Pangeran Jawa Atawa Jager Melayu 20 – Bramantyo Prijosusilo

Elaine masih lelap dalam menyetir, konsentrasinya pada beton jalan, marka, kaca spion, lori-lori gandeng yang panjang dan pengendara dan kendaraan lain, namun di balik itu semua, ada juga sebagian batinnya yang masih menggerutu soal ganja, soal Jagger dan cara dia mengasuh Sanca, soal Keith yang sudah semakin tua tetapi tak kunjung belajar bertanggung-jawab, serta sesuatu masalah laten: hubungan dia dengan orangtuanya. Setiap Natal selalu mengorek luka-luka lama yang dalam.

“I can take over from you soon, Sis.” Bujuk Keith lagi. Memanfaatkan sorot lampu dari belakang, Elaine lewat cermin melirik Jagger yang tertidur mblesek ke dalam jok, mangap ; lubang hidungnya kelihatan besar-besar, bulu-bulunya nyembul, sebagian kempel kena upil jorok. Ia bergidik.
“Are you O.K there Jagger?” namun yang ditanya bergeming, makin pasti dia tertidur.
“Look at him, Keith, just look at him. Can’t you imagine what it has been like?”
“Yeah, tough, Sis, my heart goes out to you, Sis.”

Maka meluncurah semua yang terpendam di hati Elaine. Semua duka bersuamikan Jagger dikisahkan, dan lambat laun ikut pulalah kegilaan dan kegoblogannya juga terceritakan. Ngakaklah mereka berdua ketika Elaine cerita tentang pertemuan pertama Jagger dan orangtuanya.

“Mum and Dad wanted to see Sanca, so they came down to London. They wanted to go to somewhere Asian, so I took them to “Pakistan’s Gold”, y’know, the Indian restaurant at Bayswater.”

Ketika Mum and Dad datang dari Liverpool mereka sangat terkagum dan terkesan kepada Jagger. Ayah Sanca, penyair, aktivis, pasti sekolahnya juga tinggi dan punya PhD dalam ilmu apa- yang tak pernah mereka dengar. Ayah Elaine, seperti juga ibunya, agak takut terhadap Elaine yang memberontak ketika lulus SMA dan tak boleh kuliah namun disuruh mencari pekerjaan di pabrik coklat.

Sejak pemberontakan itulah, Elaine menjelma menjadi dirinya sendiri. Dia menyelesaikan Sarjana Mudanya dibidang psikologi dan setelah itu ikut beberapa kursus dalam film, kerja sukarela, dan akhirnya menabung reputasi dan meniti karir di industri perfilman free-lance. Di mulai dengan pindah ke Manchester, lalu ke Bristol, dan akhirnya ke London. Aksen Liverpoolnya ditanggalkannya, atau lebih tepatnya, digunakan hanya jika yakin itu menguntungkan, dan ibu-bapaknya mulai sulit mengenali anak mereka sendiri. Mereka takut, tetapi bangga juga, karena sukses Elaine.

Waktu itu mereka ingin mentraktir Jagger makan makanan India, sebab makanan Indialah makanan Timur yang mereka kenal baik di Liverpool, apalagi mereka baca di reklame yang tertempel di dinding Underdground di Euston, bahwa di ‘Pakistan’s Gold’ semua daging yang digunakan adalah daging halal.

Maka berjalanlah Elaine, orangtuanya, Jagger dan Sanca, menyusuri Westbourne Grove menuju ke Bayswater, ke ‘Pakistan’s Gold’ yang terletak persis di depan sebuah halte bus. Segera setelah duduk seorang pelayan menghidangkan berbagai kerupuk popadom untuk dimakan bersama dengan berbagai macam sambal dan asinannya. Lidah Jagger berpetualang, asam, manis, pahit, pedas, yoghurt, mint, dan semua itu dilakukannya sambil sebentar-sebentar mereguk bir Tiger yang juga diminum mertuanya. Bila mertua menggunakan gelas, Jagger minum langsung dari botolnya. Ia duduk di kursi dengan badan ditegapkan, kaki di lebarkan, dan dada dibusungkan dengan gaya agak berlebihan.

Datanglah pemuda India membawa hidangan berbagai gulai, berlemak, bersantan, beryoghurt, berempah pedas, cabe, kapulaga, cengkih, jintan, ketumbar, lada, dan entah rempah apa lagi yang ada dalam gulai-gulai yang bagi Jagger lebih beraroma jejamuan itu. Meja sesak dengan berbagai jenis nasi lemak berempah dihadapinya tanpa ragu. Rasa-rasa pedes, asin, gurih, asem, dan pengar, menyodok-nyodok saraf-saraf alat-alat pencernaannya, tetapi Jagger tak perduli, semua dia makan dengan lahap.

