Maling dan Ustadz

Imron Supriyadi

Kepergian ayah dan ibu tak lepas dari perseteruan dingin dengan Pak De, yang sudah berkobar sejak aku masuk pesantren. Aku mendengarnya perseteruan ini bukan dari ayah atau ibu, tetapi dari Pak Lik yang menceritakannya ketika aku pulang ke Jawa. Akarnya rupanya sudah dalam karena sejak ayah mondok di pesantren Krapyak Yogyakarta, Pak De Dul sudah menganggu cita-cita ayah yang ingin menggali ilmu agama di pesantren. Pak De Dul memang cerdik dan mempengaruhi nenek dan kakek yang punyai tanah dan kebun luas. Dengan alasan sawah dan kebun itu tidak ada yang merawat, Pak De menyuruh nenek agar meminta ayah pulang ke desa untuk mengurus sawah dan kebun itu, seperti sebelum ayah mondok di Krapyak. Pak De berhasil dan nenek pelan-pelan mengurangi kiriman beras dan jatah uang jajan ayah sampai tak ada kiriman lagi. Jadi ayah harus pulang dan memupus cita-citanya menjadi ilmuwan agama. Kitab diganti dengan cangkul, dan ayah kembali menggarap sawah dan kebun. Setiap hari dia berbasah keringat terbakar terik matahari. “Tapi waktu panen, hampir separo hasil kebun dan sawah malah untuk pernikahan Pak De dengan Bu De Tun,” cerita Pak Lik. Dan ulah Pak De Dul terhadap ayahku tidak berhenti setelah dia menikah. Sampai ayah berumah tangga, Pak De rupanya masih saja mengganggu ayah dan ibu. Waktu itu usaha ayah menjual cangkul berkembang pesat, tapi kerja keras di balik usaha itu membuat ayah sempat sakit keras. Biaya pengobatan menguras usaha ayah dengan bantuan Pak De. Ketika Pak De meminta tanda tangan ayah di atas kertas kosong, ayah langsung memberikannya karena dalam keadaan sakit keras, tak mungkin ada prasangka buruk kepada abang sendiri walau Pak Lik sudah memperingatkan supaya jangan begitu saja percaya Pak De. “Pokoknya, kamu tidak usah mikir-mikir biaya apapun. Biaya pengobatan dan angsuran bank semua akan beres. Aku semua yang tanggung. Tapi aku minta kamu tanda tangan di sini,” ujar Pak De sambil menyodorkan kertas kosong dan pena kepada ayah. Belakangan ayah terjerat dengan tanda tangannya sendiri. Hak milik tanah, sawah dan kebun sudah dibaliknamakan. Bukan lagi milik ayah, tetapi milik Pak De. Semula sebagian saudara ayah memang mendesak ayah agar menuntut secara hukum. Tapi ayah dengan enteng menjawab; “Biar dibawa mati. Hanya Allah yang tahu,” Itulah ayah. Tak pernah pusing dengan hal-hal yang sifatnya duniawi. “Kalau memang itu milik kita akan kembali. Allah itu Maha Kaya. Mungkin ini yang terbaik buat kita. Bagi manusia kebanyakan memang tidak baik. Tapi Insya Allah ini baik di mata Allah.” Jawaban itu memupus semua usaha keluarga yang mendesak agar ayah memperkarakan Pak De ke pengadilan. “Jadi Nak Alif, begitulah awalnya kenapa ayah dan ibumu memutuskan meninggalkan Desa Sabrangrowo ini, termasuk menyuruh nak Alif pindah sekolah. Istilah ayahmu pergi ke Sumatra itu untuk membuang tilas.” Cerita ini baru kudengar setelah Pak De meninggal. Bagaimanapun terasa juga darahku menggumpal dan memukul ujung kepalaku ketika mendengar cerita panjang tentang perlakuan Pak De kepada ayahku. Kututup mataku, dan terasa kepalaku sedikit mendingin walau aku tak tahu pasti apa yang akan aku lakukan terhadap Pak De jika ia masih hidup. Apakah aku akan datang mengetuk pintu rumahnya dan meludahinya? Atau aku akan melototinya saja? Mungkin juga akan menghancurkan semua tanaman di sawah dan kebunnya itu. Entahlah…Beberapa tetes air mata tertumpah ketika kami berpamitan dengan sanak keluarga. Pak De Jam’an dan keluarga, Pak Lik Ma’ruf, Bu Lik Mun dan semua keluarga menitikkan air mata. Mereka sedih karena harus berpisah, tapi sepertinya juga sedih karena mengenang latar belakang ayah dan ibu meninggalkan Tanah Jawa.***
bersambung