Waktunya Untuk Republik keEnam? – Thomas A. Sancton

Ada bau dari akhir sebuah rejim yang melayang-layang di atas Perancis hari-hari ini. Keriangan yang biasanya dalam kampanye pemilihan presiden tersingkir oleh kebosanan dan renungan. Hampir 60% orang Perancis mengatakan mereka hanya sedikit tertarik pada persaingan para calon, dan lembaga jajak pendapat umum memperkirakan keikutsertaan pemilih sebagai yang terendah dalam empat puluh empat tahun sejarah Republik keLima.

Babak kedua pemilihan tanggal 5 Mei antara dua calon finalis, Presiden beraliran Gaullist, Jacques Chirac dan Perdana Menteri Sosialis, Lionel Jospin, tampaknya akan ditentukan lewat kemenangan suara tipis. Seperti dikatakan seorang pengamat, Pascal Perineau ; “Percintaan dengan pemilihan presiden sudah usai.”

Namun masih ada lagi yang lebih buruk. Cengkraman kekuasaan Presiden baru akan tergantung sepenuhnya atas hasil pemilihan parlemen bulan Juni. Jika kubu politiknya meraih mayoritas, maka ia akan memiliki mandat kuat untuk memerintah. Namun jika kubu oposisi yang mayoritas, maka Perancis mungkin akan menghadapi krisis konstitusi yang mungkin akan menjadi mantera bagi berakhirnya Republik keLima.

Inilah sebabnya : konstitusi yang disusun Charles de Gaulle tahun 1958 didasarkan pada presiden terpilih yang kuat. Selama dia didukung oleh mayoritas parlemen, Presiden jelas memegang kendali dan Perdana Menteri melayani kemauannya.

Begitulah yang terjadi sampai tahun 1986, ketika sayap kanan menyapu pemilihan paruh waktu dan menghadapkan Presiden Sosialis Francois Mitterand dengan apa yang disebut sebagai kohabitasi –sebuah pengaturan dua kepala yang aneh, dimana Presiden dari sebuah partai membagi kekuasaan dengan Perdana Menteri dari partai oposisi.

Bertentangan dengan sejumlah prediksi, kohabitasi ternyata tidak menghancurkan republik. Memang aneh dan kadang memalukan –Perancis menjadi satu-satunya negara besar di dunia yang mengirimkan dua pemimpin eksekutif ke pertemuan puncak internasional– namun sitem itu paling tidak berjalan.

Sebaigan pemilih Perancis malah melihatnya sebagai bentuk sehat dari cek dan keseimbangan yang mencegah satu kubu mengumpulkan terlalu banyak kekuasaan.

Pengalaman seperti itu berulang dua kali lagi, tahun 1993 sampai 1995 dan dari tahun 1997 sampai sekarang. Namun para politisi dan sebagian besar jajak pendapat kini melihat kohabitasi tidak stabil, melumpuhkan pengaturan. “Orang Perancis sama sekali tidak suka kohabitasi,” kata Guy Carcassonne, seorang ahli konstitusi. “Mereka tidak pernah memlilihnya secara sadar.”

Dan sebagai upaya untuk memperkecil kemungkinan itu di masa depan, sebuah reformasi bipartisan Tahun 2000 telah mengurangi masa jabatan presiden dari tujuh tahun menjadi lima tahun, sama dengan Majelis Nasional dan menyelaraskan waktu pemilihan keduanya. Teorinya adalah para pemilih tidak akan bertentangan saat memilih presiden dan, satu bulan kemudian, memberikan memberikan mayoritas parlemen kepada lawannya. Namun tidak ada jaminan kalau hal itu tidak akan terjadi.

Dan masalahnya bisa berbahaya. Tidak seperti kohabitasi sebelumnya, dimana Presiden yang menjabat dihukum oleh pemilihan paruh waktu, maka sekarang perpecahan suara mencerminkan adanya kesadaran untuk memilih pemerintahan yang terpecah. Baik Presiden maupun parlemen bisa sama-sama mengklaim legitimasi.

Presiden bisa membubarkan majelis dan meminta pemilihan baru. Namun jika partainya kalah dia akan menghadapi tekanan kuat untuk mundur. Hasilnya bisa jadi kebuntuan kelembagaan. “Jika persatuan kekuasaan tidak segera dipulihkan,” kata ahli konstitusi Olivier Duhamed, “itu bisa menjadi akhir dari Republik keLima.”

Terus bagaimana? Sudah berlangsung pembicaraan selama bertahun-tahun untuk mengubah sistem dua kepala Perancis yang ganjil ini. Perdebatan makin menghangat selama kohabitasi lima tahun belakangan, yang ditandai dengan perbedaan sengit antara Jospin dan Chirac. Sejumlah pengamat mengusulkan sistem presidensil gaya Amerika. Yang lainnya, termasuk kelompok penekan yang disebut Konvensi untuk Republik keEnam, ingin menghapuskan kepresidenan dan merangkul sistem parlementer gaya Eropa.

Pembicaraan itu mungkin masih prematur. Para pemilih Perancis mungkin akan bisa memilih secara koheren dalam pemilihan mendatang, sehingga gagasan perubahan konstitusi jadi kurang mendesak.

Namun krisis utama dalam pembagian kekuasaan tampaknya tidak terhindarkan. Dan jika itu terjadi, Perancis tak punya pilihan selain kembali ke ruang gambar untuk menemukan kembali undang-undang dasarnya. Dan dengan 15 konstitusi sejak tahun 1791, hanya sebagian kecil negara di dunia yang bisa menyombongkan pengalaman dalam bidang ini.

***