Mertuanya melihat Jagger suka minum bir, maka segera dipesannya beberapa botol lagi, dan ketika perut Jagger sudah tak mampu lagi diisi, ia sudah meminum lebih delapan botol bir Tiger. Bir cap macan, pikir Jagger, dan direguknya seteguk pendorong gumpalan daging kambing yang meski sudah dikunyah sepah masih saja susah ditelan. Bir macan mendesak dan mengelontor gumpalan daging kambing yang semula nyangkut di tenggorokan kini jadi mengapung di lambung yang sesak. Jagger bersendawa, howegh.

Perutnya terlalu kenyang, tetapi masih ada es krim, lalu bir lagi. Dua kali Jagger mengundurkan ikat pinggangnya, dan setelah itu, kancing atas celana bikernya dia lepas karena tak muat ditempati perutnya yang makin berat. Ketika mereka sudah menempuh setengah jalan pulang barulah Jagger merasakan protes perutnya.

Pertama, dia kepingin muntah, tetapi Sanca dalam gendongan membuatnya menahan. Perutnya mual ke atas, lalu mulai mules ke bawah. Sebutir kapulaga yang tersisa di antara giginya digerusnya, namun harumnya kapulaga itu tak mampu menghilangkan rasa asam dan mual yang mendesak dari lambungnya. Sementara itu, ususnya melilit, kembung, namun tak bisa kentut.

Jagger mempercepat langkah hendak segera sampai ke WC rumah tetapi malang, sebuah kentut mendesak pelan di dalam rektumnya, dan dia bisa rasakan persis kalau kentut itu dilepaskannya maka kentut itupun akan keluar bersama dengan kotoran. Kentut itu terasa sangat kejamnya, menyayat-nyayat dinding rektum, membuat mules ususnya, dan lambungnya jadi tak kuat lagi. Satu sentakan refleks melontarkan sekumuran muntah segar dari antara bibir Jagger yang dower. Crot, masih sempat dia memalingkan muka agar tidak memuntahi anaknya.

Jagger mulai berlari, sebentar-sebentar membuang muntah seperti pemakan sirih meludah.
Sanca, yang tegak dalam bebatan selendang batik yang merah menyala, melonjak-lonjak senang diajak lari, tak tau bapaknya muntah-muntah kebanyakan bir cap macan campur rempah gaya India. Dengan segala daya Jagger berlari sampai ke depan pintu rumahnya, namun setelah sampai di situ, barulah dia sadar bahwa kunci tak dia bawa, melainkan dibawa Elaine yang masih tertingal jauh di belakang, berjalan menemani orangtuanya.

Mata Jagger bosan menunggu dan perutnya lebih lagi. Kini, sedikit-sedikit otot-otot anusnya menyerah dan cairan pedas mengalir membasahi bagian dalam celana bikernya. Ketika Elaine datang membawa kunci dan orangtuanya, mencret Jagger sudah merembes masuk ke sepatu bootnya. Bau kotoronnya sendiri membuat mukanya pucat, mulesnyapun belum habis.

“What happened?” Tanya Elaine, prihatin.
“I pooed in my pants!” kata Jagger, terus terang.
“Oh, my God!” seru ibu mertua.

Jagger tak bisa menahan lagi, dan juga kepalang basah, maka diedenkanya perutnya sekalian, dan loloslah serombongan kentut yang eksplosif. Mencret cair, lalu kental, mengalir ke dalam dan di luar sepatu bootnya.

Keith pernah mendengar cerita ini dari ibunya lewat telepon, namun baru sekarang dia mendengar langsung dari Elaine. Mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Sejak peristwa ‘Pakistan’s Gold’ –demikian mertua Jagger menyebut kejadian itu– orang tua Elaine menjadi hangat terhadap Jagger. Peristiwa bir cap macan –begitulah Jagger mengenangnya– membuat mertuanya tak lagi takut kepadanya.

Tak mungkin dia Nelson Mandela-nya Indonesia. Nyatanya minumnya rakus, maboknya tidak bisa menguasai diri. Itu sama saja dengan pemuda working-class di Liverpool. Itulah sebabnya ketika Elaine memberitahu bahwa dia ingin Natalan di Liverpool, Jagger dengan ringan bilang ayo saja! Yang dibayangkan nikmatnya mabok bersama mertua.
***bersambung
-. draft novel Pangeran Jawa Atawa Jagger Melayu menerima usul, saran dan kecaman ke Bramantyo Prijosusilo