kemudian hashish yang melunak itu diremuk-remukkannya di dalam tembakau yang dia siapkan.

“I think that’s enough. There is a lot of hash in there.”
“Enough? OK! Now, I roll, yes?”

Dengan tangkas Jagger menggulung secabik kertas tebal dari sampul bungkusan kertas lintingan milik Keith untuk dijadikan sebuah filter, mengaturnya di ujung tumpukan tembakau bercampur hashish yang diratakannya di atas dua lembar kertas yang ditumpuk memanjang, dan membentuknya menjadi sebuah rokok lintingan yang besar, panjang, dan rapi.

“That is a mighty handsome spliff, Jagger!”
“Here, you like? You light it.”

Jagger mengulurkan korek gas dan lintingan hashish itu kepada Keith untuk dinyalakan, tetapi Elaine, yang sejak tadi bermain-main dengan Sanca, menegur mereka berdua;

“I think you two had better go outside to smoke that spliff. At least open the window and blow the smoke outside.”
“Yeah, let’s smoke it by the window.”

Keith menggeser kaca jendela besar itu ke atas, dan mengajak Jagger mendekat. Jendela itu membuka kepada satu balkon, yang berisi beberapa daun busuk. Balkon itu sangat kecil, hanya cukup untuk tempat meletakkan beberapa pot tanaman hias saja. Keith mengeluarkan kakinya yang panjang satu persatu dan duduk di mulut jendela, menghadap ke luar. Jagger mengikutinya dan duduk disebelahnya. Udara dingin tak lagi terasa karena pikiran Jagger tertuju pada hashish yang sedang disulut Keith.

Tak lama kemudian, kedua mereka sudah terbatuk-batuk terkena bius hashish istimewa yang dibeli khusus oleh Keith untuk menyambut iparnya. Hashish itu memang kwalitas unggul, dan belum habis satu rokok lintingan itu dihisap oleh mereka berdua, apinya sudah beberapa kali mati dan dinyalakan lagi.

“Wah, this very good hashish!”
“Yeah, very good.”

Mereka berdua pun stoned berat, dan dengan demikian, keakraban terbina di antara mereka. Pembicaraan mereka pun menjadi lebih hangat, lebih pribadi, dan lebih jujur. Dari jendela flat Elaine yang ada di lantai dua itu, mereka dapat melihat orang-orang yang lalu lalang di trotoar di bawah mereka. Lama juga, mereka duduk di jendela berbalkon kecil itu, menikmati udara dingin yang segar dan bersih. Kuping Jagger terkesima oleh kicau burung. Bukan satu burung dalam sangkar, namun puluhan burung yang terbang bebas atau hinggap di dahan-dahan pohon-pohon rindang yang berada di sepanjang jalan.

Begitulah, senja semakin tua, dan meski matahari belum juga terbenam, tibalah waktunya makan malam. Terpengaruh oleh hashish yang dihisap, baik Keith maupun Jagger merasa sangat lapar sekali.

“Let’s go get something to eat. If you and Sanca want to stay, we can get a take-away from Portobello.”
“There’s the Thai place up the Harrow Road.”
“Nah. I don’t want to take the car. Jagger and I’ll walk down to Porttobello and find something, won’t we Jagger?”
“Yes, walk good. I like.”
“I think there’s a choice of Chinese, Thai, Jamaican, what would you like, Jagger?”
“Me?”
“Yes, what would you like to eat?”
“Ah, yes, I am hungry.”
“Would you like Thai food or Chinese food or Jamaican food or plain English food?”
“Ah, yes, English food, in England. Is that good?”
“If you like it, mate.”

Dalam pengaruh hashsih, Keith dan Jagger berjalan menuju ke Portobello untuk mencari makan malam. London di musim panas seringkali teramat indah dan nyaman, tetapi sejak beberapa hari terakhir ada musim dingin salah waktu, dan hari ini terlihat orang berpakaian musim dingin. Jagger, dengan pakaian biker-nya tak menjadi pemandangan aneh, karena banyak yang lebih aneh. Keith menyulut puntung hashish yang masih panjang, dan sambil berjalan, dia dan iparnya bergantian menghisapnya, mereka telah menjadi kawan, sahabat. Kekakuan antara mereka yang ada semula sama-sekali tak ada sekarang. Bahkan mereka terbahak-bahak dan cekikikan seperti sudah sangat lama saling mengenal.

Daerah di sekitar Portobello, tempat tinggal Elaine, merupakan daerah yang sangat heterogen, dihuni berbagai suku, ras, agama dan maupun kelas sosial ekonomi. Matahari telah condong ke kaki langit, dan melihat posisinya, Jagger menaksir bahwa waktu menunjuk sekitar pukul lima sore. Ternyata, setelah dia menengok arloji Keith, yang disangkanya jam lima itu sebetulnya pukul delapan malam. Pantas sudah terasa lapar!
***
bersambung

-. draft novel Pangeran Jawa Atawa Jagger Melayu ini menerima usul, saran dan kecaman ke Bramantyo Prijosusilo