Pangeran Jawa Atawa Jagger Melayu 10 – Bramantyo Prijosusilo

Lima, Rindu Pertama
Dingin salah musim yang mengejutkan Jagger kemarin, sama sekali telah digantikan sinar matahari hangat. Cukup hangat untuk berpakaian baju kaus saja, seperti di daerah tropis. Namun tetap saja, ketika usia mandi pagi, Jagger mengenakan lagi jaket biker-nya. Elaine sering kesal tapi sudah dapat mentoleransi pemandangan itu.

Musim panas membuat penduduk London ceria, dan sinar matahari yang hangat mereka syukuri dengan riang, di jalan-jalan, di taman-taman kota, di tepi batang kali Thames yang tegas meliuk-liuk membelah kota, dan di halaman-halaman rumah. Bahkan di daerah-daerah di sekitar City dan West End, yang merupakan pusat dagang , perkantoran, dan hiburan, terlihat pula betapa para pekerja dari semua pangkat menikmati summer. Pada jam-jam makan siang mereka kelihatan berusaha santai sambil berjemur, duduk dengan kaku di dalam pakaian resmi, memakan makanan bungkusan yang mereka beli dari ratusan restoran yang menjajakan masakan berbagai etnis, atau, makanan yang mereka bawa sendiri dari rumah. Jagger merasakan semua itu, namun tak menyadari betapa musim panas dipuja. Yang ia rasakan justru bibirnya kering dan pecah-pecah karena cuaca kurang lembab.

Satu hal lain yang Jagger catat: ternyata orang Inggris di musim panas memajukan arloji mereka selama satu jam. Katanya agar supaya bisa menikmati matahari yang terbenam di petang hari pada pukul sembilan atau lebih itu.

Elaine mengajak Jagger dan Sanca berjalan-jalan mengenali lingkungan di sekitar flat. Dengan Sanca di gendongan ayahnya yang erat terbebat selendang batik Pekalongan berwarna merah menyala yang dibeli Elaine di pasar Beringharjo, Elaine menjadi pemandu. Tangkas ia mengisahkan berbagai fakta menarik dari lingkunganya.

“Pernahkah kamu mendengar Ladbroke Grove, Jagger?” lanjutnya, dalam bahasa Indonesianya yang khas.

” You know? There used to be a song…. ” dan diapun mulai bernyanyi:

“Every body knows down Ladbroke Grove
You’ve got to leap across the street
You can loose your life under a taxi-cab
You’ve got to have eyes on your feet….”

“Ah, yes, yes, I know that song!” kata Jagger. Sanca kecil terbebat nyaman di dalam selendang, melinjak-linjak bahagia mendengar lagu dan irama, melihat sinar matahari pagi yang emas dan menghirup udara yang bersih, meskipun lalu-lintas jalanan pagi itu padat tetapi teratur. Jagger bernyanyi-nyanyi kecil, pernah dia dengar melodi itu, ya, kalau tidak salah di dalam satu album solo Roger Daltrey tanpa the Who.

“Itu stasion Ladbroke Grove” kata Elaine, menunjuk ke sebuah pintu masuk salah satu stasiun di jaringan kereta kota London yang populer dengan sebutan Tube, atau juga Underground – karena banyak lintasan relnya menembus kota di bawah tanah.

Ya, dia ingat sekarang. Waktu mendengar lagu itu dia masih di bangku SMA. Satu sore yang membosankan, menghadapi ujian moral Pancasila yang berarti hafalan-hafalan absurd, tiduran di atas kasur di atas lantai di sudut kamar kost temannya yang bertutup karpet murah warna merah dari bahan sintetis, memegang sampul kaset yang di dalamnya ditulisi lirik-lirik lagu, gatal-gatal dirubung nyamuk-nyamuk lapar, mendengar kaset yang baru dibeli di Jalan Perwakilan, di dekat Malioboro.

Jagger ingat. Di dalam angannya, tempat yang dikisahkan lagu itu amat sangat ramai dan hiruk-pikuk, jalanan penuh kendaraan yang lalu-lalang saling membahayakan. Ternyata kini dilihatnya sendiri Ladbroke Grove itu. Di hirupnya sendiri udara yang segar tajam. Langit yang biru. Lalu-lintas teratur.

Sama sekali tidak seramai yang dibayangkannya. Orang-orang yang berjalan kaki bergegas dengan nyaman karena di kedua sisi jalan tersedia trotoar yang lebar. Calon penumpang yang menunggu bis kota bergerombol di kedua halte yang tersedia di kanan dan di kiri jalan. Jalanan tidak macet meski penuh sesak, karena setiap pemakai dengan patuh mengantri, tidak saling sodok seruduk serobot seperti di jalanan kota-kota Indonesia.

Sedangkan mulut stasion Ladbroke Grove itu sendiri tak henti-hentinya menelan dan juga memuntahkan puluhan orang setiap menitnya. Langkah tegap tergesa yang bergegas hendak pergi ke tujuan masing-masing. Semua bergegas, namun tetap teratur, tetap antri, seakan masyarakat telah menjadi satu makhluk yang setiap orangnya adalah satu bagian yang mengikuti irama besar gerak gegas di jalan pagi itu.

Itulah geraknya, gegas, gegas, gegas, gegas. Kerja, kerja, kerja, kerja. Teringat pepatah time is money, Jagger memperhatikan bahwa gerak-gerik penduduk kota di jalan pagi itu tak ubahnya seperti detak-detik mekanisme jam. Setiap orang jadi gir, atau laker kecil yang pasti letaknya, pasti fungsinya, pasti geraknya.

Mereka naik bus tingkat berwarna merah seperti pernah dilihat Jagger di foto entah di mana, menuju ke Oxford Street untuk melihat mall megah tanpa kepribadian dan mencari sale. Melewati rumah sakit Saint Mary’s di daerah Paddington, dari tempat duduk paling depan di tingkat atas, Elaine pun menunjuk ke samping, kepada sebuah plakat berwarna biru bertuliskan keterangan fakta sejarah, bahwa di situlah Sir Alexander Fleming menemukan penicilin.

“Penicilin. You know penicilin, Jagger?”
“Yes, yes, like antibiotic, isn’t it?”
” The beginning of antibiotics! There, in that room, it is said that his cultures were contaminated by spores coming from a brewery which is now that pub there.”

Bus menikung sembilan puluh derajat. Ia menunjuk lagi, menyeberang ke kanan jalan, sebuah bangunan dari bata merah tua, bertingkat, terletak persis di sudut pertigaan. Nama pub, the Red Lion , dilukiskan pada selembar kayu, berupa sebuah siluet singa merah, bermahkota, berdiri mencakar angin di depannya. Kayu itu digantung pada kerangka besi cor yang bersulur-sulur dan dilengkapi dengan tempat pot bunga yang diisi bunga-bunga hias kecil-kecil beraneka warna cemerlang.

Dan bunga itu lebih menarik perhatian Jagger daripada pengetahuan soal penemu Penisilin. Meski demikian, setiap mendengar kata penisilin, dia teringat ucapan ibu guru sastranya di SMP, yang mengatakan, seandainya tersedia penisilin, penyakit yang merenggut nyawa Chairil Anwar, akan dapat diatasi.

Ah, Chairil Anwar! Betapa kini tiba-tiba Jagger merindukan sajaknya, dan dengan kecewa dia sadari bahwa buku kumpulan puisi-puisi Chairil yang telah lama disayangnya tertinggal di Jogja. Biarlah! Dia buang pikiran sesalnya, dan dengan tenang dia menarik nafas dalam-dalam. Terbayang sesaat nisan yang pernah diziarahinya di kuburan umum Karet, Jakarta. Nisan itu bertatahkan keterangan Pelopor Angaktan ’45, terawat baik dan berbunga bekas ziarah orang lain.

Bersamaan dengan itu dia tersentuh lagi oleh keindahan bunga musim panas kota London yang berwarna-warni. Bunga! Di mana-mana, bunga berwarna-warni menghiasi pemandangan kota. Di dalam pot-pot gantung yang di pasang tinggi-tinggi, di pot-pot duduk, dan juga di taman-taman mungil yang menghiasi banyak rumah penduduk. Nyata bagi Jagger, bahwa keindahan bunga-bungaan merupakan sebagian dari kegemaran rakyat yang cukup meluas.
***bersambung

-. draft novel Pangeran Jawa Atawa Jagger Melayu menerima usul, saran dan kecaman ke Bramantyo Prijosusilo